Bab 13. (Dihantui Malaikat Putih)

1031 Words
Mendadak Malaikat Putih terbangun dari tidurnya. Mendapati wajahnya sedang disentuh oleh kaki kanan bersepatu boot biru milik Malaikat Biru. Yang langsung membuat Malaikat Putih naik pitam. Diperlakukan tak sopan seperti itu oleh Malaikat Biru. Dirinya langsung saja menangkap kaki kanan Malaikat Biru, lalu mendorongnya. Hingga Malaikat Biru pun terhuyung beberapa langkah. "Kau ini tak sopan sekali, Biru. Membangunkan aku dengan cara seperti itu," ujar Malaikat Putih, langsung saja bangkit dari tidurnya. Begitu juga dengan Malaikat Cokelat. "Sebagai Juniorku, buat apa aku menghormatimu," sahut Malaikat Biru dengan ketusnya terhadap Malaikat Putih. "Dasar tak memiliki atittude," jawab Malaikat Putih. Yang membuat Malaikat Biru langsung menyerangnya dengan tangan kosong. "Aku tak memerlukan hal seperti itu. Yang aku butuhkan, adalah kematian mu!" ucap Malaikat Biru, menyerang Malaikat Putih dengan penuh nafsunya. Namun hal itu direlai oleh Malaikat Cokelat. "Biru, jangan gila!" Malaikat Cokelat pun, menggenggam tangan Malaikat Biru dengan begitu eratnya. Untuk menahan serangan Malaikat Biru. "Tapi dia berani menentang ku, Cokelat!" sahut Malaikat Biru. dengan penuh kegeramannya terhadap Malaikat Putih. "Sudah jangan diperpanjang masalah ini. Kau sebenarnya datang ke sini untuk apa?" tanya Malaikat Cokelat. Yang membuat Malaikat Biru teringat dengan tujuannya ke Bukit Cokelat. Emosinya pun mendadak menghilang begitu saja. Dirinya pun menjadi tenang kembali. "Aku diperintah Pimpinan, untuk menemui mu. Dia bilang kenapa ponselmu tak aktif," ungkap Malaikat Biru, membeberkan tujuannya. "Ingin apa ia memanggilku?" tanya Malaikat Cokelat, dengan penuh penasarannya. "Mana aku tahu, itu bukan urusanku. Urusanku adalah mengawasi Putih. Agar ia menjalankan tugasnya dengan baik," tutur Malaikat Biru, lalu menatap Malaikat Putih dengan begitu tajamnya. Seakan ingin membunuhnya saat itu juga. "Pimpinan memang sedang berada di mana?" tanya Malaikat Cokelat dengan penuh selidik. "Pimpinan sedang menunggumu di pantai Pulau Hitam, tempat dirinya biasa bersantai," sahut Malaikat Biru kepada Malaikat Cokelat. "Baiklah, aku akan menemuinya," ujar Malaikat Cokelat, sambil melangkahkan kakinya menuruni Bukit Cokelat. Yang diikuti oleh Malaikat Biru dan Malaikat Putih. "Putih, lebih baik kau kembali menjalankan tugasmu. Jangan sampai kau ketahuan Malaikat Merah. Pasti dirinya akan memperpanjang masalah ini," ucap Malaikat Biru, terus mengikuti langkah Malaikat Cokelat. Yang akhirnya berpisah jalan dengan mereka berdua. Saat tiba di kaki Bukit Cokelat. "Terima Kasih atas pengertiannya. Aku akan segera kembali ke tempatku," sahut Malaikat Putih, lalu berpisah jalan dengan Malaikat Biru. Bulan purnama pun semakin bersinar terang di langit tanpa batas. Seolah ingin menerangi jalan mereka bertiga, dengan jalannya masing-masing. "Ternyata, dirinya tak seburuk yang aku duga ...," kata Malaikat Putih di dalam hatinya terhadap Malaikat Biru. "Tuhan, kepada kau membuat aku terperangkap di kelompok gila ini?" ujar Malaikat Putih di dalam kalbunya terus melangkahkan kakinya di gelapnya malam. Menuju arah tujuannya. *** Malaikat Cokelat yang terus berjalan di gelapnya malam. Akhirnya tiba juga di pantai Pulau Hitam, di mana tadi sore Noval dan Andro berada. Dirinya terlihat sedang bersama Malaikat Merah. Melihat kehadiran Malaikat Cokelat. Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian itu, langsung saja bersuara. "Lebih baik kita ke jembatan gantung itu," ajak Malaikat Merah, lalu melangkahkan kakinya menuju jembatan gantung yang terbuat dari kayu. Tak ada pilihan lainnya bagi kedua anak buahnya itu. Kecuali mengikuti keinginan pimpinannya. Tak berapa lama, mereka bertiga pun tiba di jembatan kayu itu. Menghentikan langkah kakinya, dengan berdiri sejajar. Dengan Malaikat Hitam berada di tengah. Sedangkan Malaikat Merah berada di samping kanannya. Dan Malaikat Cokelat berada di samping kirinya. "Akhirnya kau datang juga, Cokelat. Kenapa ponselmu tak aktif. Bukannya kita memiliki akses khusus?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh selidik kepada anak buahnya. "Ponselku drop, Pimpinan. Lagipula kau itu ingin membahas apa denganku. Kenapa tak sekalian saja tadi?" sahut Malaikat Cokelat, disertai oleh pertanyaannya. "Di sana ada Putih, dia tak pantas mendengar hal sensitif seperti yang ingin kita bicarakan," ungkap Malaikat Hitam. "Hal sensitif?" tanya Malaikat Cokelat, belum paham dengan pembicaraan Malaikat Hitam. Yang entah ingin dibawa ke mana. "Apakah kau ingat hari ini adalah hari 5 tahun kematian Malaikat Putih?" tanya Malaikat Hitam, yang membuat Malaikat Cokelat langsung saja tersentak. Deg! Jantung Malaikat Cokelat pun langsung berdegup dengan begitu kencangnya. "Kenapa ia ingin membahas hal ini. Apa ia mulai mencurigai aku?" ujar Malaikat Cokelat di benaknya. Mulai berspekulasi dengan liarnya. Keresahan pun segera berkecamuk di pikirannya. Yang segera ia bisa kendalikan dengan cepat. "Aku malah tak ingat Pimpinan. Memang apa hubungannya denganku, tentang 5 tahun kematian Malaikat Putih?" dusta berlapis alasan pun keluar dari dalam mulut Malaikat Cokelat. "Pimpinan mencurigai mu, ingin mengkhianatinya," ucap Malaikat Merah, ikut campur dalam perbincangan itu. Perkataan dari Malaikat Merah yang asal bicara itu. Sudah membuat Malaikat Cokelat begitu terkejut. Hingga ia pun menanyakannya secara langsung kepada Malaikat Hitam. "Apa benar, kau mencurigai ku, Pimpinan?" tanya Malaikat Cokelat dengan penuh selidik. "Kau mempercayai perkataannya? Merah itu selalu saja curiga kepada siapa pun, termasuk diriku," sahut Malaikat Hitam, lalu melirik ke arah Malaikat Merah yang ada di samping kanannya. Seakan ingin memberi kode, yang tak disadari sama sekali oleh Malaikat Cokelat yang memandang ke arah Laguna Kematian dengan penuh keseriusannya. "Tentu saja tidak ...," ucap Malaikat Cokelat lalu tertawa sinis. Malaikat Merah memahami kode dari pimpinannya. Hingga ia pun hanya terdiam saja. "Lalu kau itu sebenarnya ingin membahas apa?" tanya Malaikat Cokelatnya kembali kepada pimpinannya. "Aku hanya ingin memberitahumu saja. Jika Putih mendatangiku lewat mimpi. Dia mengancam, akan menghancurkan 7 Malaikat Kematian sampai akar-akarnya. Apakah kau bermimpi tentang Putih juga, Cokelat?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh selidik, lalu melirik ke arah Malaikat Cokelat uang ada di samping kirinya. "Aku tak bermimpi Putih, walaupun aku tadi sempat tertidur sebentar," timpal Malaikat Cokelat dengan penuh kejujurannya. "Sepertinya ia sangat dendam dengan diriku. Apa kau percaya, jika jiwa orang mati. Bisa membalas dendam atas kematiannya?" tanya Malaikat Hitam dengan penuh keseriusannya terhadap Malaikat Cokelat.. Yang sesaat berpikir sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku tak tahu akan hal itu. Coba kau tanyakan pada orang yang paham agama," jawab dan saran Malaikat Cokelat pun keluar dari dalam mulutnya. "Apa kau sudah gila, aku harus bertanya kepada mereka. Aku ini ateis! Mana mungkin aku mempercayai agama apa pun," tutur Malaikat Hitam dengan tegasnya. Menyatakan jika dirinya adalah seorang ateis. "Lalu aku harus bagaimana? Jika kau tak mempercayai agama apa pun?" tanya balik Malaikat Cokelat dengan penuh keheranannya. Malaikat Hitam pun terdiam, bersama angin yang menerpa tubuh para Malaikat Kematian itu. Seakan ingin mengajak mereka untuk terlelap bersama buaiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD