Bab 20. (Pertemuan yang Dijanjikan)

1081 Words
Selesai menyelesaikan makan, mereka satu persatu masuk ke dalam kamar yang mereka huni. Kecuali Noval, Andro dan Andi. Yang membereskan bekas makanan mereka. Mencucinya di dapur, hingga membuat meja makan itu bersih seperti semula. "Ngantuk sekali aku," kata Andro, lalu menguap dengan mata yang sudah benar-benar mengantuk. Seakan lampu 5 watt saja. "Aku juga ngantuk. Mungkin efek dari kekenyangan," sahut Noval dengan menguap pula. "Sudah lebih baik kita ke kamar, dan tidur," ajak Andi, lalu menggandeng tangan mereka dengan kedua tangannya. Mereka bertiga pun berjalan dengan sempoyong seperti orang mabuk. Karena meminum-minuman keras. Pelan-pelan, namun akhirnya tiba juga. Mereka bertiga langsung saja melepas sandal mereka. "Rasa kantuk ini, aneh?" tanya Noval di dalam hatinya. Mereka bertiga langsung saja membaringkan tubuh mereka di spring bed. Di mana Aryo sudah terlelap dengan lelapnya. Tanpa menutup kunci pintu kamar itu. Karena sudah merasakan kantuk yang teramat. Hingga melupakan hal penting seperti itu. Mereka semua merasakan kantuk yang teramat dalam. Padahal Malam belum dimulai. Matahari masih berada di langit barat, walaupun sinarannya semakin meredup saja. *** Malam pun kembali menjelang, menenggelamkan terang di dalam kegelapan malam. Entah kenapa, para pemenang kuis itu. Setelah menyantap makanan yang dibuat oleh Lelaki Berewokan. Mereka semua merasakan kantuk yang teramat sangat pada diri mereka. Hingga mereka pun, langsung terlelap dengan pulas nya. Seperti orang yang diberi obat bius saja. Mereka seakan tak merasakan hal apa pun, yang sedang terjadi di antara mereka. Suasana gugusan Pulau Kematian pun terasa amat sepi, seakan tempat mati saja. Yang tak dihuni oleh manusia sama sekali. Sepertinya malam telah benar-benar meninabobokan penghuni pulau itu, tanpa terkecuali. Akan tetapi tiba-tiba saja dari dalam pondok itu, keluarlah sesosok bayangan putih. Yang ternyata Malaikat Putih. Yang berjalan secara tergesa-gesa, menuju Bukit Hitam yang ada di pulau yang sedang ia injak. Untuk menghadiri pertemuan yang sudah disepakati oleh para Malaikat Kematian, semalam tadi. "Sepertinya, aku sudah terlambat dari perjanjian. Sepertinya, Malaikat lainnya sudah menungguku di dalam markas ...," ujarnya di dalam hatinya. Dengan perasaan yang dipenuhi oleh kecemasan yang dalam. Dengan langkah kaki yang semakin tergesa, bahkan seperti sedang berlari kecil saja di gelapnya malam bersinar Bulan dan kerlipan bintang-bintang di langit. Malaikat Putih lalu menghentikan langkah kakinya, ketika ia tiba di lereng bukit di sebelah timur, yang ada di Pulau Hitam. Ia pun lalu menyibak ilalang-ilalang setinggi 2 meteran, yang ada di hadapannya dan menghalangi jalannya. Dengan kedua tangannya, yang memakai sarung tangan berwarna putih. Terus melakukan seperti itu, di lebatnya ilang-ilang raksasa itu. Hingga saat ilalang terakhir itu tersibak. Terlihatlah sebuah pintu yang terbuat dari kaca gelap yang tebal. Yang sama seperti kaca yang digunakan pada pintu masuk yang biasa ada di mall-mall. Setelah melihat pintu masuk rahasia untuk masuk ke dalam bukit itu. Malaikat Putih lalu melangkahkan kakinya kembali. Lalu menekan kotak pembuka pintu itu. Dengan memasuki kode-kode khusus yang ia miliki. Saat kode-kode itu cocok, maka pintu itu pun terbuka secara otomatis. Malaikat Putih lalu masuk melalui pintu itu. Yang secara otomatis tertutup kembali, setelah dirinya berada di dalamnya. Ternyata dibalik pintu itu, terdapat sebuah ruangan yang luas. Dengan luas 20×30 meter, dengan tinggi 10 meteran. Di dalam ruangan yang diterangi oleh lampu-lampu neon besar terang. Dengan daya listrik dari Matahari. Yang disimpan pada panel-panel surya, yang ditaruh di tempat yang hanya diketahui oleh kelompok mereka saja. Di dalam ruangan dalam bukit itu. Terlihat 6 Malaikat Kematian lainnya telah berkumpul, dengan latar patung Malaikat Kematian berwarna hitam, setinggi 5 meteran. Yang berdiri dengan angkuh dan angkernya di tengah-tengah ruangan itu. Tampak tangan kirinya memegang sabit raksasa sepanjang 2 meteran, dengan warna merah darah. Sedangkan tangan kanannya menggenggam tengkorak manusia berukuran dewasa, dengan warna di cat merah darah. Yang menambah kesan horor bagi patung malaikat kematian hitam itu. Entah asli atau hanya imitasi saja, tengkorak yang digenggam oleh patung Malaikat Kematian berwarna hitam itu. Mungkin hanya mereka yang dapat menjawabnya. Sebagai anggota dari 7 Malaikat Kematian. Semuanya tetap terdiam, menatap kehadiran anggota termuda mereka. Hingga Malaikat Merah pun menghentikan kediamannya. Untuk berbicara kepada Malaikat Putih. "Kau itu, suka sekali terlambat ya?" ujar Malaikat Merah dengan sinis nya. Saat Malaikat Putih telah tiba di hadapan mereka berenam. Dengan tatapan tajam yang sinis, yang dipenuhi oleh kedengkian hati terhadap rekannya itu. "Selalu saja mencari gara-gara ...," ujar Malaikat Putih di dalam hatinya. Sebelum merespon perkataan dari Malaikat Merah. "Maafkan aku, jika aku sudah membuang waktu para senior dan Pimpinan ...," kata Malaikat Putih. Sambil membungkuk kan tubuhnya kepada mereka berenam. Seakan ia sedang memberi hormat kepada mereka berenam. Yang merupakan para seniornya di dalam kelompok 7 Malaikat kematian. Semuanya tetap terdiam kecuali Malaikat Merah. Yang seakan memiliki dendam pribadi terhadap Malaikat Putih. "Kinerja dirimu sangat payah sekali, di bawah standar kami para seniormu, Junior ...," ucap Malaikat Merah. Dengan nada suara yang sinis kepada Malaikat Putih. "Aku sudah bekerja semaksimal mungkin. Aku ini sudah berusaha untuk menyatu dengan mereka, agar penyusupan ku tidak ketahuan oleh mereka. Jadi maklumi lah aku, jika aku terlambat datang," sahut Malaikat Putih. Atas ucapan dari Malaikat Merah. Yang seakan sedang memojokkan dirinya di hadapan pimpinan dan rekan-rekannya. "Itu hanya alasan untuk pembenaran dirimu saja. Waktu aku menjadi junior, aku pun melakukan hal yang sama. Hal yang kau lakukan sekarang ini, bukan begitu Pimpinan ...?" kata Malaikat Merah, sambil melirik ke arah Malaikat Hitam. Seakan ingin meminta pembenaran dengan pernyataannya itu. Malaikat Hitam tampak mulai gerah dengan perdebatan dua anak buahnya itu. Yang seakan bagai anjing dan kucing di saat mereka bertemu. Ia lalu menatap Malaikat Merah dan Malaikat Putih secara bergantian, dengan begitu sadisnya. Seakan ingin membunuhnya saat itu juga. "SUDAH! KALIAN BERDUA JANGAN BERTENGKAR!" bentaknya kepada kedua anak buahnya itu. Hingga suaranya pun bergema di ruangan itu. Malaikat Merah dan Malaikat Putih pun lalu terdiam, mendengar bentakan dari pimpinan mereka. Yang seakan ingin membunuh mereka berdua dengan tatapan mata dan perkataannya saat itu juga. "Mengerikan sekali, jika ia sedang seperti ini," kata Malaikat Putih di kalbunya. Tetap terdiam, tak berniat merespon amarah dari Malaikat Hitam sama sekali. "Gara-Gara dirinya, aku kena semprot seperti ini," gerutu Malaikat Merah di dalam hatinya, dengan tatapan penuh kebencian kepada Malaikat Putih. Yang bagai musuh abadinya saja. "Dia itu, kenapa suka sekali mencari masalah dengan Putih?" tanya Malaikat Cokelat di dalam hatinya. Dengan menatap ke arah Malaikat Putih, seakan ingin menyampaikan pesan melalui tatapan matanya. Jika dirinya harus tetap tenang, walaupun disudutkan oleh Malaikat Merah seperti itu. Dan Malaikat Putih pun paham akan tatapan Malaikat Cokelat. Seakan mereka memiliki telepati, dengan tatapan mata mereka itu. Dirinya tak ingin memperpanjang masalah tak penting seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD