Bab 17. (Menikmati Keindahan Gugusan Pulau Kematian)

1201 Words
    Benar saja apa yang pikirkan oleh Aryo. Saat tiba di tempat semula. Terjadilah gempa susulan, yang anehnya getarannya terasa lebih kuat dari gempa awal yang mereka rasakan. Hingga bukit di kanan mereka pun, bergetar lebih keras dari yang awal. Dengan batu-batu kecil yang semakin masif terjatuh. "Apa kau masih penasaran?" tanya Tino kepada Aryo, dengan penuh selidik. "Masih, tapi terhalang gempa bumi ini. Kalau memang ada orang yang sedang mengawasi kita, pastinya. Orang itu akan keluar, nyatanya tidak," sahut Aryo, lalu tersenyum. Seakan menikmati gempa bumi yang semakin mengecil saja getarannya. "Gempa bumi darimana ini?" tanya Andro dengan sedikit panik. "Mungkin dari lempeng bumi, di selatan," jawab Noval. "Bukan Gunung Krakatau kan?" tanya Andro masih dengan sedikit panik. "Gunung Krakatau sudah hilang Ndro. Yang ada itu, Gunung Anak Krakatau," jelas Noval. "Tapi tetap saja, kalau meletus hebat kita semua bisa mati!" Andro pun semakin panik, apalagi gempa terasa kembali di tempat itu. Belum sempat Noval membalas perkataan sahabatnya itu. Aryo pun berbicara. "Sudahlah, jangan membahas hal yang bisa merusak liburan kita ini. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan kita," ucap Aryo, lalu melangkahkan kakinya kembali. Yang diikuti oleh yang lainnya, untuk menikmati keindahan kepulauan kecil itu. Sedangkan Malaikat Biru terlihat masih berada di dalam ilalang raksasa itu. "Semesta seakan membantuku. Dengan mengirimkan gempa bumi. Hingga mereka pergi. Jik tidak, pasti aku akan menyerangnya. Dan itu pastinya menyebalkan sekali. Karena pastinya Pimpinan akan marah besar, karena berani menyerang orang. Yang bukan targetku. Atas perintahnya," ucap Malaikat Biru berbicara sendiri, sambil menadahkan kedua tangannya ke langit. "Lebih baik sekarang aku tidur, agar aku tepat waktu di pertemuan nanti," Malaikat Biru pun lalu melangkahkan kakinya ke dalam ilalang raksasa itu. Di mana di sana ada pintu rahasia. Untuk masuk ke dalam bukit biru sebagai tempat tinggalnya selama ini. Bersama dengan Matahari yang semakin meninggi di langit. *** Sejalan engan berjalannya waktu, akhirnya 2 Kelompok itu pun. Bertemu di Pulau Hitam kembali, di saat Matahari telah condong ke arah barat. Bersiap untuk menuju peraduannya. Sebagai waktu untuk dirinya beristirahat kembali. Mereka semua lalu duduk di tepi pantai di depan Laguna Kematian. Dengan berselonjor, seakan ingin merilekskan sepasang kaki mereka, yang sudah mereka ajak berjalan sejak dari tadi. "Lelah juga," kata Andro, yang duduk di samping kanan Noval. "Biasa rebahan sih," sindir Noval kepada Andro. Yang tak tersinggung sama sekali oleh perkataan sahabatnya itu. "Karena bagiku, rebahan itu adalah surgaku di dunia ini," jawab Andto, lalu tertawa terkekeh. Seakan tak memiliki dosa sama sekali. "Dasar alay, bisa saja memberi jawaban," ucap Noval, dengan melirik ke arah Andro. Yang seakan benar-benar tak mempedulikan jawaban dari Noval sama sekali. "Duh, lapar lagi," ujar Andro, sembari memegang perutnya. "Tuh pasir, makan saja," canda Noval lalu tertawa dengan penuh kebahagiannya. "Iya, ya. Kita sampai lupa makan. Saking menikmati perjalanan kita," kata Andi lalu tertawa, yang diikuti oleh para pemenang kuis lainnya. Mereka pun tertawa dengan penuh keceriaannya. Seakan hari itu adalah hari terakhir di dunia ini. Terus tertawa dengan kerasnya. Tanpa mereka menyadari, jika mereka sedang di awasi oleh Malaikat Hitam dan Malaikat Biru dari atas Puncak Bukit Hitam. Di mana Bukit itu, menjulang secara Vertikal, tanpa ada celah untuk dapat naik ke puncak bukit itu, kecuali lewat jalan rahasia. Yang salah satunya digunakan oleh 7 Malaikat Kematian, semalam tadi.  Tampak Malaikat Hitam dan Malaikat Biru, mengawasi mereka. Dengan menggunakan teropong, agar mereka dapat melihat jelas. Ke arah mereka bersepuluh.  Malaikat Biru tak jadi tertidur. Karena Malaikat Hitam memanggilnya, untuk menemaninya. Mengintai para pemenang kuis itu. Malaikat Hitam dan Malaikat Biru tampak memegang teropong itu, dengan tangan kiri mereka, bukan dengan tangan kanan pada umumnya. Yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Karena mereka adalah kidal.       "Sepertinya, mereka sedang berbahagia, Pimpinan ...," ujar Malaikat Biru, sambil mengakhiri peneropongan nya. Lalu memegang teropong miliknya dengan tangan kirinya.       "Ya, paling tidak dalam beberapa jam kemudian, mereka akan terus bahagia. Sebelum dicekam oleh rasa ketakutan .... Yang akan kita buat nanti ...," Sahut Malaikat Hitam, masih terus meneropong mereka. Dengan penuh keseriusannya. Seakan ia tak mempedulikan kehadiran Malaikat Biru, yang ada di samping dirinya.       "Aku jadi tidak sabar, untuk melakukan hal itu ...," kata Malaikat Biru. Dengan pikiran yang membayangkan dirinya sedang melakukan pembunuhan terhadap para pemenang kuis itu.       "Tapi sayangnya, kau harus bersabar. Hingga beberapa jam kemudian, sebelum kau dapat melakukan akan hal itu .... Dan sayangnya giliran mu bukan malam nanti," sahut Malaikat Hitam. Masih terus mengamati mereka dari Puncak Bukit Hitam, tanpa diketahui oleh siapa pun. Tentang keberadaan mereka berdua.  "Apakah Pimpinan, tidak bisa mengganti giliran ini? Aku benar-benar sudah tak tahan ingin membunuh. Tadi saja, andai aku tak terikat janji olehmu. Pastinya, aku sudah membunuh salah satu dari mereka," tutur Malaikat Biru, sambil mengingat kejadian siang tadi. "Peraturan yang sudah dibuat, tidak bisa diubah," sahut Malaikat Hitam dengan penuh ketegasannya. "Ya, sudah. Aku memang harus bersabar," ucap Malaikat dengan nada pasrah. Lalu meneropong kembali para pemenang kuis yang sedang bersantai di pinggir pantai Laguna Kematian.       Mereka berdua terus mengamati keadaan para pemenang kuis itu. Yang kini tampak sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Yang sepertinya, kesulitan untuk menangkap sinyal dari operator seluler yang mereka gunakan selama ini. Untuk menunjang aktifitas modern mereka di kepulauan kecil itu.       Di kepulauan kecil itu sebenarnya sudah dipasang alat penguat sinyal. Yang dapat menangkap sinyal dari BTS yang ada di sekitar kepulauan kecil itu, oleh 7 Malaikat Kematian. Tetapi entah bagaimana caranya 7 Malaikat Kematian dapat memproteksi sinyal seluler yang ditangkap oleh alat penguat sinyal itu. Hingga dapat diatur oleh mereka, dengan sesuka hatinya.  Kelompok itu dapat mengatur ponsel yang mereka miliki, bisa menangkap sinyal dari alat penguat sinyal itu. Hingga mereka dapat dengan leluasa berhubungan dengan dunia luar. Sedangkan ponsel para pemenang kuis itu. Tak dapat menangkap sinyal sama sekali. Padahal kecuali Andi yang hanya menggunakan ponsel fitur, para pemenang kuis itu menggunakan smartphone keluaran terkini dari berbagai merk terkemuka di dunia.        "s**l! dari kemarin hari. Sinyal entah hilang ke mana!?" gerutu Andro dengan penuh kekesalannya itu. Dengan bibir yang ditekuk ke dalam.       "Ya, sehebat dan secanggih apa pun smartphone yang kita miliki. Tetap saja, tidak berguna. Karena Tidak berdaya untuk menangkap sinyal, di kepulauan terpencil ini," ucap Noval, dengan memandang ke arah Andro dengan penuh keseriusannya.       "Mana aku sudah membawa power bank, pusing aku kalau tidak online sehari saja," ujar Andro, dengan wajah yang seakan sedang frustrasi. Karena memikirkan sinyal operator seluler yang ia gunakan, tak kunjung ia dapatkan dari kemarin hari. Seakan dirinya telah benar-benar kecanduan dengan gawai nya itu.       "Makanya jangan terbiasa sama ponsel untuk online. Sepertinya aku dong, ponselku, lebih dioptimalkan di kamera dan musik ...," ujar Noval, sambil menunjukan smartphone layar sentuhnya kepada Andro.       "Selera kita kan beda, Val. Jadi kamu tidak bisa menyamakan fungsi ponsel kita," sahut Andro, yang kini malah menggoyang-goyangkan smartphonenya. Dengan harapan, dengan cara itu. Smartphonenya dapat menerima sinyal operator seluler yang ia pakai selama ini. Cara yang terlihat begitu aneh, di mata para peserta kuis lainnya. Kecuali Noval yang sudah terbiasa, oleh kelakuan sahabatnya itu.       "Iya, aku tahu itu. Tapi coba kamu lihat, Lelaki Berewok itu, sedang menghampiri kita," ucap Noval, sambil menunjuk ke arah lelaki berwajah berewokan yang sedang menuju ke arah mereka, dengan lirikan mata kananya Yang membuat para peserta kuis itu pun, melihat ke arah tamu tak diundang itu, dengan jalan pikiran mereka masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD