Kendrick

1417 Words
“Ada kucing masuk ke ruangan Mbak Aulia, terus mati,” ujarnya membuat keningku mengkerut. “Kucing mati di ruanganku? Bagaimana bisa?” “Jadi begini Mbak, tadi aku balik lagi ke kantor buat ambil dokumen yang tertinggal. Saat sampai di depan kantor aku dengar suara kucing keras banget. Aku gak tega liat kucing kesakitan jadi aku bawa dia masuk. Kaki belakangnya lumpuh jadi aku taruh saja dekat meja kerjaku. Gak taunya dia ngesot ke ruangan Mbak Aulia dan mati,” jelas Mia. “Ya tinggal di kubur saja, Mia. Kamu gak perlu nelpon aku,” sahutku. “Tapi Mbak dari yang aku dengar kalau ada kucing mati di dalam rumah berarti ada pertanda buruk.” “Mia, itu hanya mitos. Sekarang kamu kubur kucing itu baik-baik lalu bersihkan ruanganku. Bisakan?” tanyaku. Mia akhirnya menutup panggilan setelah menyanggupi apa yang kuperintahkan. Aku kembali bergabung dengan Tante Delia di meja makan, tidak lama kemudian Denis datang membawa beberapa cemilan. “Lebih baik mama pulang saja,ya.” “Aku antar mama pulang,ya,” ujar Denis lalu mengambil jaket yang tersampir di sofa. “Gak perlu sudah ada sopir yang nunggu di parkiran. Kamu temani Aulia saja, ya.” Aku tersenyum ketika Tante Delia beranjak lalu menyampirkan tasnya ke bahu. Aku dan Denis mengantarnya sampai depan lift. Setelah list tertutup aku dan Denis kompak saling bertatapan. Entah apa yang ia dia pikirkan kami justru tertawa bersama. Perasaan hangat berkali-kali memyusup ketika melihatnya. “Sayang,” panggilnya. “Jangan di sini, aku malu,” sahutku lalu berjalan cepat ke kamar apartemen. Denis menyusulku dengan langkah lebarnya. Saat kubuka pintu dengan cepat Denis mendorong tubuhku masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Kami berhadapan saling mengunci pandangan. Perlahan Denis menarik tanganku menghapus jarak diantara kami. “Kamu tahu malam ini adalah malam terindah dalam hidupku,” ucapnya dengan suara lembut. “Benarkah? Kenapa? Karena mama kamu?” tebakku. Denis menggeleng sembari mengusap kedua pipiku. “Karena kamu akan jadi calon istriku.” Kupejamkan mataku ketika Denis mengecup keningku. Lama kami terdiam sampai Denis melepaskan ciumannya. Wajahku menengadah melihat wajah Denis lebih jelas. Kecupan di bibirku membuat mataku kembali terpejam. Ciuman lembut yang memabukkan membuat aku terbuai. Kukalungkan kedua tanganku di lehernya. Tubuhku terasa melayang, Denis menggendongku membuat aku mau tidak mau mengeratkan pelukan di pehernya. “Denis turunkan aku,” ujarku sesaat setelah ciuman kami berakhir. “Gak apa-apa, aku mau latihan gendong kamu sebelum nikah,” sahutnya membuat wajahku terasa panas. Kutenggelamkan wajahku dalam-dalam pada ceruk lehernya. Aku bahkan tidak sanggup untuk menatap matanya. “Denis jangan bikin aku malu,” gumamku membuat dia tertawa lepas. Bukannya menuruti ucapanku Denis justru menggendongku sampai di kamar. Ia membaringkan diriku di tempat tidur lalu menyelimutiku. “Selamat tidur, Sayang,” gumamnya. “Kamu gak mau tidur sama aku malam ini?” tanyaku berusaha menahan rasa malu. Denis terdiam cukup lama sampai akhirnya aku menggeserkan tubuhku untuk memberikan tempat untuk dia berbaring. “Cuma tidur gak lebih,” lanjutku membuat dia tersenyum tipis. “Oke, cuma tidur saja.” Denis lalu bergabung di bawah selimut bersamaku. Kami saling bertatapan lalu tertawa bersama Denis. ** Pagi ini aku menolak ajakan Denis yang ingin mengantarku kerja. Entah mengapa aku ingin sendiri untuk beberapa waktu. Baru saja aku turun dari boncengan ojek online mataku tertuju pada sosok seorang pria yang tertidur pulas di depan pintu masuk. Kutatap sekitar yang masih sepi. Rasa takut membuatku ingin pergi, tapi terbesit keinginan untuk mendekat. Bagaimana jika pria itu butuh pertolongan? Bagaimana kalau pria itu hanya numpang tidur karena tidak punya tempat tinggal? Kugelengkan kepala berusaha mengenyahkan pikiran itu. Walau ragu aku tetap melangkah menghampirinya. Sekilas aku merasa tidak asing dengan pria itu. Seperti pernah melihatnya. Semakin dekat wajahnya semakin jelas terlihat. Pria itu adalah orang yang pernah bersembunyi di tempat kursusku beberapa hari lalu. Pakaiannya sedikit lusuh, tampak wajah lelahnya tertidur pulas meski aku berada di dekatnya ia tidak terusik sedikit pun. Ia tidur menyamping dengan tangan dijadikan bantal. “Kasihan dia gak punya tempat tinggal,” gumamku lalu pergi mencari warung terdekat. Setidaknya aku bisa membeli sebungkus roti dan sebotol air untuknya. Setelah membeli makanan aku kembali ke tempat kursus. Pria itu masih tertidur tanpa mengubah posisi sedikit pun. “Hei, bangun.” Kuguncang tubuhnya. Dia tidak bereaksi membuat aku panik. Kuguncang lebih keras dan dia hanya mengerang tanpa membuka matanya. “Hei, bangun!” Seketika ia tersentak lalu duduk sambil mengusap wajahnya. Rambut panjang lurus yang acak-acakan membuat ia terlihat kacau. Entah kenapa walau penampilannya berantakan tidak sedikit pun membuat ia terlihat seperti orang jalanan. Apa ini hanya perasaaku saja ia terlihat menarik. “Kenapa tidur di sini?” tanyaku membuat ia menghela napas panjang. “Gak tahu,” jawabnya ketus dan singkat. Kuberikan makanan yang kubeli tadi. Awalmya dia enggan menerima makanan itu sampai akhirnya aku sendiri yang meraih tangannya agar mau menerima. “Makan dulu aku tahu kamu pasti lapar. Kalau mau kamu bisa makan di dalam,” ujarku lalu berdiri untuk membuka pintu. Pria itu masih mematung duduk sembari menggenggam kresek yang kuberikan. Ia membuka tutup botol lalu meminum airnya hingga sisa setengah. Aku kira dia akan pergi, tapi ternyata pria itu menyusulku masuk ke ruangan. Dia berdiri di depan meja Mia. Aku menoleh dan mempersilakan dia duduk di sofa. Ia menurut lalu bersandar sambil makan roti yang kuberikan. “Terima kasih,” ucapnya seperti enggan. “Ini pertama kalinya aku berterima kasih pada seseorang jadi kau orang yang beruntung,”’ ucapnya sembari melahap rakus roti itu seperti orang belum makan dari semalam. Aku yang sedang menyeduh teh sesekali melirik pria itu. “Namamu siapa?” tanyaku sembari mendekatinya. Kuberikan secangkir teh hangat padanya. Ia menatapku lalu kembali makan dengan lahap. Setelah makanan di mulutnya ditelan habis barulah ia meminum teh yang kuberikan. Aku masih sabar menunggunya bicara. “Namaku Kendrick,” ucapnya membuat aku hampir tersedak. “Nama kamu bagus,” pujiku membuat dia bersandar di sofa dengan kedua tangan direntangkan. Dia tampak arogan. Aku menyebutnya si gembel yang sombong. “Namaku memang bagus banyak yang memujinya.” Aku tersenyum tipis sembari meminum teh yang masih hangat. “Apa kamu benar-benar tidak memiliki tempat tinggal?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk. “Kamu punya KTP?” Seketika Kendrick menegakkan tubuhnya lalu memeriksa setiap saku yang ada di celananya. “Aku tidak membawa KTP. Aku melupakan dompetku,” jawabnya lalu tersenyum senang. Selang beberapa saat ia tertawa kecil membuat aku berpikir ada yang tidak beres dengan pria ini. Aku harus waspada dengannya. “Kamu baik-baik saja?” Dia menatapku lalu mengangguk. “Aku baru ingat kalau mereka yang menyita KTP-ku,” sahutnya enteng. Aku heran kenapa ada orang yang bahagia ketika kartu identitasnya disita. Apa dia tidak takut identitasnya disalah gunakan? “Kenapa kamu ada di depan kantorku?” “Apa kamu tidak lihat kalau tadi aku tidur?” “Maksudku kenapa kamu tidur di sana?” “Ya karena aku ngatuk,” jawabnya membuat aku jengkel. “Dari sekian banyaknya tempat yang bisa kamu singgahi kenapa kamu memilih kantorku?” Kendrick mengusap wajahnya lalu menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari. “Aku tidak tahu tempat yang aman selain kantor ini,” jawabnya. “Apa kamu tidak memiliki pekerjaan atau rumah atau saudara?” tanyaku. Kendrick menggeleng pelan. “Kamu tidak akan mengerti, kisah hidupku lebih rumit dari yang kamu pikirkan.” “Baiklah anggap aku tidak mengerti apa pun. Sekarang aku minta kamu pergi dari sini dan jangan pernah datang kembali lagi,” ucapku. “Kamu mengusirku? Aku datang ke sini untuk bekerja. Aku tidak memiliki pekerjaan bagaimana caranya aku membayar hutang di rentenir itu? Rumah dan semua harta bendaku dikuasai mereka. Aku butuh pertolonganmu,” ujarnya dengan ekspresi datar. Aku ragu mendengar perkataannya. “Kenapa harus aku?” tanyaku. “Karena kamu suka mencampuri urusan orang lain. Kamu juga suka menolong jadi ….” “Yak! Siapa yang suka mencampuri urusan orang lain?” tanyaku sedikit kesal dengan tuduhan itu. “Ya kamu, buat apa kamu mendirikan bisnis ini kalau kamu tidak suka ikut campur urusan orang lain. Untuk apa kamu repot-repot peduli pada mereka yang akan menikah. Bukankah itu urusa mereka.” Kehela napas dalam-dalam sebelum bicara padanya. “Maaf aku belum bisa bantu kamu jadi bisakah kamu pergi sekarang?” Kendrick berdiri menjulang di depanku. Aku mulai takut terlebih hanya ada kami berdua di kantor. Kendrick bersimpuh di depanku lalu meraih tanganku layaknya pangeran yang meminta seorang putri berdansa dengannya. “Hanya kamu yang bisa membantu saja. Kali ini saja bantu saya,” ucapnya membuat aku terdiam cukup lama. “Tidak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD