Basah

1134 Words
Hari itu saat aku datang pagi-pagi ke tempat kursus Kendrick sudah melakukan pekerjaannya menyiram tanaman. Sambil berjoget dan bersenandung kecil ia tidak menyadari kehadiranku. Kutepuk pundaknya membuat Kendrick kaget dan sialnya ia mengarahkan selang air itu padaku. Mulutnya mengangga lebar dengan mata mengerjap berkali-kali. Dia terdiam seperti patung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Meski aku sudah berteriak meminta ia menghentikan siramannya tetap saja Kendrick mematung. Ke mana pun aku pindah ia selalu mengarahkan selangnya padaku. “Kendrick aku basah!” teriakku membuat ia tersentak lalu membuang selang air. “Oh, maaf!” pekiknya dengan wajah panik. Kini aku yang mematung melihat Kendrick membuang selang air. Pakaianku basah sampai ke dalam. Tanpa kuduga Kendrick melepas kaosnya lalu memberikannya padaku. Kulit putih dengan perut terpahat sempurna membuat aku terdiam sesaat. Ia juga melepas headset yang ada di telinganya. “Pakai ini,” ujar Kendrick menyodorkan kaos berwarna hitam yang kebesaran untukku. Aku yang tingginya 158 cm sementara dirinya mungkin 174 cm. “Gak perlu aku telepon Mia saja suruh bawain baju,” tolakku. Kendrick meraih tanganku lalu meletakkan kaosnya pada tanganku. “Pakai ini dulu biar gak masuk angin,” ujarnya sembari mendorongku masuk ke dalam ruangan. Aku tidak punya pilihan selain mengikuti saran Kendrick. Setelah mengirim pesan pada Mia aku pun segera mengganti pakaian. Harum pakaian Kendrick membuat pikiranku lebih tenang. Beberapa kali kucium kaosnya sebelum kukenakan. “Kamu pakai parfum apa sih wangi banget,” tanyaku setelah mengganti pakaian. Kendrick yang sedang mengambil minuman di kulkas pun menoleh. Pipiku terasa panas setiap kali melihat tubuh atasnya yang berotot. Ditambah bulir keringat menetes pelan mengalir seperti anak sungai. “Kamu suka wanginya?” tanya Kendrick. Aku segera memalingkan wajah berusaha mencari kesibukan untuk mengalihkan perhatian dari pria itu. Kendrick memang menarik, tapi aku sebisa mungkin tidak boleh tertarik. “Iya, wanginya lumayan,” sahutku. “Aku pakai Cha—” Kendrick terdiam lalu meletakkan botol minumannya di atas meja. “Gak ada merek. Aku belinya di pasar.” “Wanginya enak,” gumamku. “Aku boleh tanya sesuatu?” Aku mengangguk sembari membereskan kertas yang ada di atas meja kerja si Mia untuk mengalihkan perhatian. Tanganku sibuk membereskan meja itu sementara telingaku selalu mendengarkan setiap ucapan Kendrick. Tanpa kusadari Kendrick mendekatiku lalu duduk di meja kerja Mia membuat aku mau tidak mau menatapnya. “Kenapa kamu repot-repot membangun usaha ini? Belum tentu juga rumah tangga mereka terbebas dari masalah setelah ikut kursus,” tanyanya. Kutarik kursi hitam itu lalu duduk sembari menatapnya. Kurasakan dingin di kaki karena celana hitamku masih basah. “Aku memang tidak menjamin rumah tangga mereka akan langgeng dan sejahtera, tapi setidaknya mereka memiliki bekal jika menghadapi masalah.” “Bukannya jadi sia-sia jika pada akhirnya mereka berpisah?” tanya Kendrick. “Tidak ada yang sia-sia selama pasangan masih memiliki tujuan yang sama. Aku ingin membantu sebisaku. Ada hal-hal yang harus mereka bicarakan sebelum menikah untuk itu aku meminta mereka berdiskusi dan memikirkan berkali-kali sebelum membuat keputusan.” Kendrick menahan tanganku ketika ingin beranjak. “Jawabanmu terlalu teoritis belum menjawab pertanyaanku,” ucapnya. “Jawaban seperti apa yang kamu inginkan?” “Yang lebih sederhana agar aku bisa paham.” “Begini, ada beberapa orang dalam satu ruangan mempelajari hal yang sama setiap harinya. Di akhir semester mereka lulus bersama, tapi belum tentu mereka memiliki profesi atau jabatan yang sama dalam pekerjaan. Itu semua tergantung dari bagaimana mereka mengelola dan memanfaatkan ilmu itu dalam kehidupan.” Kendrick terdiam dengan kening mengkerut. “Aku membuat kursus pra nikah ini agar calon pasutri itu paham kalau pernikahan bukan sebuah permainan. Bukan sekadar aku cinta kamu dan kamu cinta aku lalu kita hidup bahagia.” “Jadi pernikahan itu apa?” tanya Kendrick. “Cinta, komitmen dan respect. Tiga hal itu adalah dasarnya. Seseorang dipersatukan oleh cinta kemudian diikat oleh komitmen dan bertahan karena saling respect. Setidaknya sebelum menikah mereka mengenal tiga hal ini.” Kendrick tersenyum tipis lalu berdiri di hadapanku. Tubuh tingginya membuat aku harus mendongkak. “Aku pikir kamu akan menjawab menikah itu adalah ibadah,” ujarnya dengan senyum tipis. Aku mengangguk pelan. “Menikah memang ibadah, tapi lebih tepatnya jalan cinta menuju Tuhan.” Kendrick mengusap kepala bagian belakangnya. Sepertinya dia tertarik dengan pernikahan. Berbeda dari pertemuan pertama kami, pria itu tampak kesal membaca plang nama di depan. “Kepalaku pusing memikirkan pernikahan. Kenapa banyak yang berlomba untuk menikah dan pada akhirnya mereka sengsara dan menyesali keputusan itu. Lebih baik tidak menikah jadi gak perlu pusing, hidup bahagia tanpa beban,” ujar Kendrick sembari memasukkan kedua tangannya di kantong celana. “Jangan berpikir seperti itu banyak orang yang menikah dan hidup bahagia. Tidak semua pernikahan berakhir dengan perpisahan asal pondasinya kuat.” Kendrick melenggang pergi begitu saja kembali menyiram tanaman dengan bertelanjang d**a. Ia tampak tidak senang dengan jawabanku atau dia belum puas. Mia yang baru turun dari ojek seketika terpana melihat tubuh atas Kendrick yang kekar. Tatapan Mia bahkan tidak teralihkan sedikit pun pada pria itu. Tanpa sadar Mia menggigit bibir bawahnya saat melihat Kendrick bekerja. “Mbak Aulia!” pekiknya lalu berlari mendekatiku. “Mbak, Mas Kendrick kenapa gak pakai baju?” tanya Mia lalu kemnbali melihat Kendrick yang kini sedang menggulung selang air. “Baju aku basah jadi dia ngasi kaosnya biar aku gak masuk angin.” Mia seketika menatapku. “Iya sudah pakai saja kaosnya Mas Kendrick, Mbak. Biarin dia kayak gitu. Dia seksi banget,” ujar Mia sambil memegang kedua pipinya sesekali Mia menoleh pada Kendrick yang tengah menyuar rambutnya dengan tangan. Kendrick terlihat seperti model profesional yang sedang beradu gaya di depan kamera. Cahaya matahari seperti cahaya kamera yang menerpa tubuhnya. “Gak bisa Mia, kasihan Kendrick kalau gak pakai baju. Mana baju yang aku minta?” Mia segera menyembunyikan tasnya di balik punggung. “Gak bakalan sakit kok Mbak, Mas Kendrick kan kuat.” Wajah Mia sudah memerah, aku tahu apa yang dia inginkan. “Mia, mana bajunya?” Dengan enggan Mia akhirnya mengeluarkan pakaian dari tas. Aku segera mengambil pakaian itu lalu bergegas menggantinya. Mia seolah tidak rela kalau aku mengembalikan kaos itu pada Kendrick. “Yah, pemandangannya tertutup,” gumam Mia setelah aku kembali masuk ke ruangan. Kendrick sudah mengenakan pakaiannya kembali membuat Mia menatapnya sendu. “Sudah kembali bekerja,” ucapku membuat Mia duduk di kursinya. Kami kembali ke ruangan masing-masing. Ada tiga klient yang mengeluh masalah rumah tangga yang sedang mereka hadapi dan ada satu calon pengantin yang masih bimbang dengan pilihannya. “Selama lima tahun ini kami menjalani hubungan dengan baik, tapi aku tetap ragu sama dia,” ujar gadis berusia 25 tahun di depanku. “Apa yang membuat kamu ragu?” tanyaku. Gadis itu menghela napas berat seakan bebannya sudah menumpuk sekian tahun. “Boleh aku cerita?” “Tentu, ceritakan apa pun yang mengganjal di hati kamu. Aku akan mendengarkannya,” ujarku membuat dia tersenyum tipis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD