Harapan

1466 Words
*Peringatan* - Cerita berikut mengandung konten dewasa, seperti perkelahian, kata-kata kasar, s*x, alkohol dan sebagainya. Pembaca diharap bijak- ___________________________________ "Edward! Kau mendengar kabar Oliver? aku tak bisa menghubunginya." Nancy menghampiri Edward yang terbaring di tempatnya biasa. Saat dia dihajar Ayahnya, dia selalu berada di tangga, pintu belakang club. "Edward, kau dengar tidak?" Nancy menendang kaki Edward karena laki-laki itu diam saja. "Aku tidak tahu, aku bahkan tak tahu kabar diriku sendiri." Racau Edward, lalu cegukan beberapa kali. Dia merubah posisi baringnya, menengadahkan pandangannya menatap Nancy. "Nancy, kau pakai celana dalam warna biru?" Edward mengulurkan tangannya ke arah Nancy yang berdiri di depannya. Nancy kemudian menepis tangan Edward dengan kesal. "Dasar, pemabuk m***m ini. Kau mau kuhajar?" Nancy duduk, menyilangkan tangannya. Rok mininya terangkat, menampakkan paha mulusnya yang berisi. "Kau tak bertanya kabarku? lihat, Aku babak belur." Edward menunjuk wajahnya yang membiru, Nancy bahkan tak mempedulikannya. Dengan santai Edward tersenyum, lalu memindahkan posisi kepalanya ke pangkuan Nancy. "Sial! turun b******k!" Nancy mendorong kepala Edward. "Sttt... Edward menaruh telunjuk ke mulutnya. Setidaknya hibur Aku sebentar. Aku sedang terluka." Ucapnya lalu memeluk pinggang Nancy, menyamankan posisi. "Kenapa Kau tak tidur di hotel?" "Oliver tak memberiku uang, sandi apartmennya diganti, dan sepertinya dia tak bisa diganggu." "Dasar makhluk bodoh ini, sampai kapan kau mau bergantung pada Oliver? Ayahmu selalu menyita keuanganmu, jika ada kesempatan kenapa tidak kau rampok saja dia!" "Benar juga. Aku akan merampok ayahku lain kali," Edward mengeratkan pelukannya. Tak! Nancy menjitak kepala Edward karena kesal. "Kau tak bangun juga? mau kutambah memar di wajahmu?" "Nancy... Tidurlah denganku," Edward menatap Nancy lekat, Buk! Nancy berdiri, Edward terguling ke bawah. Punggung dan kepalanya kesakitan, dengan susah payah dia berdiri sambil menggosok kepala dan punggungnya. "Kau mau membunuhku? ah sakit," Edward meringis. "Dasar m***m! saat melihatku kenapa isi kepalamu hanya tidur?" "Kau tidur dengan pemilik club, dan tidur dengan beberapa orang lainnya. Kenapa tak mau tidur denganku?" Edward merengut, dia seperti karyawan yang melakukan protes ke atasannya. "Kau bisa tidur dengan wanita lainnya, kenapa memaksa tidur denganku? aku tak mau tidur dengan orang bodoh!" Nancy cemberut. Edward menghela nafas lalu kembali duduk di tangga. Suasana hening beberapa saat, Nancy melirik Edward, dia terlihat penasaran akan sesuatu. "Edward..." "Apa, mau menyebutku bodoh lagi? atau... orang m***m? atau... gelandangan?" Edward membuang muka. "Kau tahu apa yang terjadi antara Oliver dan Chris?" Edward terdiam sejenak, entah kenapa dia terlihat gugup dan salah tingkah, "M-mana aku tahu, itu urusan mereka." "Lalu, kenapa kau terlihat ketakuan saat bertemu Chris?" "Siapa yang ketakutan! enak saja, memangnya Chris siapa? dia hanya mafia yang tak punya apa-apa, kenapa aku harus takut dengannya?" "Kenapa kau meninggikan suaramu seperti itu. b******k!" Nancy beranjak meninggalkan Edward. "Aaaa!!," Edward mengacak-ngacak rambutnya, perasaannya terasa sangat kesal. "Chris sialan!" *** "Masih tak mau keluar kamar?" Chris berdiri sambil menggaruk kepalanya, dengan tarikan nafas yang panjang dia duduk di sofa menatap Baekie yang sejak tadi berdiri menerawangkan pandangannya ke