Dadanya berdegup kencang, tangannya berkeringat. Sebenarnya ia tidak pernah sama sekali berniat membohongi sang ayah, apalagi untuk hal sepelik ini.
Risti masuk ke ruangannya lalu dengan malas duduk bersandar di kursi, memikirkan bagaimana nanti hari sabtu. Risti memutar otak, memikirkan bagaimana dan harus minta tolong siapa untuk menjadi pacar sementaranya. Walau cuma sehari saja. Dan dapat ia pastikan, ia akan membayar lebih untuk jasa seseorang yang mau menolongnya.
"Karin, bisa ke ruangan gue," panggil Risti dari sambungan interkom.
Karin sekretaris Risti, sekaligus teman baik Risti sejak masih SMA, semua urusan kantor dan pribadi Risti diketahui oleh Karin. Risti harus meminta bantuan dari Karin.
Tuk!
Tuk!
"Masuk."
"Yes, Bos," jawab Karin sambil tersenyum manis, berjalan santai mendekati kursi di depan Risti.
"Ada apa muka lo asem banget?" tanya Karin heran dengan wajah temannya yang ditekuk.
"Gue bingung nih, gue bilang ke ayah, kalau gue ga mau dijodohkan dengan Munos karena gue udah punya pacar," jelas Risti.
"What??are you serious?" Karin terbelalak mendengar ucapan Risti.
"Lu mau dijodohin dengan Munos si bos real estate dan hotel berbintang yang guuaanteng itu?" mata Karin berbinar.
"Wah, beruntung banget sih lu Mak. Bungkuuusss daahh bungkuusss, ha ha ha ha ..." tawa Karin.
"Ogaaaahh, bukan selera gue. Plis Karin bantuin gue dong, minta tolong siapa kek bantuin gue."
"Mmmm...Kenapa ga minta tolong Rio mantan lo aja jadi pacar sementara lo? Dia pasti mau deh, diakan ngajak balikan mulu."
"Ga ah, males. Cowok tampan tapi matre males gue berurusan dengan dia lagi."
"Oke, sebentar..siapa yaa? Haaa... bagaimana kalau minta tolong Haris?" ucap Karin memberikan saran kedua.
"No way, gue kenal orang tuanya, nanti urusannya jadi tambah ribet," timpal Risti tidak setuju.
"Aduh sakit kepala gue," keluh Risti sambil memijat kepalanya, kancing kemeja ia buka dua baris, nafasnya terasa sesak jika harus memikirkan cara untuk mendapatkan lelaki sewaan.
Diusia Risti yang sudah 29 tahun segalanya telah ia miliki, rumah, mobil, pendidikan dan karir yang cemerlang, sering bepergian keluar negeri. Ia mempunyai banyak teman dan disayang banget sama ayahnya karena Risti anak tunggal. Wajahnya yang cantik,tinggi, dan berkulit sawo matang membuat banyak yang tergila-gila padanya, namun tak ada yang berani mendekati karena status sosialnya.
"Pokoknya lu harus bantuin gue, Rin. Besok udah harus dapat orangnya"
"Lha, di mana nyari sukarelawan pacar pura-pura sekilat itu ibu bos?" Karin kebingungan sendiri.
"Ga tau deh, pokoknya cari yang biasa-biasa aja, jangan terlalu hits, ga usah cakep-cakep, gawat kalau gue naksir beneran," jawab Risti sambil terbahak.
"Lha, itu di bawah standar lu banget dong, emang ga papa?" ucap Karin dengan alis yang bertaut, nampak memikirkan sesuatu.
"Iya sengaja, biar ga tambah ribet cari yang adem ayem dan ga banyak bicara."
"Hadeehh, lu yang mau dikawinin gue yang ikutan pusing," gerutu Karin lalu keluar dari ruangan Risti.
****
"Lala, Lulu," panggil seseorang lelaki muda kepada adik kembarnya.
"Ya, Mas." Mereka menjawab bersamaan saat tengah asik main di teras depan rumahnya.
"Mas bambang berangkat dulu ya, telor ceplok dan sayur sopnya sudah Mas taruh di meja, jangan lupa seragam sekolah hari ini ada di atas kasur. Jangan nakal, kalau butuh sesuatu bilang sama Bude Yati ya." Bambang mengingatkan adik kembarnya sebelum ia berangkat bekerja.
"Siap, Bos," jawab keduanya serentak.
Bambang, nama lelaki muda ini begitu singkat. Sama seperti adik kembarnya, Lala dan Lulu tanpa ada embel-embel nama belakang. Bambang berusia 23 tahun lulusan STM, sejak orang tuanya meninggal, Bambang mengurus kedua adik kembarnya berusia 8 tahun yang sedang kini duduk di kelas dua Sekolah Dasar.
Bambang bekerja di salah satu percetakan di Jakarta timur. Bambang terkenal pemalu, dan kalem, karena memang ia tak banyak bicara dengan teman-teman wanita atau pun teman lelaki di tempat kerjanya. Namun ia adalah salah satu orang kepercayaan owner percetakan karena begitu lihai dalam hal mendesain.
Lala dan Lulu bersiap berangkat ke sekolah setelah mandi dan makan siang. Selama sepekan ini sekolah mereka masuk siang. Sekolah mereka pun tak jauh dari tempat tinggal mereka. Kurang lebih 600 meter saja, namun mereka harus menyebrang jalan raya untuk dapat sampai di sekolah mereka. Lala dan Lulu anak yang mandiri sehingga Bambang tak terlalu khawatir dengan keadaan mereka.
"Ayo la mumpung lampu merah," ajak Lulu kepada Lala, mereka berpegangan tangan.
Mereka hendak menyebrang. Tiba-tiba...
Ttiiiiiiinn!
Bruuuggh!
Tubuh Lala terhempas di aspal jalan.
Lulu terdiam kemudian berteriak minta tolong.
"Tolooong...Lalaa.....Lalaa...tolong." Pengendara motor tersebut turun dari motornya dan membopong Lala yang diikuti Lulu di sampingnya sambil menangis ketakutan.
Orang-orang sudah berkumpul di depan mengamati luka di kepala Lala yang cukup serius. Lalu ada yang memberikan minum kepada Lulu juga Lala, namun sepertinya Lala pingsan.
Karena kejadian tidak jauh dari rumah mereka, Bude Yati tetangga mereka ikut melihat kegaduhan di depan jalan raya. Betapa terkejutnya wanita setengah baya itu, karena korban tabrakan adalah Lala dan Lulu. Yatim piatu tetangganya.
"Tolong Pak, Bu. Ini tetangga saya, anak yatim piatu, cepat bawa ke rumah sakit,"pinta bude Yati dengan memelas dan gemetar, air matanya pun ikut menggenang.
Si pengendara motor menyetop taksi dan pergi meninggalkan motornya yang sebelumnya telah dipinggirkannya di bawah pohon dekat lampu merah. Dia melepas helemnya dan mencabut kunci motor.
[Karin? Apa? lo nabrak anak SD]"
[Ya ampun Karin, tapi lo ga papa kan? Trus anak SD nya bagaimana?]
[Ga papa gue mah, ini anak SD nya pingsan dan luka kepalanya cukup serius , sekarang gue lagi di Rumah Sakit Cipto. Sorry kayaknya gue ga bisa ikut meeting hari ini.]
[Oke lo tenang aja ntar gue kesana, meeting hari ini kita tunda, ntar urusan gue gimana bilangnya ke pihak investor.]
Bambang mendengar kabar Lala di tabrak langsung melajukan motornya dengan kencang menuju RS Cipto. Bude Yati memeluk Lulu dengan wajah khawatir sambil menunggu kedatangan Bambang, sedangkan Karin masih tertunduk lemas, menyesali kecerobohannya hendak menerobos lampu merah.
Bambang yang telah sampai di parkiran berlari menuju UGD untuk melihat keadaan Lala.
"Bambang...," panggil Bude Yati.
"Bude, bagaimana ceritanya sampe Lala ketabrak gini?" Bambang gemetar, ia khawatir akan hal buruk terjadi pada adiknya.
"Wanita itu yang melakukannya." Bude Yati menunjuk Karin
Karin tersadar sorot mata penuh amarah sedang menatapnya, Karin bangun dari duduknya dan menghampiri Bambang.
"Maafkan saya, Mas. Saya ceroboh, tapi saya janji akan tanggung semua biaya pengobatan adiknya mas," ucap Karin sedikit gugup.
"Kalau adik saya kenapa-napa kamu yang harus tanggung jawab sampai selesai," dengan nada kesal bercampur amarah.
Karin menatap sekilas lelaki muda dihadapannya, wajah lelaki biasa berkulit coklat dengan kacamata terpatri di wajahnya. Dan sepertinya masih sangat muda.
"Mbak, kenapa liatin saya?" tanya Bambang ketus, membuat Karin tersadar akan lamunannya.
"Oohh, eehh. Ga papa, Mas," jawab Karin gugup, lalu menunduk kembali.
Ponselnya berdering, Karin melihat siapa yang menelepon, ternyata Risti.
[Iya hallo Ris, gue di UGD.]
Risti langsung menuju UGD, semua yang melihatnya terpana, cewek cantik tinggi berkaca mata hitam, rambut panjang tergerai dengan mengenakan stelan blazer pink dan celana bahan berwarna coklat s**u.
Karin memperhatikan kedatangan teman sekaligus bosnya ini seperti sedang melihat artis yang sedang jadi tontonan, "Dasaaarr tukang tebar pesona!" umpat Karin sambil tersenyum sinis.
"Rin, lo ga papa? trus anaknya SD nya gimana?" tanya Risti khawatir.
"Gue ga papa Ris, cuma anak yang gue tabrak belum sadar," jawab Karin lemas.
Bambang cuek saja, tanpa memperhatikan kedatangan Risti. Ia masih sibuk menenangkan Lulu yang masih syok, beruntung Lulu hanya mengalami luka lecet di tangan dan kakinya.
"Bude, saya minta tolong Lulu dibawa pulang saja biar istirahat, saya yang akan di sini menjaga Lala"
"Lulu pulang sama Bude ya, hati-hati," Bambang memeluk erat Lulu dan memberikan 2 lembar uang 50 ribuan untuk ongkos Bude Yati.
Risti melirik lelaki muda di sana.
"Itu siapanya?" tanya Risti.
"Itu kakaknya."
Bambang melihat sekilas ke arah Risti dan Karin, lalu menunduk kembali tanpa mempedulikan mereka.
"What?gue di cuekin." Mata Risti ga percaya menatap lelaki muda itu tidak terpana oleh dirinya.
"Ayolah, Ris, masa di rumah sakit lu mau tebar pesona juga sih,"gerutu Karin.
"Serius, Rin, baru kali ini ada cowo yang liat gue cuek gitu."
"Kepedan lu ah, udah tua juga," umpat Karin benar-benar kesal.
"Keluarga anak Lala," panggil dokter yang keluar dari UGD.
"Ya saya kakaknya, Dok."
Risti dan Karin ikut menghampiri Bambang.
"Alhamdulillah pendarahan di kepalanya sudah berhenti, hanya saja..." dokter tidak melanjutkan.
"Kenapa, Dok, adik saya?" Bambang tambah gemetar begitu juga Karin dan Risti.
"Anak Lala masih belum sadar, harus ditempatkan diruang intensif," lanjut dokter.
"Baik Dok, lakukan yang terbaik untuk adik saya, terimakasih."
"Maaf Mas, silahkan urus administrasi dulu," kata seorang perawat mengarahkan Bambang ke ruang administrasi kasir.
"Maaf, Sus, di mana loketnya?" potong Risti cepat.
"Riiiss...," panggil Karin.
"Udah lu tenang aja, biar gue yang urus."
Bambang memperhatikan dua wanita di depannya, dengan tatapan penuh tanda tanya.