Bab 14. (Ketakutan)

1145 Words
Setelah puas berdiam diri. Akhirnya Malaikat Hitam pun berbicara kembali,dengan nada lirih. Seperti orang yang sedang memohon kepada Malaikat Cokelat. "Apa kau tak memiliki cara, agar aku tak bermimpi tentang Putih lagi," kata Malaikat Hitam dengan nada memelas, penuh harap terhadap Malaikat Cokelat. "Sayangnya, aku tak memiliki cara apa pun untuk membantumu. Mungkin Putih ingin membalas dendam kepada dirimu," tutur Malaikat Cokelat, lalu tersenyum sinis. Seakan ingin menakut-nakuti Pimpinannya. "Kau asal bicara saja," ucap Malaikat Hitam, dengan ketusnya. "Jika sudah tak ada yang dibicarakan lagi. Aku undur diri, aku ingin melanjutkan tidurku," tanpa menunggu persetujuan dari pimpinannya. Malaikat Cokelat lalu berjalan meninggalkan tempat itu, dengan langkah cepat. Hingga tak terlihat lagi di tempat itu, sama sekali. "Kau ini aneh-aneh saja Pimpinan. Kau ini Pimpinan Malaikat Kematian,kenapa harus takut dengan orang yang sudah mati. Di mana wibawa mu, Pimpinan?" kata Malaikat Merah, seakan sedang mengejek pimpinannya. "Kau tak pernah mengalami mimpi yang ku alami, jadi kau tak tahu. Ketakutan yang aku rasakan. Semoga kau mengalaminya," sahut Malaikat Hitam dengan ketusnya, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, dengan langkah cepat. Seakan seperti orang yang sedang dikejar oleh setan saja. "Mimpi macam apa, yang membuat dirinya ketakutan seperti itu?" tanya Malaikat Merah, lalu melangkahkan kakinya. Mengikuti langkah dari Pimpinan 7 Malaikat Kematian. Disinari oleh Bulan purnama di langit, yang semakin bersinar terang. Menyinari langit tanpa Matahari. *** Malaikat Cokelat terus berjalan diterangi oleh Bulan yang sedang purnama di langit. Terus berjalan menuju Bukit Cokelat. Hingga dari tingginya ilalang setinggi manusia dewasa. Muncullah Malaikat Putih, yang sudah menunggunya sejak dari tadi di dalam ilalang tinggi itu. "Cokelat tunggu aku," kata Malaikat Putih, dari dalam ilalang itu. Mendengar suara yang ia kenal. Malaikat Cokelat pun menghentikan langkah kakinya. "Kau belum kembali?" tanya Malaikat Cokelat, saat rekannya itu berada di samping kanannya. "Ya, aku penasaran. Pimpinan ingin apa bertemu denganmu?" tanya Malaikat Cokelat. Yang tak segera menjawab pertanyaan itu. "Lebih baik kita cari tempat aman saja," Malaikat Cokelat, lalu melanjutkan langkahnya, menuju pantai yang ada di Pulau Cokelat yang menghadap laut lepas. Tanpa bicara sama sekali. Malaikat Putih pun mengikuti langkah kaki Malaikat Cokelat yang berjalan cepat. Seakan takut ketahuan oleh anggota 7 Malaikat Kematian lainnya. Jika Malaikat Putih belum kembali, ke tempatnya. Untuk menjalankan tugasnya. Setelah sepuluh menit berjalan cepat. Akhirnya mereka berdua pun tiba di tepi pantai Pulau Cokelat. Malaikat Cokelat, lalu menuju ke arah gugusan batu besar yang ada di pantai itu. Lalu duduk, yang diikuti oleh Malaikat Putih. "Kau ini tetap saja bandel. Bukannya kembali ke tempatmu. Jika ketahuan dengan yang lainnya. Pasti akan menjadi sebuah masalah," kata Malaikat Cokelat, mengawali kembali perbincangan di antara mereka. "Selain penasaran, aku juga ingin menceritakan tentang mimpiku. Takut aku lupa, atau aku sudah tidak memiliki waktu lagi untuk menceritakannya," ungkap Malaikat Putih. "Mimpi?" tanya Malaikat Cokelat dengan penuh selidik terhadap Malaikat Putih. "Ya, mimpi yang seperti Dejavu," jelas Malaikat Putih, kepada Malaikat Cokelat. "Maksudmu, bagaimana?" Malaikat Cokelat pun merasa kebingungan, dengan penjelasan rekannya itu. "Aku mengalami mimpi. Seolah melihat masa lalu di tempat ini. Di mana kau berbincang dengan Malaikat Putih pendahuluku, yang akhirnya mati bersama sisa pemenang kuis 5 tahun yang lalu. Karena kapal yang mereka tumpangi meledak," tutur Malaikat Putih yang membuat Malaikat Cokelat tersentak. Karena dirinya belum pernah menceritakan apa pun tentang kematian pendahulu Malaikat Putih, kepada Malaikat Putih selama ini. "Ya, memang kejadiannya seperti itu. Apa mungkin dia, sengaja datang ke mimpimu. Seperti ia datang ke mimpi