Pagi itu, Andri memarkir mobilnya di halaman rumah dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Matahari baru saja terbit, dan tubuhnya terasa berat setelah semalaman di rumah sakit bersama Dafa. Ia menghela napas panjang sebelum membuka pintu mobil, mencoba menenangkan pikirannya.
Di dalam rumah, Laras yang mendengar suara mobil Andri segera berjalan ke pintu depan. Wajahnya terlihat lega sekaligus cemas, berharap suaminya kembali membawa kabar baik. Saat melihat Andri melangkah masuk dengan langkah gontai, Laras langsung menghampirinya.
"Mas ... kamu kelihatan capek banget. Gimana keadaan Dafa? Apa dia sudah lebih baik?" tanya Laras penuh perhatian, tangannya menyentuh lengan Andri dengan lembut.
Andri tersenyum tipis, meski senyum itu tampak dipaksakan. "Dafa masih harus dipantau, tapi kondisinya sudah lebih stabil. Tadi malam dokter bilang nggak ada yang serius, hanya infeksi virus. Aku harus kembali lagi nanti untuk memastikan semuanya."
Laras mengangguk kecil, matanya menatap Andri dengan rasa iba. "Kamu sudah makan? Kalau belum, aku bisa siapkan sarapan dulu. Kamu kelihatan butuh istirahat, Mas."
Andri menatap Laras dengan penuh rasa bersalah. Laras begitu tulus, begitu peduli, tetapi di dalam hati Andri ada rasa berat yang terus menghantuinya sejak semalam. "Aku belum makan," jawab Andri pelan, suaranya terdengar lelah. "Tapi mungkin aku perlu tidur sebentar dulu."
Laras tersenyum lembut, memegang tangan Andri. "Ya sudah, aku siapkan sarapan dulu, kamu bisa istirahat sebentar. Tapi nanti jangan lupa makan, ya?"
Andri mengangguk tanpa banyak bicara. Ia melangkah ke kamar, mencoba mengusir segala kekhawatiran yang terus membayangi pikirannya. Sementara Laras pergi ke dapur, ia merasa semakin dihantui oleh pertanyaan—bagaimana ia bisa terus menjaga kepercayaan Laras, sementara situasinya dengan Rina dan Dafa semakin rumit?
Siang itu, Andri terbangun dengan tubuh yang masih terasa lelah. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai, membuat kamar terasa hangat. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Kepalanya masih terasa berat, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena beban pikiran yang terus menghantuinya.
Andri duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengusir rasa kantuk yang tersisa. Ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ada beberapa pesan masuk dari Rina, menanyakan kapan ia akan kembali ke rumah sakit untuk melihat Dafa.
Sebelum sempat merespons, pintu kamar terbuka perlahan, dan Laras muncul dengan senyum lembut di wajahnya. Ia membawa nampan berisi makanan ringan dan segelas jus.
"Kamu sudah bangun, Mas? Aku pikir kamu butuh makan dulu sebelum melakukan apa-apa lagi," katanya sambil meletakkan nampan di meja. "Aku nggak mau kamu terlalu capek."
Andri menatap Laras, merasa semakin tertekan oleh perhatian istrinya yang begitu tulus. "Terima kasih, Sayang. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan," jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan bersalahnya.
Laras duduk di sampingnya, menatap Andri dengan penuh perhatian. "Aku tahu kamu khawatir sama Dafa. Kalau kamu mau balik lagi ke rumah sakit nanti, aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma minta kamu jaga kesehatanmu juga," katanya dengan nada lembut.
Andri mengangguk, menunduk sejenak sebelum menjawab, "Aku akan ke rumah sakit lagi nanti. Dafa masih perlu aku di sana."
Laras tersenyum kecil, meski di matanya terlihat sedikit kesedihan. "Aku ngerti, Mas. Aku cuma ingin semuanya baik-baik saja. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aku, ya?"
Andri mengangguk lagi, namun di dalam hatinya ada perasaan yang semakin menghimpit. Ia tahu Laras mencoba untuk menjadi pengertian, tetapi semakin lama, rahasia yang ia simpan terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Setelah selesai makan dan membersihkan diri, Andri melangkah ke kamar mandi untuk mandi. Air dingin yang mengalir di tubuhnya membuat pikirannya sedikit lebih segar, meskipun kekhawatiran tentang Dafa dan tekanan dari situasi dengan Rina masih terus menghantui.
Ketika Andri keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggangnya, ia melihat Laras sedang berdiri di dekat lemari pakaian, tampak sedang bersiap-siap. Laras menoleh ke arah Andri dengan senyum lembut di wajahnya.
"Mas, aku sudah siapkan baju buat kamu," katanya sambil menunjuk pakaian yang ia gantung di pinggir lemari. "Dan aku juga mau ikut ke rumah sakit, jenguk Dafa. Rasanya sudah lama aku nggak ketemu dia, dan aku juga pengin tahu keadaannya sekarang."
Andri tertegun mendengar ucapan Laras. Perasaan panik mulai menjalar di dadanya. Ia tidak pernah terpikir bahwa Laras akan ingin ikut. Pikirannya langsung melayang ke Rina—bagaimana reaksi Rina jika melihat Laras datang bersama dia ke rumah sakit? Situasinya bisa semakin rumit.
"Laras ... kamu nggak perlu repot-repot. Dafa sudah membaik kok, dokter juga bilang ini nggak terlalu serius," kata Andri, mencoba terdengar santai. "Lagipula, rumah sakit bisa jadi tempat yang kurang nyaman buat kamu."
Namun, Laras menggeleng pelan, matanya menatap Andri dengan tulus. "Mas, aku nggak keberatan. Dafa itu anak kamu, dan aku ingin tunjukkan kalau aku peduli sama dia juga. Lagi pula, aku juga pengen Andri dan Laras berjalan berdampingan menuju ruang perawatan Dafa. Laras tampak membawa tas kecil berisi buah-buahan dan makanan ringan yang ia siapkan sebelumnya. Sementara itu, Andri tampak lebih tenang di luar, meski di dalam hatinya ada kecemasan yang sulit ia redam.
"Baiklah," Andri akhirnya berkata sambil menghela napas pelan. "Kalau kamu memang mau ikut, aku nggak akan melarang. Tapi aku cuma mau kamu nggak terlalu khawatir. Dafa sudah dalam perawatan yang baik."
Laras tersenyum lega mendengar persetujuan Andri. "Terima kasih, Mas. Aku akan siap-siap sekarang."
Andri dan Laras berjalan berdampingan menuju ruang perawatan Dafa. Laras tampak membawa tas kecil berisi buah-buahan dan makanan ringan yang ia siapkan sebelumnya. Sementara itu, Andri tampak lebih tenang di luar, meski di dalam hatinya ada kecemasan yang sulit ia redam.
Saat pintu ruang perawatan terbuka, Rina yang sedang duduk di samping tempat tidur Dafa langsung menoleh. Senyumnya mengembang begitu melihat Andri masuk, namun seketika memudar ketika ia menyadari bahwa Laras datang bersama Andri. Tatapan Rina berubah dingin, meskipun ia mencoba untuk tetap terlihat tenang.
"Mas, akhirnya kamu datang," kata Rina dengan nada lembut, berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya. Namun, matanya tidak bisa menyembunyikan kebencian yang mulai tumbuh terhadap Laras. "Tapi ... kenapa kamu bawa dia?" tanya Rina dalam hati, penuh kekesalan.
Laras melangkah masuk dengan senyum ramah. "Hai, Rina. Aku ikut karena pengin lihat keadaan Dafa. Gimana dia sekarang?" tanyanya sopan sambil mendekat ke tempat tidur.
Rina berusaha menahan diri, lalu berdiri dari kursinya. "Dafa masih demam, tapi sudah sedikit lebih baik," jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke arah Laras.
Andri, yang merasakan ketegangan di antara keduanya, mencoba mencairkan suasana. "Aku ke sini karena khawatir sama Dafa. Laras juga pengen ikut, katanya mau lihat anakku," katanya pelan, berusaha agar tak ada konflik yang muncul.
Laras mendekati tempat tidur dan mengelus kepala Dafa dengan penuh kasih sayang. "Semoga cepat sembuh, ya. Kamu anak hebat," katanya lembut. Laras kemudian menoleh ke Rina. "Kamu pasti capek banget jagain Dafa semalaman. Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan, ya."
Rina hanya tersenyum tipis, meski hatinya bergolak. Keberadaan Laras di ruangan itu terasa seperti gangguan besar bagi rencananya. "Terima kasih," balasnya datar, mencoba menjaga sopan santun.
Sementara itu, Andri duduk di kursi di sisi lain tempat tidur Dafa, memegang tangan anaknya dengan lembut. Ia merasa terjebak di antara dua wanita yang sama-sama memiliki tempat dalam hidupnya, namun dengan hubungan yang sangat berbeda. Pandangannya sesekali berpindah dari Laras ke Rina, berharap situasi ini tidak menjadi lebih buruk.
Laras duduk di kursi sebelah tempat tidur Dafa, matanya tertuju pada anak yang sedang terbaring lemah. Meski ia mencoba untuk tetap tenang, hatinya sedikit terganggu dengan atmosfer tegang yang terasa di ruangan itu. Senyum Rina yang dipaksakan dan sikapnya yang dingin membuat Laras semakin merasa bahwa kedatangannya tidak diterima dengan baik.
Sepertinya Rina tidak menyukai kedatanganku, pikir Laras dalam hati, mengamati setiap gerakan Rina yang cenderung menghindari kontak mata dengannya. Tapi kenapa? Aku cuma ingin memastikan Dafa baik-baik saja. Aku nggak ada niat jahat sama sekali.