Melewati Batas

1124 Words
Malam ini Denis membawaku ke tempat makan favorite kita berdua. Tinggal dua hari lagi dia akan pergi. Besok Denis mulai sibuk mengurus semua keperluannya dan tentu dia selalu meminta bantuanku. Kami makan malam dengan tenang sampai akhirnya Denis menggenggam tanganku. “Aulia,” panggilnya membuat aku menelan makananku dengan cepat. Tatapan Denis begitu dalam hingga aku jantungku berdegup lebih cepat. “Aku gak pernah ngasi kamu hadiah atau barang apa pun. Kali ini aku mau ngasi kamu sesuatu.” Denis merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan kotak kecil merah yang membuat aku menerka isinya. Apa dia akan melamarku secara resmi hari ini. Jantungku berpacu kencang membayangkan cincin tersemat di jari manisku. “Aku beliin kamu kalung. Suka gak?” tanya Denis setelah memperlihatkan kalung putih yang berhiasakan berlian kecil yang indah. Dia sangat tahu apa yang kusuka kalung dengan bandul kecil yang tidak terlalu mencolok. Walau aku salah menebak hadiah yang ia berikan, tapi aku tetap senang. Denis berdiri untuk memakaikan kalung itu padaku. “Kamu suka gak?” tanya kekasihku setelah ia duduk kembali di tempatnya. “Suka banget kamu selalu tahu kesukaanku.” “Memahami kamu tidak terlalu sulit kok,” ujarnya membuat aku terdiam. “Beneran? Berati aku bukan wanita yang sulit ditebak dong?” “Kebiasaan dan sifat itu adalah pengulangan dari apa yang mereka lakukan bertahun-tahun. Awalnya mungkin sulit untukku, tapi lama kelamaan aku bisa paham apa yang kamu suka dan tidak suka karena aku selalu memperhatikan kamu,” jawab Denis membuat aku tidak bisa menahan senyum lagi. Hal-hal ini yang tidak pernah aku dapatkan dari mantan suamiku. Walau hanya sekadar kata-kata gombal, tapi bisa membuat perasaanku senang. Aku tidak pernah meminta barang-barang mewah padanya, cukup dengan memberikan perhatian padaku sudah membuat aku senang. “Aku juga tahu apa yang kamu suka,” ujarku membuat Denis menopang dagunya dengan kedua tangan. Kami saling bertatapan dengan mata berbinar bahagia. Tanganku tidak pernah berhenti memegang bandul kalung itu. “Coba katakan apa yang aku suka?” tanya Denis. “Aku,” jawabku membuat Denis memalingkan wajahnya sambil tertawa. “Benarkan kamu suka aku?” Denis berhenti tertawa lalu menatapku lekat. “Terus apa lagi?” tanya Denis. Aku terdiam sejenak lalu memintanya mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Denis menuruti permintaanku sehingga jarak kami semakin dekat. Satu kecupan di pipinya mendarat sempurna. Denis terdiam sejenak lalu menundukkan kepalanya sambil menggeleng. “Cukup cukup, malam ini aku harus tidur nyenyak.” Wajah Denis memerah bahkan ia tidak berani menatapku. Kebiasannya saat sedang gugup membuatku ingin terus menjahili, tapi sepertinya aku harus menahan diri. Denis bisa-bisa tidak tidur kalau terus aku goda. “Benar gak mau lagi?” Kukedipkan sebelah mataku menggodanya. Denis menatapku lekat lalu beranjak pergi ke kasir. Tidak butuh waktu lama dia kembali lalu menarik tanganku untuk pergi. “Kamu harus diberi pelajaran,” gumamnya membuat wajahku terasa panas. Denis membuka pintu belakang mobil lalu membiarkan diriku masuk terlebih dahulu. Parkir bawah tanah ini sangat sepi dan penerangannya pun seadanya. Denis menutup pintu mobil setelah ia masuk menyusulku. Tanpa banyak bicara Denis menarik tenggukku dan mencium bibirku dengan lembut. Kukalungkan tanganku di lehernya untuk memperdalam ciuman kami. Tangan Denis tidak tinggal diam mengusap punggungku yang masih memakai pakaian lengkap. Lenguhan lolos begitu saja dari mulutku saat Denis mencium leherku. Kuremas lembut rambut hitamnya ketika ia kembali mencium bibirku. Ini pertama kalinya sejak berpacaran kami melakukan sejauh ini. Denis meraih pinggangku dalam hitungan detik aku sudah berada di pangkuannya. Rambut hitam panjangku terurai bebas membuat Denis dengan leluasa membelainya. Rok pendekku tersingkap membuat penampilaku semakin kacau. “Aku tidak sabar ingin menikahimu,” gumam Denis tepat di depan bibirmu. “Kalau begitu selesaikan pekerjaanmu lalu kita persiapkan pernikahan,” gumamku. Tubuhku terasa panas ketika Denis mengusap pahaku. Tangan kekarnya membuat desiran halus merayap kesekujur tubuh. Sudah lama aku tidak merasakan getaran yang memabukkan. Kami kembali berciuman lebih lama dan dalam. Denis dengan napas terengahnya lalu bersandar menerima ciumanku di lehernya. Kedua tangannya kini memeluk tubuhku seakan enggan untuk berpisah. “Apa kita cukupkan sampai di sini?” gumamku setelah menyudahi ciuman di lehernya. “Ya, kita cukupkan sampai di sini. Aku tidak akan bisa mengendalikan diriku lagi jika kita terus melakukannya,” sahut Denis. “Tapi kalau kamu mau kita bisa melakukannya sekali saja,” godaku sembari membuka kancing teratas kemejanya. Denis segera menghentikan gerakan tangannya kemudian menatapku lekat. “Aku ingin menepati janjiku,” ujarnya membuat aku tertegun. Aku tahu Denis sangat tersiksa setelah apa yang kita lakukan. Namun, kekasihku masih bisa mengendalikan dirinya. “Aku mencintaimu,” gumamku lalu turun dari pangkuannya. Kami memperbaiki penampilan yang berantakan sebelum pindah ke kursi depan. Kutatap Denis yang sibuk menyetir di sampingku. Tuhan terima kasih telah mengirimkan obat penyembuh luka hatiku. Kehadiran Denis yang tidak terduga mampu sedikit demi sedikit menyembuhkan rasa sakit yang ditorehkan mantan suamiku selama empat tahun. Flashback. Malam ini adalah hari ulang tahun Julio. Aku sudah bersiap dengan dandanan cantik. Bahkan aku sengaja berpakaian seksi yang bisa membuat suamiku lupa diri. Jarum jam sudah menunjuk pukul 8 malam itu artinya sebentar lagi suamiku tiba di rumah. Sejam lamanya aku menunggu Julio belum juga pulang. Kukirim pesan menanyakan keberadaannya, tetapi belum juga dibalas. Kue, hadiah, dan dekorasi cantik di kamar sudah kusiapkan berharap suamiku bahagia dengan kejutan kecil ini. Bahkan aku sampai ketiduran menunggunya pulang. Tepat pukul sebelas malam suara mesin mobil terdengar dari bawah sana. Aku segera bangun untuk melihat siapa yang datang dari jendela kamar. Aku senang melihat suamiku pulang. Jalannya pelan tampak keletihan. Kukenakan jaket yang ada di lemari lalu turun untuk menyambut kedatangan suamiku. Wajah lelahnya yang pertama kulihat. Dia bekerja sangat keras hari ini. Aku harap kejutan kecilku akan membuat Julio bahagia. “Kamu capek banget ya, Sayang?” tanyaku setelah menerima jas dan tas kantor Julio. Kami berjalan bersisian, kupeluk lengannya erat ketika kami menaiki satu per satu anak tangga. “Iya, aku capek mau istirahat,” jawabnya tanpa menatapku. “Aku punya kejutan buat kamu.” “Apa?” “Nanti juga kamu tahu. Kejutannya ada di kamar,” ucapku dengan senyum merekah. Kubuka pintu kamar dan berharap Julio akan bahagia. Namun, mimik wajahnya tetap sama. “Kita tiup kue dulu, ya.” Kuletakkan jas dan tas suamiku di atas meja. Julio masih berdiri dekat tempat tidur sembari menghidupkan lilin. Kue coklat kesukaan Julio. Ia memejamkan mata lalu meniup lilinya. “Sudahkan,” ucap Julio dengan ekspresi datarnya. “Aku punya hadiah buat kamu.” Kuambil hadiah yang sudah kusiapkan untuknya. Julio menerima hadiah itu lalu membuangnya ke tempat tidur. “Besok saja aku buka, aku mau mandi dulu capek banget,” ujarnya lalu beranjak ke kamar mandi. Aku terhenyak dengan penuh kekecewaan. Aku pikir dengan kejutan itu bisa membuat suamiku bahagia, tapi justru sebaliknya. “Apa yang bisa membuat kamu bahagia?” gumamku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD