Naira menutup pintu tempat Giordan berendam. Tak dapat dipungkiri rasa takut menyelimuti Naira sebab teringat akan kejadian dua hari yang lalu ketika dirinya pingsan di kamar itu.
Hingga saat ini Naira tak tahu penyebabnya. Bertanya pada Kristin pun tetap tak mendapat jawaban memuaskan. Kristin malah mengatakan bahwa dirinya tengah berhalusinasi.
Naira mulai duduk di atas kasur Giordan. Langit mulai gelap, hawa dingin menerobos masuk entah dari mana. Tirai jendela bergerak kencang seolah ada angin yang mengguncangnya.
Naira mulai memejamkan mata ketika gelombang ketakutan memenuhi dirinya. Tangan Naira meremas sprei.
Lengkingan tawa wanita kembali bergema di seluruh ruangan.
"AHAHAHAHAHAHAHA!! GADIS BEBAL! KAU TAK MAU PERGI JUGA!! RASAKAN INNN--- AHHH!! ASLAN!!!"
Seketika segalanya terasa hening. Udara berangsur angsur menghangat. Namun, Naira masih tak berani membuka mata sampai terdengar suara seseorang menyapa dirinya.
"Hai!! Kau tidur?" Aslan melambaikan tangan di depan wajah Naira.
Perlahan Naira membuka matanya. Aslan tersenyum menatap wajah Naira dari jarak begitu dekat.
Naira terkesiap, belum pernah dia melihat wajah seorang pria begitu halus, tapi terlihat sangat putih seperti kertas.
"Ka--Kamu?!!" Naira kemudian menatap berkeliling ke seluruh atap kamar. Khawatir sekaligus penasaran kemana perginya suara wanita tadi.
"Dia sudah pergi!" sergah Aslan.
"Kamu juga mendengar suara wanita tadi?!"
"Tentu saja! hanya telinga rusak yang tak mampu mendengar suara Laura!"
"Laura?"
"Hem." Aslan mengangguk.
Meski tak memahami apa yang Aslan ceritakan, tetapi Naira cukup lega mengetahui bahwa dirinya tidak sedang berhalusinasi seperti yang selama ini Kristin katakan.
"Hei! siapa Kamu sebenarnya? Mengapa Kau diam saja saat aku mengira Kalian berdua adalah pengawal? Kau tahu? kukira aku tak bisa menghirup udara lagi saat tuan mengetahui kebenarannya!" kesal Naira.
"Ahhahahahahaha!! aku justru berharap Kau mati supaya kita bisa berteman." Aslan menatap Naira dengan mata berkilat bahagia.
"A-Apa katamu?!!"
Ceklek!
Pintu ruang tempat Giordan berendam terbuka. Semuanya menjadi makin hening. Naira menoleh pada asal suara. Dia terkesiap dengan penampilan Giordan yang tak seperti biasanya.
Berdiri gagah dengan seragam tentara berwarna hijau doreng-doreng lengkap dengan topi baretnya.
"Kamu-- mandilah! Pagi ini aku akan mengajakmu keluar." Giordan keluar sebelum Naira sempat menjawab.
Mengajak keluar?
Naira menelan saliva. Tak mengira akhirnya bisa menghirup udara segar setelah empat hari terpenjara di dalam kastil suram itu.
"Nona? mengapa Anda masih disitu? bukankah Tuan meminta Anda untuk mandi? hari ini Anda harus menemaninya." Kristin tiba-tiba melongok dari balik pintu.
Naira tersadar dari lamunannya.
"Oh, iya." Naira berdiri, berbalik mencari Aslan yang tadi bersamanya.
"Eh? kemana perginya pria tadi?" batin Naira.
_________________________________________
Kristin sudah menunggu di kamar Naira. Ia menatap penampilan Naira dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Nona Nai? maaf-- mengapa Anda tak memakai gaun yang Kau bilang peninggalan ibu Anda waktu itu?" tanya Kristin ketika saat kini mengenakan pakaian yang tak layak lagi.
Naira tersenyum."Oh yang itu. Emm-- aku akan memakainya saat moment moment tertentu saja."
"Moment tertentu?"
"Ya. Saat bertunangan misalnya atau mungkin saat menikah nanti," jawab Naira bangga.
"Anda pernah memakainya sebelum tiba disini?" Kristin tampak penasaran.
"Ya, pernah sekali."
"Benarkah? apa itu berarti Anda pernah bertunangan dengan pria lain?"
Naira terdiam. Haruskah menceritakan kisah kelamnya pada Kristin?
Naira mengangguk. "Aku hampir saja dilamar seorang pria, tapi-- yah! mungkin dia bukan jodohku."
Kristin bisa menangkap raut wajah sedih Naira yang berusaha disembunyikan di balik senyum manisnya.
"Mari, Nona Naira. Jangan biarkan Tuan menunggu." Ajak Kristin. Dalam hati tak kuasa menatap raut muka Naira.
"Nyonya Kristin, Tunggu!"
"Iya?" Kristin kembali berbalik.
"Maaf, Tuan mau mengajak aku kemana pagi ini?" Naira memberanikan diri menanyakan hal yang sejak tadi mengusiknya.
Awalnya Naira senang akhirnya bisa menghirup udara segar di luaran, akan tetapi tiba-tiba terbersit ketakutan pada kejadian beberapa waktu yang lalu.
Mungkin saja Giordan masih menyimpan amarah dan berniat menghabisinya di suatu tempat. Jika itu terjadi, bukankah Naira harus menulis surat wasiat untuk keluarga nya?
Yah, walaupun tak mungkin ada yang mau membacanya kecuali Alma, Mirna, dan Aryo.
"Tuan hanya meminta Anda untuk menemaninya ngopi di kedai favoritnya, Nona."
"Ke ked--dai?"
"Iya. Apa ada yang salah?" Kristin terlihat bingung dengan ekspresi aneh Naira.
"Tapi aku belum pernah ke tempat seperti itu."
Deg!
Giordan seketika membuka mata. Dia yang sedari tadi menyimak pembicaraan Kristin dan Naira cukup terkejut dengan pengakuan Naira.
Bagaimana bisa seorang putri bangsawan tak pernah sekalipun makan atau minum di kedai?
"Konyol sekali!" Giordan tersenyum miring.
Ia kembali memejamkan mata untuk mendengar kembali percakapan di ruang sebelah.
Dia sudah meminta Kristin untuk menyelidiki seandainya ada motif yang disembunyikan oleh Naira.
"Nona tak perlu khawatir. Nona hanya duduk bersama beliau. Itu saja."
"Tapi--"
"Rileks saja Nona." Kristin mencoba meyakinkan.
"Apakah Tuan tak malu membawa wanita sepertiku?" tanya Naira seraya menatap penampilannya sendiri.
Pakaian jadul dengan sepatu pantofel kuno yang sedikit sempit di kakinya. Seingat Naira, itu adalah sepatu yang ia pakai saat kelulusan sekolah menengah enam tahun yang lalu.
"Kalau Tuan malu, tak mungkin beliau mengajak Anda. Dan selama ini hanya Anda satu-satunya wanita yang bisa sedikit mengubah sifatnya."
"Mengubah? maksudmu?"
Kristin menerawang. "Yaaah, sebelumnya dia itu pria sangat dingin, tak mudah tertarik akan sesuatu, tapi meski dilakukan dengan penuh gengsi, nyatanya tuan mau memberikan sedikit energinya untuk memulihkan Anda," jelas Kristin panjang lebar.
"Memberikan energi?" Naira semakin bingung dengan ucapan Kristin.
"Sudahlah Nona, jangan banyak bertanya, Tuan tak suka menunggu." Kristin menarik lengan Naira, tak sengaja tangannya menyentuh telapak tangan Naira. Ada yang berbeda dengan tangan itu.
"Nona? tangan Anda sudah membaik!" seru Kristin.
"Iya, aku juga tak tahu." Naira memandangi kulit tangannya yang mulai halus tak mengelupas lagi.
"Itulah yang saya maksud, Nona! Anda ingat bubuk jamur lingzhi yang Tuan sisakan?"
Naira mengangguk.
"Itu salah satu bukti bahwa Tuan Giordan peduli pada---"
"KRISTIN!!" Suara Giordano terdengar dari luar kamar.
Dalam hati tak sabar ingin mengumpati mulut Kristin yang sudah berkata seenaknya sendiri itu.
"Ah, baik Tuan!" Kristin segera membawa Naira keluar kamar menuju lantai satu.
Di ruang tamu Giordan sudah menunggu dengan wajah sangat dingin.
"Nona sudah siap, Tuan," ucap Kristin di depan Giordan yang duduk bersedekap dengan satu kaki menumpang pada kaki lainnya.
"Ayo." Giordano berdiri lalu bejalan ke arah mobil yang sudah menunggunya di halaman luas rumahnya.
Naira mengikuti di belakang Giordan. Keduanya masuk ke mobil. Naira duduk di kursi penumpang sedangkan Giordan duduk pada kursi di samping driver.
Sepanjang perjalanan Naira hanya diam, sesekali melihat ke arah luar. Hanya ada pepohonan dan sungai saja di sekitar jalanan utama.
Setengah jam kemudian mobil mulai memasuki pusat kota. Naira menatap kagum pada pernak pernik dan aneka pakaian yang tertata rapi di setiap toko.
Mobil berhenti di sebuah toko pakaian.
"Masuklah! Katakan saja mengambil pesanan Nyonya Kristin." Perintah Giordan pada si driver.
Driver mengangguk menuruti perintah Giordan.
"Kau juga. Ikutlah ke dalam!" titah Giordan pada Naira.
Naira berjalan di belakang driver.
"Nona, ikutlah bersama Kami." Seorang wanita cantik membawa Naira ke sebuah bilik khusus pelanggan VVIP.
"Ma--maaf? apa yang Kalian lakukan?" tanya Naira ketika dua orang wanita mengukur badannya tanpa permisi.
"Nyonya Kristin meminta saya untuk membuatkan gaun untuk Anda?"
"Ga-gaun?" Naira terbelalak.
"Iya, Nona!" Kedua wanita itu kembali mengukur badan Naira.
Tak hanya itu, hari itu juga Naira diminta berganti pakaian baru yang sudah dipilihkan oleh Kristin.
"Nona, Anda terlihat semakin cantik." Puji salah satu karyawan.
"Be- benarkah?" tanya Naira ragu. Perlahan Naira mengangkat kepalanya untuk melihat pantulan dirinya di depan cermin. Dirinya begitu terkesiap menatap gaun sederhana tapi terlihat mewah yang melekat pada tubuhnya.
"Terimakasih!" Naira menunduk beberapa kali dengan ramah Ia lantas berjalan menuju pintu keluar butik.
Naira membuka Pintu.
"Kakak??"
Naira terkejut melihat wanita di depannya
"Deryn?"
(Next➡)