Bab 4. Rencana Jahat

963 Words
Andri tiba di rumah Rina dengan langkah cepat, perasaan cemas dan khawatir menguasai dirinya. Dia langsung berjalan menuju pintu rumah, mengetuknya dengan cepat. Waktu terasa berjalan lambat, seolah setiap detik menambah ketegangan di hatinya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Rina muncul di baliknya, wajahnya tampak lelah namun terlihat lega saat melihat Andri. Dia segera membuka pintu lebih lebar, seolah sudah tidak sabar untuk melihat Andri. "Terima kasih kamu datang, Mas," kata Rina, suaranya masih terdengar cemas meskipun ada rasa lega yang samar. "Dafa ada di kamarnya. Demamnya sangat tinggi, aku benar-benar panik." Andri tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dan langsung melangkah masuk. Rina membimbingnya ke kamar Dafa, dan saat mereka sampai, Andri melihat anaknya yang terbaring lemas di atas tempat tidur, wajahnya merah akibat demam. "Dafa ..." Andri mendekat, menyentuh kening anaknya dengan lembut. "Papadi sini, nak. Jangan khawatir." Rina berdiri di pintu, matanya masih terlihat cemas, memandangi Andri dan Dafa dengan rasa tidak berdaya. "Aku sudah coba kasih obat, tapi demamnya nggak turun-turun, Andri. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi." Andri menatap Rina dengan serius. "Kita harus bawa Dafa ke dokter, Rina. Ini sudah terlalu parah." Rina mengangguk cepat, tampaknya sangat lega mendengar keputusan Andri. "Aku sudah takut kalau-kalau terlalu lama di rumah, nggak ada yang bisa bantu," ujarnya dengan suara terputus-putus. Andri langsung meraih ponselnya dan mulai menelepon rumah sakit untuk membuat janji. Sambil menunggu, ia terus memeriksa keadaan Dafa, hatinya yang gelisah semakin bergejolak melihat putranya yang tampak begitu lemah. Setelah beberapa saat menunggu, Andri akhirnya mendapatkan jadwal untuk membawa Dafa ke rumah sakit. Ia membantu Rina mengangkat Dafa yang tampak semakin lemah, dan bersama-sama mereka bergegas menuju mobil. Rina tidak berhenti mengkhawatirkan keadaan anaknya, matanya yang lelah namun penuh kecemasan terus mengamati Dafa yang terbaring lemah di pelukan Andri. Di dalam mobil, suasana hening, hanya terdengar suara mesin yang berdengung dan napas cemas mereka. Rina sesekali menoleh ke arah Dafa, sedangkan Andri berusaha tetap tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan yang mendalam. Sesekali Andri menggenggam tangan Rina, memberikan rasa tenang meski perasaannya sendiri juga sedang dilanda kekhawatiran. Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang UGD. Dafa segera diperiksa oleh dokter, dan setelah beberapa saat, dokter memberi mereka penjelasan. "Demam tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus," kata dokter, sambil memeriksa hasil tes darah Dafa. "Kita akan memberikan obat penurun demam dan cairan infus untuk mencegah dehidrasi. Tapi saya sarankan untuk tetap memantau kondisinya, dan jika tidak ada perbaikan dalam beberapa jam, kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut." Rina menghela napas lega mendengar penjelasan dokter, namun Andri masih terlihat cemas, menatap Dafa yang tampak tertidur dengan lelap setelah diberikan obat. "Terima kasih, Dokter," kata Andri dengan suara pelan, meskipun di dalam hatinya masih ada perasaan tidak tenang. Rina, yang masih cemas, memegang tangan Andri erat-erat. "Andri, aku takut kalau Dafa tidak segera membaik. Aku .... aku nggak tahu harus bagaimana," kata Rina, suaranya bergetar. Andri menatap Rina, matanya penuh empati. "Kita harus tetap percaya, Rina. Dafa akan baik-baik saja." Mereka berdua duduk bersama di ruang rumah sakit, menunggu dengan penuh harap. Namun, dalam hati Andri, ada kekhawatiran lain yang terus menghantuinya. Keadaan Dafa membuatnya sadar betapa pentingnya hubungan mereka, tetapi juga semakin jelas bahwa dirinya sedang terjebak dalam banyak perasaan yang saling berbenturan. Andri berdiri dengan cepat dari tempat duduknya, tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya masih penuh kekhawatiran. Ia berjalan keluar dari ruang perawatan, berusaha mencari sedikit ruang untuk bernapas. Sebelum melangkah lebih jauh, ia meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan, dan mulai mengetik pesan untuk Laras. Andri: "Sayang, aku akan terlambat pulang malam ini. Dafa sedang sakit, jadi aku harus tetap di rumah sakit untuk menjaganya. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan segera menghubungimu lagi setelah keadaan Dafa lebih stabil." Setelah memastikan pesan tersebut terkirim, Andri menghela napas panjang dan menatap ponselnya sejenak. Ketika dia merasa sedikit lebih tenang, ia menyimpan ponselnya kembali dan berjalan menuju koridor rumah sakit, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi keadaan yang semakin berat. Andri tahu bahwa ia harus berada di sisi Dafa, tetapi ada rasa bersalah yang mulai menghantuinya. Dia berharap bisa segera kembali ke rumah dan menjelaskan semuanya kepada Laras—meskipun ia sadar betul, keadaannya sudah semakin rumit. Sementara itu, di dalam ruang perawatan, Sambil duduk di samping tempat tidur Dafa, Rina menatap anaknya yang tertidur lelap setelah diberikan obat. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya berada di situasi saat ini. Ia merenung, memikirkan bagaimana ia bisa memanfaatkan keadaan Dafa untuk mendekatkan dirinya kembali dengan Andri, untuk menjauhkan Andri dari Laras. Rina tahu bahwa Andri masih memiliki perasaan terhadap Dafa, dan meskipun hubungan mereka sudah lama berakhir, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Andri selalu merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kesejahteraan anak mereka. Jika Dafa sakit, Rina tahu ini adalah kesempatan untuk mendapatkan perhatian penuh dari Andri. "Jika aku bisa membuat Andri semakin khawatir tentang Dafa, dia pasti akan lebih banyak berada di sini," pikir Rina, senyum licik mulai terbentuk di bibirnya. "Dan jika Andri lebih sering berada di sini, aku bisa lebih mudah mempengaruhi keputusan-keputusannya." Rina mengingat kembali percakapan yang pernah mereka lakukan, tentang bagaimana Andri merasa bersalah karena perceraian mereka. Meskipun Andri telah menikah dengan Laras, Rina tahu bahwa di dalam hati Andri masih ada sisa-sisa perasaan terhadapnya, terutama karena mereka masih memiliki anak bersama. Dengan situasi yang tepat, Rina bisa memanfaatkannya untuk memanipulasi perasaan Andri dan menjauhkan Laras dari hidupnya. "Ini adalah kesempatan terbaik untuk membuat Andri merasa bahwa aku membutuhkan dia," pikir Rina dengan keyakinan. "Dan ketika dia merasa perlu kembali ke sisi aku, mungkin dia akan melupakan Laras." Dengan tekad yang semakin kuat, Rina berusaha untuk tetap tenang di luar, meskipun di dalam hatinya ada rencana yang sedang berkembang. Ia tahu bahwa Dafa harus segera sembuh, tetapi ia juga tahu bahwa kesempatan ini bisa menjadi titik balik dalam usahanya untuk mengembalikan Andri dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD