*Peringatan*
- Cerita berikut mengandung konten dewasa, seperti perkelahian, kata-kata kasar, s*x, alkohol dan sebagainya. Pembaca diharap bijak-
-----------------------------------------------------------------
"Kebun Anyelir kalian cukup indah, Kau tau apa yang lebih indah? Baekie, bagaimana rasanya memeluk wanita indah itu?"
Oliver meradang setelah mendengar suara dari telepon tersebut. "K-Kau... b******n! Kau memata-matai kami?" Oliver melihat sekeliling, mencari tahu keberadaan si b******k yang meneleponnya.
"Hahaha, tenang Tuan Muda, Kau terlihat ketakutan sekali."
"Chris! b******k, Kau dimana? keluar Kau, pengecut!"
"Entahlah, menurutmu Aku sekarang dimana?"
Oliver mengepalkan tangannya geram, "Kau mau apa sebenarnya? berhenti bermain-main dan keluar!"
"Menurutmu? Aku menginginkan apa?" Chris terkekeh, terdengar puas mempermainkan Oliver. "Nikmati saja harimu Oliver, sebelum aku merebutnya. Ah... iya, kamar di ujung lorong itu, itu kamar Baekie bukan?"
"b******n! Kau..."
Telepon ditutup, dengan kesal Oliver membanting gawai di tangannya, lalu menyumpah. "Aku akan membunuhmu! Aku benar-benar akan membunuhmu!" Oliver berteriak seperti orang kesetanan.
"Oliver, apa yang terjadi? tenanglah..."
Oliver menarik Baekie. Sesampainya di kamar Baekie, Oliver berkeliling. Memeriksa semua sudut, mengunci serta menutup jendela dengan Gorden tebal.
"Dengarkan Aku, jika Aku tidak di rumah, Kau harus tetap di kamar. Jangan pernah keluar sedikitpun!"
"Memangnya kenapa? Aku tak kan mengerti jika Kau tidak cerita apapun!"
"Pokoknya turuti saja perintahku!" Oliver mengacak rambutnya, kepalanya terasa ngilu, dan jari-jarinya terasa kaku.
Baekie mendekat lalu menggenggam tangan Oliver erat. "Apa yang menelepon tadi itu Chris? kalian ada masalah?"
"Bukan masalah, Aku dan Dia memang ditakdirkan untuk saling bunuh." Ngilu di kepala Oliver semakin menjadi, karena emosinya saat ini berada dalam tingkat yang buruk, serta ditambah mendung di luar sana, itu mempengaruhi hawa tubuhnya.
"Oliver, Tenanglah... Semua bisa diselesaikan dengan bicara."
"Dia berusaha merebutmu dariku!" Bruk! tiba-tiba Oliver rubuh. Tubuhnya menggigil, Baekie panik lalu memeluk Oliver erat. "D-dia... tidak akan k-kubiarkan dia merebutmu dariku." Ucap Oliver terbata-bata. Bibirnya membiru, diikuti dengan kuku-kuku tangannya.
"Tenanglah, Aku disini, tidak akan ada yang merebutku." Tiba-tiba hujan begitu deras, Oliver yang tak pernah kambuh kini menderita lagi, Baekie membawanya ke tempat tidur, memberikan energi tubuhnya kepada Oliver, beberapa menit kemudian Oliver tertidur, tertidur dalam dekapan Baekie yang hangat.
***
"Hujan, pas sekali." Chris menengadahkan tangannya. Menampung tetesan bening itu, sejenak dia tersenyum, "Pasti dia menderita, senang melihatnya seperti itu." Ucapnya lagi. Perlahan dia mulai basah. Anehnya, kondisi tersebut makin menambah ketampanannya. Tubuh bidang dibaluti kemeja basah tersebut makin terlihat tegap, rambut panjang beserta wajahnya yang sudah sempurna, makin terlihat lebih sempurna, jika sihir bisa membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, maka hujan membuat laki-laki yang dari awal sudah luar biasa ini menjadi semakin sempurna.
Chris menunduk, tiba-tiba seseorang menghampirinya. Memayungi tubuh basahnya. Chris tersenyum tatkala melihat sepasang kaki dengan sepatu model sederhana, dilengkapi kaus kaki putih yang membungkus hingga ke mata kaki. Chris menaikkan pandanganya, menatap tangan putih yang sudah dihiasi keriput, menatap lengan baju berwarna hitam yang terkancing rapi di ujungnya. Tangan itu menggenggam tangkai payung berwarna biru dengan erat.
"Tak perlu memayungiku, Aku sudah kebasahan." Ucap Chris, masih menatap tangan tersebut.
"Jika kau berlama-lama di bawah hujan, Kau akan terkena flu." Suara lembut namun terdengar tegas tersebut membuat Chris terkekeh.
Chris mengalihkan pandangannya menatap sumber suara tersebut. Seperti tangannya, wajahnya pun dihiasi keriput, rambutnya yang tertata rapi, tampak memutih.
"Ternyata kau sudah tua Joice." Ucap Chris kemudian.
"Dan kau sudah dewasa." Balas Joice.
Chris melihat sekeliling, "Bagaimana kau tahu Aku ada di sini?"
"Saat Tuan Muda menerima teleponmu, Aku tahu Kau pasti melihatnya dari sini. Dinding tersembunyi di balik pohon ini, hanya Kau yang tahu tempatnya."
Chris mendorong tangan Joice, agar Joice berhenti memayunginya. "Aku tak butuh payungmu, payungi dirimu sendiri."
Chris melangkah meninggalkan Joice, Joice menatap punggung itu sejenak. "Chris!" suara Joice membuat Chris terhenti. Chris kemudian berbalik, lalu tersenyum kecut ke arah Joice.
"Masih mengingat namaku?"
"Kemana saja Kau selama ini? dan kenapa baru kembali sekarang?"
"Kenapa? takut Tuan Mudamu terluka?"
"Bukan itu, maksudku..."
"Aku memang akan melukainya." Ucapan Chris membuat Joice terdiam. Joice memejamkan matanya, mempererat genggamannya pada tangkai payung, hingga membuat tangannya memerah. "Kau marah? ingin memukulku?"
"Chris..."
"Aku pergi." Chris melangkah cepat, Joice berlari menghampirinya, lalu kembali memayungi Chris.
"Setidaknya bawa payung ini, hujannya sangat deras."
"Sudah kubilang Aku tak butuh payungmu! akan kucari payungku sendiri." Ucap Chris lalu pergi menghilang di balik derasnya hujan. Joice hanya menatap kosong. Dia menghela nafas putus asa, lalu perlahan berjalan meninggalkan tempat tersebut.
"Dia masih keras kepala, sama seperti dulu."
***
Baekie duduk di meja rias, menatap kosong ke arah cermin. Dia bahkan tak menyadari suara Joice yang masuk, membawakan makanan untuknya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Joice mengambil sisir, seperti biasa, menyisiri rambut Baekie dengan lembut.
"Joice, Kau sudah ada disini sejak lama kan?" Baekie menoleh ke arah Joice yang berdiri di belakangnya, Joice mengarahkan kepala Baekie agar menghadap cermin, lalu kembali menyisiri rambut Baekie.
"Tentu saja, bahkan sebelum Kau lahir." Ucap Joice lalu tersenyum menatap Baekie dari pantulan cermin.
"Apa Kau tahu semua teman dan musuh Oliver?"
"Hmm... Aku tak begitu tahu, Aku hanya tahu Tuan Edward dan Nancy, wanita yang pernah di bawa Tuan Muda ke rumah."
"Kalau Chris?" mendengar pertanyaan Baekie, Joice terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian dia menarik nafas, lalu tersenyum.
"Chris? kenapa dengannya?"
"Kau tahu apa masalah Chris dan Oliver? mengapa mereka saling bermusuhan?"
"Entahlah, Aku tidak tahu pasti." Joice menaruh sisir di meja, lalu kembali menatap Baekie. "Kau pernah bertemu dengan Chris?"
Baekie mengangguk. "Dua kali."
"Menurutmu dia orang seperti apa?"
"Chris?" Baekie menarik nafas dalam sembari berpikir. "Dia tampan, lembut, dan saat bicara denganku, suaranya begitu menenangkan."
"Menurutmu begitu?"
Baekie kembali mengangguk. "Kau tahu siapa Chris? menurut pandanganmu dia bagaimana?" Baekie balas bertanya.
"Lebih baik kau makan dulu, sebentar lagi makanannya akan dingin."
Joice beranjak keluar dari kamar Baekie. "Ternyata kau tumbuh dengan baik." batinnya.
***
Oliver pergi menemui Chris dengan geram. Chris menantangnya bertemu di club XP. Oliver yang memang ingin sekali menghajar Chris, menerima tantangan itu tanpa basa basi. Chris tersenyum melihat Oliver yang seperti akan meledak berdiri menatapnya. Dengan santai dia bersandar ke sofa lalu menyilangkan kakinya.
"Oliver Hill, akhirnya kau datang juga."
Oliver mengepalkan tangannya erat. Emosinya sudah di ubun-ubun, melihat Chris yang acuh tak acuh membuatnya semakin naik darah.
"Aku datang untuk memperingatkanmu, berhenti menggangguku dan Baekie, atau..."
"Atau apa? kau akan membunuhku? apa kau mampu?"
Chris terkekeh, Oliver makin mendidih. Sekuat tenaga dia menahan amarahnya agar tidak meledak. "Si b******k ini..."
"Langsung saja, Aku menginginkan Baekie."
"Bangsad Kau bicara apa! Baekie milikku!"
"Itu hanya klaim sepihakmu Oliver, kau bahkan tak pantas berada di samping Baekie. Apalagi sampai memilikinya."
"Lalu, Kau pikir kau pantas?"
Mendengar pertanyaan Oliver, Chris berdiri, menyentuh dagunya dengan ibu jari dan telunjuk, berpura-pura berpikir serius. "Tentu saja aku pantas." Chris mendekat, lalu berbisik ke telinga Oliver. "Aku bukan orang yang membuang sesuatu tanpa alasan, seperti seseorang yang kukenal."
Oliver mendorong Chris, Buk! Sebuah pukulan mendarat ke wajah Chris. Chris memegangi bibirnya yang pecah. Lalu dia tertawa terbahak-bahak. "Hah, hahaha, Oliver, Tuan Muda ini, tempramentnya buruk sekali."
"Diam kau b******n! ayo berkelahi, Aku akan membunuhmu hari ini!"
Chris meminum segelas bir, lalu membuat suara yang menjengkelkan. "Baiklah, kita ke ruang bawah tanah."
Mereka berdua kini berada di ruang bawah tanah, tak ada orang lain di sana. Hanya mereka berdua, seperti srigala yang bersiap bertarung memperebutkan daerah kekuasaan.
"Kau tahu peraturannya? yang lemah tak pantas memiliki Baekie." Chris membuka jas panjangnya. Membuka dua kancing bagian atas kemejanya, lalu menggulung kemeja tersebut hingga ke sikutnya.
"Kau mimpi saja. Baekie hanya mencintaiku." Oliver ikut menggulung lengan kemejanya. Mereka saling berpandangan, mempelajari strategi menyerang lawannya.
"Aku izinkan kau pakai senjata."
Buk! Oliver meninju Chris. "Aku tak membutuhkan senjata." Amarah Oliver yang sejak tadi di pendamnya meluap keluar. Chris meludah lalu tersenyum dengan remeh ke arah Oliver.
"Sudah di mulai? Heh Oliver, Aku akan menghajarmu, dan membawa Baekie ke pelukanku. Tentu saja kalau Aku kalah kau bisa mempertahankan Baekie, tapi... manusia lemah sepertimu... kau yakin bisa mengalahkanku?" Chris memprovokasi Oliver, karena dia tahu pasti Oliver bukan orang yang pintar menjaga emosi.
"Tutup mulutmu b******n!"
Oliver menyerang Chris. Mereka bergelut dan saling menghajar satu sama lain. Keadaan kacau balau. Darah berceceran dimana-mana, tak ada satupun yang mau mengalah. Dua Srigala ganas itu, terus saja bertarung, saling mencakar dan menggigit satu sama lain. Hingga akhirnya salah satu dari mereka tumbang.
TBC