Bab 6. Kecemburuan Laras

1273 Words
Dafa, bocah tujuh tahun itu, perlahan membuka matanya. Ia tampak bingung sesaat, mencoba mengenali ruangan di sekitarnya. Namun, begitu matanya tertuju pada Andri yang duduk di samping tempat tidurnya, senyum kecil langsung terukir di wajahnya yang masih pucat. "Papa ..." panggil Dafa dengan suara pelan dan lemah. Andri yang sedari tadi memperhatikan Dafa langsung merespons, menggenggam tangan kecil putranya dengan lembut. "Dafa, kamu sudah bangun, Nak? Papa di sini," jawab Andri, matanya berkaca-kaca melihat Dafa mulai sadar. Dafa mengangguk pelan, senyumnya semakin melebar. "Papa ... aku mimpi Papa datang ... ternyata beneran Papa ada di sini," katanya sambil mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Andri. Andri menunduk, mencium kening putranya dengan penuh kasih. "Papa akan selalu ada buat kamu, Dafa. Kamu harus cepat sembuh, ya," ucapnya dengan nada lembut. Di sisi lain, Rina menatap momen itu dengan campuran perasaan. Ada kebahagiaan melihat kedekatan Dafa dengan Andri, namun juga rasa cemburu saat ia melirik ke arah Laras yang berdiri di sisi lain tempat tidur. Sementara itu, Laras tersenyum tulus melihat interaksi ayah dan anak itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di tempatnya, memberikan ruang untuk momen mereka. Namun, di dalam hatinya, Laras merasa semakin yakin bahwa keberadaannya di sini mungkin membuat Rina tidak nyaman. "Dafa, Tante Laras juga di sini, lho," kata Laras akhirnya, mencoba mencairkan suasana. Ia melangkah mendekat, membawa sekotak jus yang sebelumnya ia siapkan. "Kamu haus? Mau minum ini?" Dafa menoleh ke arah Laras dan mengangguk pelan. "Makasih, Tante," jawabnya dengan senyum kecil. Rina yang melihat itu berusaha menahan perasaan tidak sukanya. Namun, ia tetap menjaga wajahnya agar tidak menunjukkan emosi yang sebenarnya. "Dafa, jangan terlalu banyak ngomong dulu, ya. Kamu masih lemah," ucap Rina sambil merapikan selimut Dafa, mencoba mengalihkan perhatian anaknya dari Laras. Andri menyadari perubahan ekspresi Rina, tetapi ia memilih untuk diam, tidak ingin menambah ketegangan. Ia hanya fokus pada Dafa, berharap anaknya segera pulih dan situasi ini tidak menjadi lebih rumit. Rina tersenyum lembut sambil mengusap kepala Dafa. "Dafa harus cepat sembuh, ya. Soalnya Papa udah janji sama Mama, kalau kamu sembuh, kita semua bakal liburan ke vila tempat kita sering menghabiskan libur panjang dulu. Ingat nggak, yang dekat pegunungan itu?" katanya dengan nada manis. Wajah Dafa yang sebelumnya masih pucat langsung berubah ceria. Matanya berbinar penuh semangat meski tubuhnya masih lemah. "Beneran, Ma? Papa janji mau ke sana lagi?" tanyanya penuh antusias sambil menoleh ke Andri. Andri terkejut sesaat mendengar ucapan Rina. Ia tak menyangka Rina akan membawa-bawa kenangan masa lalu mereka di depan Laras. Namun, ia berusaha tetap tenang. Andri menatap Dafa, yang kini menunggunya memberikan jawaban. Senyum kecil muncul di wajah Andri, meski di dalam hatinya terasa berat. "Iya, Dafa. Kalau kamu sudah sehat dan Dokter bilang kamu boleh jalan-jalan, kita bisa ke sana lagi," jawab Andri akhirnya, berusaha menjaga suasana tetap menyenangkan untuk Dafa. "Yeay! Dafa janji bakal cepet sembuh!" seru Dafa, senyum cerianya makin lebar. Ia tampak sangat bahagia dengan janji itu. Namun, Laras yang berdiri di sisi lain ruangan merasa sesuatu yang aneh. Janji itu terdengar sangat personal, seperti membawa kenangan yang hanya dimiliki oleh Rina dan Andri. Meski Laras tetap tersenyum, di dalam hatinya ia mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rina melirik Laras sekilas, senyumnya seolah menyiratkan kemenangan kecil. Ia tahu bahwa ucapannya tadi berhasil menggali memori lama yang hanya ia dan Andri yang tahu, membuat Laras merasa seperti orang luar. "Papa benar-benar hebat, ya," kata Rina sambil menatap Andri, senyum manisnya tak lepas dari bibir. "Terima kasih sudah selalu ada buat Dafa." Andri hanya mengangguk pelan, berusaha menghindari tatapan Laras, yang kini tampak sedang menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan apapun. Ia tahu situasi ini bisa menjadi semakin rumit, dan ia hanya berharap semuanya tidak berujung pada konflik di depan Dafa. Laras berdiri di sudut ruangan, memperhatikan interaksi antara Andri, Rina, dan Dafa. Senyum di wajahnya mulai memudar, tergantikan oleh perasaan asing dan tak nyaman yang semakin kuat. Semua yang terjadi terasa seperti menggambarkan sebuah keluarga utuh di mana ia tak memiliki tempat. "Aku rasa, aku harus pulang dulu," kata Laras tiba-tiba, memecah suasana. Suaranya terdengar tenang, meski hatinya bergolak. Ia melangkah ke arah tasnya, merapikan barang-barang yang dibawanya. Andri langsung menoleh. "Laras, kamu mau pulang? Tunggu, aku antar—" "Enggak usah," potong Laras cepat, senyumnya kaku. "Aku bisa pulang sendiri. Kamu di sini saja, temani Dafa." Andri tampak bingung dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tatapan tegas Laras membuatnya terdiam. Laras melirik Dafa sejenak, lalu berkata lembut, "Dafa, Tante Laras pulang dulu, ya. Kamu harus cepat sembuh supaya bisa liburan seperti yang Papa dan Mama janjikan." Dafa mengangguk, meski tampak bingung dengan perubahan suasana. "Makasih udah datang, Tante." Laras tersenyum tipis, mengusap kepala Dafa dengan lembut. "Sama-sama, Sayang." Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, Laras melangkah keluar dari ruangan, melewati Andri tanpa menoleh sedikit pun. Andri hanya bisa menatap punggung istrinya yang menjauh, merasa ada sesuatu yang salah tetapi tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Rina, yang memperhatikan semuanya, tersenyum puas dalam hati. Ia tahu kehadiran Laras membuat suasana jadi canggung, tetapi kini Laras telah pergi, memberikan ruang bagi dirinya untuk lebih dekat dengan Andri dan Dafa. "Dia memang nggak pantas ada di sini," pikir Rina sambil merapikan selimut Dafa, seolah tak terjadi apa-apa. Andri merasa tak nyaman melihat Laras pergi begitu saja. Ia segera berdiri, meninggalkan Rina dan Dafa di ruang perawatan. "Aku keluar sebentar," katanya singkat sebelum melangkah cepat keluar ruangan, mengejar Laras. Laras baru saja mencapai lorong rumah sakit ketika Andri memanggilnya. "Laras, tunggu!" Suaranya terdengar cemas, membuat Laras menghentikan langkahnya meski tidak menoleh. "Laras," ucap Andri lagi, kali ini lebih pelan saat ia berhasil menyusul istrinya. Ia berdiri di hadapan Laras, menatapnya penuh rasa bersalah. "Kamu kenapa pergi begitu saja? Aku tahu kamu pasti merasa nggak nyaman, tapi—" Laras mengangkat tangannya, meminta Andri berhenti bicara. Tatapannya tajam, meski bibirnya tetap melengkungkan senyum tipis. "Aku nggak apa-apa, Mas Kamu nggak perlu khawatir," katanya dengan nada tenang, namun ada sedikit getaran di sana. Andri menghela napas panjang. "Laras, aku minta maaf. Aku tahu tadi situasinya mungkin membuat kamu merasa terasing. Tapi aku nggak mau kamu salah paham. Aku di sini cuma untuk Dafa. Dia butuh aku." Laras menatap Andri dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di matanya. "Aku nggak pernah melarang kamu ada untuk Dafa, Mas. Aku tahu dia anakmu, dan aku menghargai itu. Tapi ... aku juga manusia. Aku punya perasaan," ucapnya pelan, namun penuh emosi yang tertahan. "Laras ...." Andri mencoba menjangkau tangan Laras, tapi istrinya mundur selangkah, menghindar. "Aku cuma merasa ... seperti orang asing di antara kalian. Aku tahu aku bukan bagian dari masa lalu kalian, dan aku nggak masalah dengan itu. Tapi apa kamu sadar, bagaimana sikap Rina tadi? Dia nggak suka aku ada di sana, Masi. Dan kamu membiarkannya," Laras melanjutkan, suaranya kini sedikit bergetar. Andri terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia menyadari kebenaran di balik kata-kata Laras, tetapi ia juga terjebak di antara dua dunia: masa lalu bersama Rina dan tanggung jawab terhadap keluarganya yang sekarang. "Aku nggak mau memperumit keadaan," kata Laras akhirnya, mencoba menahan air matanya. "Tapi kalau kehadiranku di sini malah membuat semuanya sulit, mungkin aku memang nggak perlu ikut campur." "Laras, jangan bilang begitu," potong Andri cepat. "Kamu istriku. Aku nggak mau kamu merasa seperti orang luar. Aku janji, aku akan memperbaiki semuanya. Tolong, jangan pergi seperti ini." Laras menatap Andri sekali lagi, kali ini ada kebingungan dan rasa sakit di matanya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku pulang dulu, Mas. Dafa butuh kamu di sini, jadi temani dia. Nanti kita bicarakan ini di rumah." Tanpa menunggu jawaban, Laras berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Andri yang masih berdiri di tempat, merasa semakin bersalah dan terjebak dalam situasi yang ia ciptakan sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD