Naira duduk gelisah di atas sebuah kursi kayu yang ada di luar bilik ganti. Pria mana yang mandi harus ditunggu seperti ini?
Selain dingin dan misterius, apakah Giordan memiliki sisi lain lagi? pria c@bul? Tidak! tidak! Naira tidak bisa melakukan ini, dirinya belum menjadi seorang istri. Lagipula dirinya juga bukan gadis gampangan.
Inikah yang membuat para gadis sebelumnya kabur?
Mungkin saja.
Pokoknya Naira harus pergi. Lebih baik mencuci puluhan bak baju kotor dari pada harus menyaksikan seorang pria mandi.
Naira berdiri dengan tekad bulat untuk keluar dari ruangan yang tiba-tiba membuatnya begitu gerah.
Naira hampir menyentuh gagang pintu, tetapi tiba-tiba pintu terbuka. Naira terkejut hingga melompat mundur.
Seorang pria jangkung dengan tubuh besar ideal berdiri di ambang pintu.
Inikah tuan Giordan Abraham yang dibicarakan banyak orang?
Naira menelan saliva. Menatap dengan jelas seorang pria berusia kisaran tiga puluhan tahun yang berdiri tegap di depannya.
Ini kali ketiga Naira berpapasan dengan pria itu, tetapi baru kali ini Naira melihat wajah Giordan dengan begitu jelas dari jarak dekat.
Penampilan Giordan jauh berbeda dengan rumor yang tersebar selama ini. Tidak juga sama dengan bayangan Naira.
Giordan bukanlah pria tua yang hanya mengharapkan keturunan. Jangankan pria tua, garis wajah sama sekali tak terlihat di wajahnya.
Kulit Giordan bersih dan halus bagai porselen. Wajahnya begitu sempurna, bahkan lebih sempurna dari pada Sean, pria rupawan yang hingga saat ini masih menghuni hati Naira.
Wajah Giordan campuran antara Jepang Indo dengan mata tak begitu sipit, hidung mancung dan potongan rambut cepak lurus.
Namun, setampan apapun Giordan, tetap saja membuat nyali setiap orang yang menatapnya ciut seketika.
Tak berbeda dengan Naira. Dirinya bahkan mematung tak sanggup untuk bergerak padahal sesaat yang lalu Naira berapi api untuk kabur dari ruangan itu.
"Minggir!" ucap Giordan dengan suara dingin.
Naira tersentak tersadar dari lamunan. Ia segera menunduk dan bergeser dari tempatnya berdiri.
Giordan berjalan melaluinya begitu saja. Selanjutnya Naira bingung harus berbuat apa dan bagaimana.
Beberapa saat kemudian Giordan keluar dari bilik ganti hanya mengenakan kimono handuk. Giordan sudah membuka tali pengikat ketika tak sengaja matanya bertemu dengan mata Naira.
"AAAAA!!!" teriak Naira dan Giordan bersamaan. Giordan menarik kimono handuk makin erat menutupi tubuh, sedangkan Naira menutup mata menggunakan telapak tangannya.
"Ap-apa yang Kamu lakukan di situ?" tanya Giordan dengan tatapan tajam.
"A-aku. Maksudku, Nyonya Kristin menyuruhku menunggu hingga Anda selesai mandi."
Giordan menggertakkan gigi. "Kamu cukup tunggu di luar ruangan, bukan di sini!"
"Oh! ma-maaf."
"Jangan pernah masuk kecuali aku memanggilmu!" pesan Giordan dengan suara dingin menakutkan.
Naira menunduk kemudian segera pergi dari hadapan Giordan.
"Wanita aneh!" gumam Giordan kesal.
Naira menutup pintu sambil memegangi dadanya. Setelah tenang, Naira duduk di atas ranjang Giordan.
Naira merasa Kristin tak menjelaskan untuk menunggu di luar. Entah dia yang terlalu banyak pikiran hingga tak fokus atau memang Kristin yang tak mengatakan, Naira pun tak tahu.
"Huh!! hampir saja mata ini ternoda oleh hal yang tak seharusnya kulihat," gumam Naira seraya menghembuskan nafas.
Beberapa saat kemudian segalanya menjadi hening. Langit yang semula cerah berangsur menjadi gelap.
Hawa dingin menerobos entah dari mana. Naira merasakan seakan berada di tempat yang berbeda.
Ada apa ini?
Naira berjalan menuju ke jendela kaca. Kaca tertutup, tetapi entah mengapa tirai nya berkibar seakan tertiup angin kencang dari luar.
Segalanya semakin dingin hingga bulu kuduk Naira meremang. Dadanya bergemuruh diiringi perasaan takut yang datang entah darimana.
Aneh!! apakah akan ada badai? mengapa tak ada peringatan apapun? tapi bukankah tak seharusnya terjadi badai di musim seperti ini?
Naira kembali duduk di atas kasur.
"PERGI!! PERGI DARI RUMAH INI!"
Naira tersentak oleh suara geraman seorang wanita yang menggema di seluruh ruangan.
Naira memutar tubuhnya mencari asal suara.
"Ka-Kamu siapa?" tanya Naira dengan suara bergetar.
"PERGI! KAU TAK SEHARUSNYA DISINI!!"
Suara itu seakan menekan dari segala arah. Kepala Naira berputar putar dengan telinga berdengung. Ia berjalan menuju pintu, tangannya sudah memegang gagang pintu.
Namun, seketika teringat oleh kata-kata Kristin beberapa saat yang lalu.
"Apapun yang terjadi, jangan pernah meninggalkan Tuan sendirian."
Naira mengurungkan niatnya untuk keluar. Ia menatap pintu ruangan tempat Giordan berendam saat ini. Asap gelap berkumpul di depan pintu seolah berusaha menerobos masuk.
'Apa ini? sihir kah? mengapa semuanya terasa aneh sejak berada di tempat ini?' gumam Naira dalam hati.
Naira susah payah menyeret kakinya menuju ke pintu tempat Giordan berendam, mungkin dia harus memberitahu pria itu bahwa keadaan saat ini mungkin berbahaya untuknya.
"Ahh!!" Naira tak sanggup lagi. Suara-suara itu masih terus terdengar di seluruh ruangan disertai asap hitam yang terus berputar-putar.
Naira merasakan darah menetes dari lubang hidungnya. Sesaat kemudian tubuhnya terkapar di lantai. Sebelum semuanya menjadi gelap, Naira melihat tubuh Giordan berdiri dengan mata menatap padanya.
***
"Tuan, Anda yakin nona baik-baik saja?" Kristin memeras kain handuk kecil lalu menempelkannya kembali di kening Naira.
Giordan berdiri sambil memegang dagunya sendiri. Tak menyangka Naira bertahan dengan ujian pertamanya. Meski hanya bertahan 10 menit, tapi kenyataannya Naira tak kabur dari kamar itu.
Mata Naira bergerak, rasanya masih pusing. Suara teriakan wanita itu kembali terngiang di kepala. Seketika Naira terbangun dengan wajah panik.
"Tuan Giordan!! dia dalam bahaya!!" Naira membuang selimut, bergegas untuk turun dari ranjang, akan tetapi...
"Ahh!!!" Ia segera menunduk seraya memegangi kepalanya. Berat sekali.
"Nona!! berbaringlah! kondisi Anda masih lemah." Kristin membantu Naira untuk berbaring.
"Ti-tidak nyonya Kristin, tuan dalam bahaya! tadi aku hendak memberitahunya, tetapi aku jatuh--" Naira mendesis merasakan kepala yang begitu berat.
"Tuan baik-baik saja. Dia disini."
Naira memaksakan diri mendongak. Meski pandangannya sedikit kabur, tetapi Naira yakin pria yang bersandar pada tembok di sisi jendela saat ini adalah Giordan.
"Ahh!! syukurlah.."
Bruk!!
Naira kembali ambruk ke kasur. Kristin menatap dengan panik.
"Nona!! Nona, bangun!" Kristin menepuk nepuk pipi merah Naira.
"Tuan, wajahnya pucat."
Giordan membuang muka tak peduli."Nanti juga sembuh sendiri."
"Tapi, Tuan! bukankah sejauh ini dia yang mampu bertahan? bisa dikatakan nona Naira satu-satunya yang berhasil melewati tantangan pertama," jelas Kristin yang lebih seperti sebuah ungkapan protes.
"Ambil pil penetral energi, suruh dia menelannya!" ujar Giordan cuek.
"Nona, bertahanlah. Aku tak yakin apakah setelah ini ada wanita baik yang mampu bertahan demi pria dengan hati sekeras batu ini. Semoga Anda tak mati sia-sia. Seandainya aku bisa memberikan energi ku, tentu aku tak akan banyak berpikir, aku akan memberikan separuh bahkan lebih demi kesembuhan mu," ungkap Kristin dengan wajah sendu.
"Ap-apa maksudmu Kristin? siapa pria sekeras batu itu, Ha?" Giordan tak terima karena merasa Kristin sengaja menyinggungnya.
"Oh, Anda masih disini rupanya," ucap Kristin pura-pura tak tahu. Dia lantas berdiri membawa baskom berisi rendaman handuk keluar dari kamar.
Setelah Kristin keluar, tinggallah Giordan dan Naira di dalam kamar tersebut. Giordan menatap wajah pucat Naira. Kesal dengan kata-kata Kristin barusan.
Ia berjalan menuju pintu. Giordan sudah memegang gagang pintu, tetapi berhenti, kembali menoleh pada Naira.
"Mengapa rasanya seperti ini? seakan aku penjahat yang menyakiti wanita itu!!" gumam Giordan.
"Arrghh!!"
Giordan berbalik dan berjalan menuju ranjang Naira. Dengan sedikit enggan ia menyingkap selimut dan pakaian atas Naira. Giordan lantas memejamkan mata dengan jari telunjuk menekan d@da bagian atas Naira.
Uhuuk uhukk
Uhukk uhukk
Naira terbatuk beberapa kali.
Di luar jendela, Aslan menatap Giordan dengan seringai mengejek.
"Sejak kapan dia berbagi energi dengan orang asing, apalagi wanita," gumamnya lirih.
(Next➡)