luar jendela. Yahh, Baekie tak bersuara bahkan tak berkedip sedikitpun. beberapa menit kemudian, Baekie masih saja bungkam. Chris kemudian mengangkat bahunya lalu berdiri berjalan ke arah Bekie. "Baekie Rosewood, Kau akan terus begini?" Kris menangkupkan tangannya ke wajah Baekie, menatap mata bening wanita itu, perlahan Baekie menurunkan tangan Chris dari wajahnya, dan menatap Chris lekat. "Apa aku tidak dibolehkan pulang? Aku merindukan Oliver," "Demi Tuhan Baekie, Oliver hanya pengecut yang serakah, dia bahkan tak memperlakukanmu dengan baik!" "Tapi, sekarang Oliver sudah berubah, dan..." "Oliver, Oliver, Oliver! kau masih tak mau berhenti? jangan menyebut namanya lagi!" Pupil Chris membesar, Baekie sedikit tersentak karena tak pernah mendengar suara keras dari Chris sebelumnya. Chris menarik nafas panjang lalu mengusap wajahnya frustasi. "Maaf Aku membentakmu," Chris menyentuh dagu Baekie dengan telunjuknya lalu menengadahkan wajah Baekie yang menunduk agar menatapnya. "Bahkan pengecut itu tak datang menjemputmu, kau masih mengharapkan dia?" "T-tapi, Aku mencintai pengecut itu... dia tak kan datang ke sini, jadi Aku harus pulang, A-Aku... hiks..." sebutir air mata menetes dari sudut mata Baekie, Chris menutup mata lalu memeluk Baekie erat. "Maafkan Aku Baekie, tapi kau tak akan kemana-mana, Aku akan menyerahkanmu jika dia bisa mengalahkanku" "Oliver bahkan tak bisa mengalahkan dirinya sendiri... Hiks.. Dia sakit dan dia butuh Aku... izinkan Aku pulang." Chris melepaskan pelukannya lalu menatap Baekie dengan kedua tangannya menggenggam bahu Baekie. "Sekarang hanya ada Aku, Aku juga membutuhkanmu, tak masalah jika Kau tak mencintaiku, Aku akan menunggu, Jadi sekarang...." Chris mengulurkan tangannya, menghapus air mata Baekie dengan lembut. "Berhentilah menangis, dan jangan pernah menyebut nama pengecut itu lagi di rumah ini, Kau paham?" Baekie hanya diam, Chris perlahan mengecup kening Baekie, menatap Wanita itu sekali lagi, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Baekie yang terduduk di tempat tidur dengan mata menatap kosong ke luar jendela. *** Oliver Hill berjalan seperti mayat hidup menuju sebuah kamar di ujung lorong. Rambut berantakan, wajah pucat dengan mata menatap kosong ke ambang pintu, perlahan gagang pintu diputar. Sekelebat bayangan terpantul di matanya. Sosok wanita dengan ekspresi unik serta senyum indah duduk di meja rias, sambil merangkai Anyelir Merah. Perlahan Oliver tersenyum, Namun, senyum tersebut hanya bertahan beberapa detik. Dengan sekejab senyuman itu sirna, kamar tersebut berubah suram, tak ada senyuman wanita itu, tak ada Anyelir Merah, yang ada hanya Gaun putih terjuntai di kursi meja rias yang ditinggal pemiliknya. Oliver menutup mata, merasakan hatinya yang remuk hari demi hari. Sudah hampir seminggu Oliver siuman dari pingsannya, dan setiap hari, setiap saat, Oliver menatap meja rias kosong itu. Dengan keadaanya yang seperti mayat, entah bagaimana dia masih bisa bernafas. Perlahan Oliver mengambil Gaun dari kursi tersebut. Gaun putih dengan wangi Baekie yang masih melekat, Oliver berbaring di tempat tidur, lalu memeluk gaun itu erat. "Baekie..." gumamnya, dengan suara parau. Efek samping dari kerinduan dan kelemahan dirinya yang tak bisa mempertahankan Wanita yang dicintainya. Dia terus saja mengeluh dan mengerang, seperti seorang pesakitan. Menjadi orang lemah, pengecut dan menyalahkan diri sendiri adalah keahliannya saat ini, Bahkan dia terlalu lemah untuk merebut Baekie kembali, dan disinilah dia, meringkuk di tempat tidur sambil memeluk gaun yang ditinggal pemiliknya, dia bertransformasi menjadi manusia yang menyedihkan. "Dia masih di kamar itu?" Nyonya Magie terlihat khawatir. Oliver sangat keras kepala, dan emosinya begiu tidak stabil, itu yang menambah ke khawatiran Nyonya Magie, begitupula Joice. Dia memeriksa keadaan Oliver setiap hari, meskipun dari kejauhan, karena Oliver tak ingin ada satupun yang mendekatinya. "Nyonya, Tuan Muda tidak makan dengan baik, setiap hari dia mabuk, dan tertidur di kamar Baekie." "Ini semua salahmu! kenapa kau tidak bisa mengendalikan bocah gila yang tak tahu diri itu?" Nyonya Magie punya keahlian khusus, yaitu pintar menyalahkan orang lain. Joice hanya diam, tangannya mengepal, kesedihan dan kekhawatiran terlukis di wajahnya yang terlihat lelah. "Maafkan Chris Nyonya, dia hanya..." "Memaafkannya? kau tahu itu mustahil Joice. b******k, andai aku bisa membunuh anak itu." "Maafkan saya Nyonya," ucap Joice lagi, sambil menunduk. "Sial! kenapa semua bisa jadi kacau begini? sialan!!!" *** "Baekie, hari ini aku memasak sup ikan, ayo makan, aku membuatnya sendiri dengan tanganku." Chris tersenyum sambil menyendokkan sup ke piring Baekie. Chris menatap Baekie yang hanya diam, bahkan tak menyentuh sendoknya sama sekali. "Kau tak suka sup ikan? mau kubuatka. yang lain?" Chris menyingkirkan sup ikan dari hadapan Baekie, lalu mengambil sebutir apel. "Kalau begitu, coba makan buah." "Aku tidak lapar." Tangan Chris yang sedang mengupas kulit apel terhenti. Chris duduk lalu menyentuh wajah Baekie lembut, menyelipkan rambut ke balik telinga Baekie. "Tapi kau harus makan, kau sudah berhari-hari tak makan dengan benar, tubuhmu menjadi kurus," Chris kembali mengupas apel di tangannya. "Setidaknya makan buah, walaupun sedikit." "Chris, sudah kubilang..." "Akh!" Chris meringis. Darah meluncur keluar dari jarinya. Entah apa sebabnya, laki-laki yang sangat ahli dengan senjata ini, tiba-tiba terluka hanya dengan sebuah pisau. "Hahaha, ya ampun, aku sedang apa? Baekie, tunggu sebentar," Chris mencuci lukanya yang masih saja mengeluarkan darah. Setelah mengeringkan tangannya, dia kembali ke meja makan, untuk mengupas apel. "Kali ini akan kulakukan dengan baik." "Aku makan sup ikan saja," ucapan Baekie membuat Chris terhenti. "Kau mau sup ikan? baik, aku akan mengambilkannya lagi," Chris mengambil piring dan bersiap menyendokkan sup. Baekie tiba-tiba mengambil piring tersebut dari tangan Chris, "Aku bisa melakukannya sendiri," ucap Baekie lalu memasukkan sesendok sup ke piringnya. "Baiklah, kau bisa melakukannya sendiri," Chris memasang wajah polos, entah itu dibuat-buat atau memang dari awal dia hanya laki-laki polos yang ingin dicintai. Baekie menatap Chris sejenak, lalu beranjak dari duduknya. "Kau mau kemana? kau belum memakan makananmu." Chris terduduk di meja makan, menatap sup ikan yang belum tersentuh oleh Baekie. "Apa dia benar-benar tak suka sup ikan? atau... dia tidak suka karena membenciku?" Beberapa menit kemudian Baekie datang membawa sebuah perban kecil. Dia menarik tangan Chris yang terluka, lalu dengan lembut memasang perban disana. Chris tersenyum, senyuman sempurna di wajah tampannya yang lebih sempurna. Dia menatap Baekie tanpa berkedip. Setelah memasang perban, Baekie lalu menyuapkan sup ke mulutnya. Chris lagi-lagi tersenyum "Sepertinya dia tak terlalu membenciku. Masih ada harapan." batin Chris. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD