Naira duduk bersebelahan dengan Deryn pada kursi yang berada di luar butik pakaian yang baru saja ia kunjungi.
Deryn berkali kali melirik ke arah Naira. Dalam hati berfikir bagaimana bisa Naira mengenakan pakaian mahal itu?
Bukankah Giordan adalah pria tua yang terkenal arogan dan kasar?
Lalu mengapa keadaan Naira terlihat jauh lebih baik? ada rasa tak terima melihat keadaan Naira saat ini. Bukankah seharusnya dia lebih menderita?
"Deryn, bagaimana keadaan ayah? apakah bisnisnya baik-baik saja?" tanya Naira lirih.
Deryn menatap wajah sedih Naira. Entah mengapa raut muka sendu Naira selalu membuat Deryn bahagia dalam hati.
"Ayah sakit-sakitan sejak terjadi masalah di pabrik. Aku dan para karyawan bekerja mati-matian untuk mempertahankan agar pabrik itu tidak ambruk."
Naira menghela nafas. Sungguh ironis, dia sebagai anak sulung yang harusnya bisa membantu keadaan keluarga justru harus terkurung dan tak bisa berbuat apa-apa.
"Sampaikan maaf ku pada ayah. Aku belum bisa membantu apapun." Naira tertunduk lesu.
"Bagaimana dengan keadaanmu, Kak? menurutku Kau baik-baik saja. Apa Kau bahagia tinggal bersama kakek tua itu? atau... Jangan-jangan Kau sudah menyerahkan keperawan@n mu padanya?!" Deryn tersenyum mengejek pada Naira.
"Deryn! apa yang Kau katakan! jangan mengatakan hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah! aku bahkan belum resmi menikah dengannya, bagaimana bisa Kau menganggap ku wanita seperti itu?!" protes Naira.
"Kuharap Kau bisa segera membuat suamimu itu membantu keluarga kita. Setidaknya lakukan sesuatu agar Kau berguna. Dia pria kaya dan punya power kuat, kan?"
"Sudah kukatakan aku belum menikah dengannya Deryn! dan dia pun belum tentu mau menikahi ku." Jelas Naira.
"Lalu apa yang Kau lakukan saat ini, kak? Kau hanya menumpang hidup disana? rayu dia! bukankah dia butuh keturunan? kalau Kau bisa memberikan anak padanya aku yakin dia sanggup membayar berapapun rahim mu itu!"
"Astaga, Deryn! seperti itukah Kau menilai ku? Kau pikir aku wanita murah--"
"Kalau begitu lakukan sesuatu! aku bahkan harus menunda pernikahan ku dengan kak Sean demi memulihkan perusahan ayah! dan Kau! memangnya apa yang bisa Kau lakukan dengan keahlian mu itu!"
Air mata menetes seiring dengan terlepasnya kata-kata hinaan dari mulut Deryn.
Sakit sekali. Selalu direndahkan, disepelekan, bahkan tak dianggap ada.
Namun, Naira tak bisa membela diri sebab apa yang dikatakan adik tirinya itu benar adanya.
"Pikirkan sesuatu untuk membuat dirimu bermanfaat. Jika dia tak mau menikahi mu, jual saja rahim mu padanya!" Deryn berdiri dan meninggalkan Naira begitu saja.
Beberapa meter dari tempat Naira duduk, Giordan menatap Naira yang terisak sendirian di luar butik. Ia kemudian beralih menatap pada Deryn yang berjalan menuju mobil di depan nya, membanting pintu kemudian melaju pergi.
Setelah beberapa saat dan Naira sudah terlihat lebih tenang, Giordan membuka kaca mobil.
"Mau sampai kapan kau duduk disitu?!" ucapnya.
Naira tersentak, segera mengusap air matanya lalu bergegas menuju mobil.
"Ma-maaf, Tuan," ucapnya.
Suasana di dalam mobil mendadak hening hingga tiba lah di depan sebuah kedai. Giordan turun diikuti oleh Naira.
Keduanya duduk berhadapan di sebuah meja yang sudah di booking sebelumnya.
"Mau pesan apa?" tanya Giordan.
"Sama dengan Anda, Tuan."
Giordan menuliskan dua menu makanan dan minuman yang sama. Giordan lantas menatap pada Naira, gadis biasa yang sama sekali tak menarik baginya.
Jika pun ada yang membuatnya menarik, itu hanya tentang kehidupannya. Bagaimana bisa seorang putri bangsawan memiliki kehidupan yang terlihat tak layak.
Giordan melipat kedua tangannya di depan d**a, mungkin tak asa salahnya menanyakan sesuatu tentang pribadi Naira.
"Siapa wanita yang menemui mu tadi?" tanya Giordan
Naira mendongak, menatap sekilas ke arah Giordan. " Dia-- adik ku," tuturnya lirih.
"Adik?" Giordan seolah tak percaya.
Bagaimana bisa seorang adik begitu mudahnya menghina kakaknya sendiri.
"Iya. Adik tiri," lanjut Naira.
"Apa yang Kalian bicarakan?"
Naira menelan saliva.
"Kami hanya tak sengaja bertemu, lalu saya bertanya tentang kabar ayah," bohongnya
Giordan tertawa getir. Tak ada gunanya berbohong, Giordan sudah mendengar segalanya.
Kini beberapa pasang mata menatap pada keduanya, membuat Naira merasa canggung.
"Tuan-- tidakkah Anda merasa malu mengajak saya?" tanya Naira. Dirinya jelas mendengar beberapa orang berbisik kagum dengan sosok Giordan.
Mereka semua hanya terfokus pada Giordan tentu saja. Memangnya siapa Naira? tak ada yang istimewa pada dirinya, baik fisik apalagi penampilan.
"Mengapa aku harus malu?" Giordan balik bertanya pada Naira.
"Apa Anda sama sekali tak terusik dengan tatapan-tatapan mereka?"
Giordan melihat ke sekelilingnya. Memang benar apa yang Naira ucapkan. Orang-orang itu fokus membicarakannya. Giordan bisa mendengarnya dengan jelas.
"Lihatlah pria tampan itu!"
"Dia gagah sekali. Apakah dia seorang Letnan? Mayor? atau kapten?!"
"Tatapannya menakutkan. Aku tak berani melihatnya."
"Siapa pria itu? aku belum pernah melihatnya."
Dan masih banyak lagi. Sekeras apapun Giordan mencoba untuk menutup telinganya, tetap saja semua terdengar begitu jelas.
"Itu karena aku belum pernah menampakkan diri di depan umum seperti ini," jawab Giordan datar seraya menyeruput kopi yang baru saja disajikan di atas meja.
Naira tercengang. Baru pertama kali?
"Tapi Nyonya Kristin bilang Anda sering menikmati di kedai ini? dia bilang ini tempat langganan Anda."
Giordan menatap ke luar jendela dimana mobilnya terparkir di bawah pohon mangga nan rimbun.
"Aku memang sering kesini, tapi hanya menikmati di sana." Giordan menunjuk ke arah mobilnya.
"Di dalam mobil?" tanya Naira.
Giordan mengangguk.
Dalam hati Naira bertanya-tanya apakah orang seperti Giordan tak memiliki teman?
Awalnya Naira mengira kehidupan Giordan begitu sempurna karena memiliki segalanya, tetapi ternyata tidak.
Setidaknya Naira merasa lebih beruntung dalam hal ini. Ia lantas tersenyum mengingat Alma, Mirna, dan juga Aryo.
"Mengapa Kau tersenyum? apakah hal ini lucu bagimu?" tanya Giordan tiba-tiba membuat senyum Naira sirna seketika.
"Bu-bukan begitu, Tuan. Saya-- saya hanya merasa memiliki sedikit hal yang bisa dibanggakan dari Anda yang sempurna ini."
"Apa itu?"
"Yah, meski kehidupan saya tak mudah, tetapi setidaknya saya memiliki sahabat untuk berbagi," ujar Naira dengan begitu bangga.
"Sahabat? apa bedanya dengan Kristin? bukankah dia juga sahabat untuk ku?"
Naira menahan tawa mendengar ucapan polos Giordan.
"Kau tertawa lagi? apa Kau menghinaku?" sindir Giordan.
"Tidak! tentu saja tidak, Tuan." Naira mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan pada Giordan bahwa bukan itu yang ia maksud.
"Lalu apa?" Giordan mulai gusar.
"Sekarang saya tanya dulu. Biasanya apa yang Anda bicarakan dengan Nyonya Kristin?"
Giordan terus menatap mata Naira. "Dia selalu melaporkan apapun padaku, mulai dari urusan-urusan kecil seperti perkebunan, peternakan, pertanian sampai urusan-urusan berat tentang pekerjaan ku sebagai seorang mayor."
Naira sedikit mendekat ke arah meja. Membalas tatapan Giordan padanya.
"Itulah bedanya. Nyonya Kristin bukanlah sahabat, dia adalah bawahan Anda. Asisten yang setia melayani Anda. Nyonya Kristin mungkin bisa disebut sebagai teman, tapi belum tentu bisa menjadi sahabat."
Giordan masih mendengar dan mencerna ucapan Naira.
"Nah, sahabat itu adalah mereka yang mengetahui kekurangan dan kelebihan kita. Dia akan selalu mengingatkan saat kita salah, selalu menghibur di kala sedih. Mungkin tak bisa selalu bersama, tetapi sahabat adalah orang yang akan kita ingat dan kita rindukan."
Bayangan Alma terlintas di benak Naira, membuatnya begitu sedih dan merasa bersalah.
"Apa Kau memiliki seseorang seperti itu?"
"Ya, saya memilikinya," jawab Naira.
"Kalau begitu aku juga ingin memilikinya." Ujar Giordan datar.
Naira tersentak dengan ucapan Giordan. Apa maksudnya? apakah dia juga ingin memiliki Alma sebagai sahabatnya?
"Apa Kau tak keberatan kalau ku jadikan sahabat?"
Deg!
Naira terdiam seketika. Tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Giordan.
(Next➡)