Malaikat Hitam," beber Malaikat Cokelat, yang membuat Malaikat Putih kali ini terkejut bukan main. "Dia juga bermimpi?" tanya Malaikat Putih, sembari melirik ke arah Malaikat Cokelat. "Ya, bedanya Malaikat Putih pendahulu mu, mengancam akan balas dendam kepada Malaikat Hitam. Hingga ia pun ketakutan, dan meminta solusi kepadaku?" tutur Malaikat Cokelat. "Dia ketakutan, ini aneh. Pimpinan yang aku kenal tak seperti itu," Malaikat Putih pun merasa keheranan dengan perkataan dari rekannya itu. "Kau jangan heran. Aku mengenalnya cukup lama. Dirinya seperti memiliki kepribadian ganda. Bahkan aku mengira dirinya, adalah dua orang yang berbeda," papar Malaikat Cokelat. "Sepertinya perkataan mu benar. Dirinya bisa saja dua orang yang berbeda. Apalagi kita selalu memakai topeng seperti ini. Mana tahu, dirinya dua orang yang berbeda. Ini patut diselidiki," ujar Malaikat Putih. "Sudahlah, kau jangan sibuk memikirkan dirinya. Lebih baik kau sekarang kembali ke tempatmu," pinta Malaikat Cokelat. "Baiklah," balas Malaikat Putih. Sambil bangkit dari duduk, di batu besar. Baru saja, Malaikat Putih ingin meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba saja terdengar suara Malaikat Biru, yang sedang menuju ke arah mereka berdua. "Kalian ini seperti sepasang kekasih saja. Selalu saja berdua," ucap Malaikat Biru saat berada di hadapan kedua rekannya yang sudah berdiri tegak. "Kau ini sedang apa, tak ada kerjaan mengawasi ku terus!?" jawab Malaikat Putih dengan ketusnya. "Jika kau tak ingin ku awasi. Cepat kembali ke tempatmu. Aku tak ingin yang lain tahu. Kau tak ada di tempatmu. Jangan pikir, aku ini melindungi mu. Aku hanya tak ingin disalahkan oleh Pimpinan. Apalagi si provokator Merah," tutur Malaikat Biru, lalu menarik tangan Malaikat Putih untuk ikut dengan dirinya. "Lepaskan aku! Kau pikir aku ini anak kecil!" teriak Malaikat Putih, berusaha melepaskan diri dari rekannya. "Kau ini berisik sekali! Jika kau tak ingin diperlakukan seperti anak kecil. Kembali ke tempatmu," Malaikat Biru pun melepaskan genggaman tangannya dari tangan Malaikat Putih. "Baik, aku akan pulang," kata Malaikat Putih lalu berjalan cepat. Yang diikuti oleh Malaikat Biru dari belakang. "Kenapa kau mengikuti aku?" tanya Malaikat Putih, tanpa menoleh ke arah belakang sama sekali. "Jelas aku akan mengikuti mu," sahut Malaikat Biru, dengan tegasnya. "Ikuti saja aku," Malaikat Putih, lalu berlari dengan begitu cepatnya, meninggalkan Malaikat Biru. "Walaupun kau berlari ke ujung dunia. Aku akan tetap mengejar mu, untuk memastikan kau kembali ke tempatmu!" Malaikat Biru pun berlari mengejar Malaikat Putih. Hingga membuat Malaikat Cokelat tertawa terbahak-bahak. "Ada hiburan juga," kata Malaikat Cokelat di dalam hatinya, terus tertawa terbahak-bahak. Hingga ia pun melihat bayangan putih, yang menuruni Bukit Cokelat menuju ke arah pantai, yang menghadap laut lepas. Malaikat Cokelat begitu terkejut, dengan apa yang sudah ia lihat. Ia tak percaya sama sekali, jika ada yang menyusup ke puncak Bukit Cokelat selarut ini. Kecuali anggota dari 7 Malaikat Kematian. "Siapa gerangan bayangan putih itu. Aku harus mengejarnya," tekadnya di dalam hatinya. Malaikat Cokelat lalu berlari dengan kecepatan tinggi mengejar bayangan putih, yang tiba-tiba saja menghilang di gelapnya malam. Saat tiba di pantai Pulau Cokelat, yang menghadap laut lepas. Malaikat Cokelat begitu terkejut dengan apa yang ia lihatnya. Sampai-sampai ia mengucek matanya tanpa membuka topengnya. Berharap, sosok bayangan putih terlihat oleh matanya. Akan tetapi apa yang ia harapkan tak terjadi sama sekali. Bayangan putih itu hilang bagai ditelan Bumi saja. "Ini aneh?" tanya Malaikat Cokelat di dalam hatinya. "Mungkin bayangan putih itu hanya fatamorgana ku saja. Lebih baik aku kembali untuk tidur," jawab Malaikat Cokelat atas pertanyaannya sendiri. Dirinya pun lalu meninggalkan tempat itu. Tanpa berpikiran sama sekali. Jika bayangan putih itu sesuatu hal yang ganjil. Yang hanya dianggapnya hanya fatamorgana saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD