Aku dan Tante Delia kompak menoleh pada sumber suara. Denis yang sedang menggosok rambutnya dengan handuk seketika mematung melihat ibunya berada di dapur.
“Eh? Mama kapan datang?” tanya Denis wajahnya tampak kaget. Ia menghampiri tante Delia lalu mencium kedua pipi ibunya. Aroma sabun menusuk hidungku. Aku sangat senang mencium wangi citrus segar setiap kali Denis selesai mandi.
“Mama baru saja datang. Maaf kalau mama ganggu kalian berdua,” ucapnya sembari menatap aku dan Denis bergantian. Keteduhan tatapan itu membuat aku merasa nyaman.
“Mama gak ganggu kok, cuma bikin kaget.” Denis menghampiriku lalu memelukku dari belakang. Mataku terbelalak ketika Denis mencium pelipisku. Dengan cepat kupukul tangannya untuk melepaskan diri. Denis melepas pelukannya, wajahnya cemberut sembari mengusap tangannya yang kupukul.
“Keplesetnya jangan sekarang dong, masih sore begini nanti malam saja,” ucap Tante Delia dengan senyum dan kerlingan mata menggoda. Tante Delia lalu beranjak keluar dari dapur, entah apa yang dipikirkan wanita paruh baya itu tentang diriku sekarang. Wajahnya tampak berbinar ketika meninggalkan aku dan Denis.
“Kamu jangan peluk-peluk aku di depan mama. Aku malu,” ujarku. Denis yang baru membuka kulkas untuk mengambil air minum langsung menoleh.
“Peluk-peluk gak boleh, cium-cium gak boleh juga, kalau raba-raba boleh dong?” Denis mengerlingkan matanya sebelum keluar dari dapur sambil minum sebotol air mineral . Desiran halus mengalir di sekujur tubuhku. Belum pernah aku dicintai seperti itu.
Sentuhan Denis yang lembut terasa menyentuh titik-titik sensitifku. Membayangkan saja membuat diriku kepanasan. Walau dia hanya bergurau tapi rasanya seperti Denis telah menyentuhku. Tangan kekarnya yang sering mengusap lengan dan bahuku terasa seolah sedang mengusap seluruh permukaan kulitku. Mataku terpejam sejenak untuk menghalau perasaan aneh itu.
“Aulia apa yang terjadi padamu?” gumamku setelah menguasai diri. Aku kembali fokus memasak setelah tubuhku merasa lebih nyaman. Sentuhan Denis sangat memabukkan.
Makan malam sudah terhidang di meja makan. Untuk kedua kalinya aku makan malam bersama Tante Delia. Awal bertemu kami tidak banyak bicara, tapi sekarang Tante Delia terlihat tidak canggung lagi.
“Tante hari ke mana saja?” tanyaku basa-basi.
“Tante di rumah saja berkebun, rawat bunga terus bosen makanya tante ke sini mau ketemu Denis.” Tante Delia makan dengan lahap masakanku. Masakan sederhana yang diinginkan Denis. Ada tumis kangkung, ayam saos asam manis dan tempe goreng sambal lalapan. Melihat Denis makan dengan lahap membuat aku senang.
“Mama biasanya hubungi aku dulu kalau mau ke sini.”
“Iya sengaja biar kamu gak nyuruh Aulia pergi. Setiap mama ke sini cuma ada kamu. Mama juga pengen ngobrol sama Aulia,” ujarnya membuat aku terharu. Bahkan aku sampai tidak bisa menelan makanan. Inikah rasanya dicintai oleh seorang ibu.
“Iya nanti aku ajak Aulia ke rumah sebelum berangkat,” sahut Denis setelah menghabiskan suapan terakhirnya.
“Kapan kalian nikah?”
Seketika aku dan Denis tersedak. Kami segera minum air untuk mendorong sisa makanan di dalam mulut. Denis menatapku khawatir.
“Ma, nanti kalau aku sudah siap kita bakalan nikah kok,” kata Denis. Seharusnya Denis mengatakan kalau aku yang belum siap.
“Denis, kasihan dong Aulia nungguin kepastian dari kamu,” ucap Tante Delia.
“Gak apa-apa Tante, Denis juga lagi sibuk dengan pekerjaannya. Nanti setelah dia pulang dari luar kota kita bisa membicarakan pernikahan,” ucapku dengan senyum lebar. Denis menggenggam tanganku.
“Sayang kamu serius?” tanya Denis seakan tidak percaya. Aku mengangguk pelan. Apa lagi yang aku tunggu? Denis begitu baik dan pengertian, keluarganya pun menerimaku dengan hangat. Sesuatu yang tidak pernah kudapatkan dipernikahan sebelumnya.
“Wah, mama senang dengarnya. Jujur saja mama sudah gak sabar gendong cucu.”
Seketika tubuhku menegang. Kutarik kembali tanganku dari genggaman Denis. Mendengar kata cucu membuat tubuhku gemetar. Denis mungkin menerima kenyataan bahwa kemungkinan aku tidak bisa hamil, tapi bagaimana dengan orang tuanya yang berharap mendapat penerus.
“A… aku ke toilet sebentar.” Aku bergegas masuk ke bilik toilet. Napasku terasa sesak. Rasanya ingin menangis saat ini juga. Kutatap pantulan diri di depan cermin.
“Andai Julio mau dengar kata mama mungkin sekarang dia sudah punya anak. Insting seorang ibu tidak pernah salah.”
Perkataan dari mantan ibu mertuaku terus mengalir dalam ingatan. Bagaimana jika hal yang sama terulang kembali. Bagaimana jika aku mengecewakan Tante Delia. Kutatap pantulan diri di depan cermin.
“Kenapa kamu begitu menyedihkan, Aulia?” Kubasuh wajahku dengan air lalu mengeringkannya. Setelah membaik aku pun keluar toilet dan bergabung kembali di meja makan. Seketika suasana menjadi canggung.
Tante Delia menatapku membuat aku menunduk. Dia lalu beranjak duduk di sampingku.
“Aku beli cemilan dulu, ya, ke bawah,” ujar Denis seraya berdiri dan langsung pergi. Aku bahkan tidak bisa meminta Denis untuk tetap tinggal.
Tante Delia meraih tanganku. Dengan lembut wanita itu mengusap punggung tanganku. Dia tersenyum tipis lalu menggenggam erat tanganku.
“Maafkan Tante, Aulia. Tidak semua wanita diberi anugerah menjadi seorang ibu, tapi asalkan dia bisa menjadi istri yang baik sepertinya itu cukup. Denis mencintai kamu Aulia, saya sebagai ibu tidak akan melarang pilihan hidupnya asal dia bisa bertanggung jawab pada pilihan itu. Termasuk jika dia memilih kamu sebagai pendamping hidupnya.”
Kali ini aku menatap mata Tante Delia. Tidak sedikit pun ia menentang hubunganku dengan Denis walau tahu kalau aku kemungkinan tidak bisa memberi keturunan. Rasa percaya diriku kembali tumbuh. Perasaanku semakin tenang setiap kali menatap wajah Tante Delia.
“Sebenarnya tante juga sulit memiliki keturunan. Hingga delapan tahun pernikahan tante belum juga memiliki anak. Berbagai macam cara sudah kami lakukan tapi hasilnya nihil. Kami sudah pasrah dan menyerah lalu kami putuskan untuk mengadopi dua anak sekaligus. Sebuah keajaiban datang, tante akhirnya hamil dan lahirlah Denis.”
Aku terhenyak dengan cerita Tante Delia. “Jadi Denis adalah anak tante satu-satunya?”
Tante Delia membenarkan pertanyaanku. “Untuk itu tante tidak akan ikut campur urusan percintaan Denis. Dia berhak mendapat kebahagiaannya. Walau nanti kalian akan sulit mendapat keturunan itu bukanlah suatu masalah jika kalian bisa menerimanya.”
“Tapi aku akan berusaha agar bisa memberi keturunan pada Denis,” ucapku membuat Tante Delia tersenyum lebar.
“Kalian harus berjuang,ya. Semangat.” Aku mengangguk bahagia. Beban berat yang selama ini aku takutkan seketika menguap begitu saja. Dulu saat pertama kali Denis mengutarakan keinginannya ingin menikah pikiranku seketika kacau. Banyak ketakutan yang muncul yang membuat aku sering menghindari pembahasan itu. Ketakutan yang hanya ada di dalam pikiranku seakan membelenggu langkahku. Ketakutan yang hanya ada di dalam pikiranku seakan membelenggu langkahku. Namun, hari ini semua pikiran buruk itu menguap hanya dengan usapan di punggung tanganku.
Ponselku berdering membuat moment hangat teralihkan sejenak k****a nama yang tertera di layar ponsel. “Maaf Tan, saya mau angkat telepon dulu.” Aku segera menjauh dari Tante Delia.
“Halo, ada apa Mia?”
“Mbak Aulia gawat, Mbak!”
“Gawat kenapa Mia?”
“Itu ….!”