Sisi Lain

1330 Words
Naira dan Kristin duduk dengan kepala tertunduk. Keduanya terdiam menunggu Giordan memutuskan hukuman yang layak untuk keduanya. "Ehem!" Naira dan Kristin sama-sama menahan nafas mendengar deheman yang entah mengapa terdengar seperti suara geraman singa kelaparan. "Mengapa Kalian berdua hanya diam? apakah nampan itu hanya sebuah pajangan yang Kalian tunjukkan di depanku?" tanya Giordan. Berusaha keras menahan perut yang sebentar lagi berbunyi nyaring. Giordan harus segera meredamnya atau dirinya akan mati karena malu jika sampai Kristin apalagi Naira mendengar suara perutnya bernyanyi. Kristin melirik Naira. "Nona, siapkan," bisiknya. "Oh!" Naira mendekat ke arah meja. Tangannya bergetar hingga menimbulkan suara berisik akibat dentingan mangkok dan sendok. Giordan memijit kepalanya. "Tu-tuan. Nona Naira memasaknya khusus untuk Anda. Saya sudah melarang, tapi Nona bersikeras menyiapkan nya sendiri," jelas Kristin. Berharap Giordan sedikit luluh, meskipun kemungkinannya kecil. "Silahkan, Tuan." Giordan menatap mangkok berisi nasi dan sayur di depannya. "Masakan apa ini? apakah bubur sayur?" tanya Giordan penuh selidik. Kristin yang merasa penasaran ikut melongok melihat isi masakan. Dan memang benar, dikatakan sayur bukan sayur lagi, dikatakan bubur pun teksturnya tak begitu halus. Perasaan Kristin tak tenang. Bagaimana nanti dengan rasanya? mampukah meredam amarah Giordan? atau malah meledakkan amarah yang sampai detik ini masih berusaha ditahan oleh tuan nya itu. "Ma-maaf, Tuan. Sebelumnya saya mengira Tuan sudah t-tua jadi saya merebusnya sangat lunak," jawab Naira dengan suara lirih. Kristin spontan mengeluarkan suara tawa, sesegera mungkin ia membungkam mulutnya sendiri. Sejenak lupa bahwa tuan nya mungkin saja masih marah. Terdengar hembusan nafas kasar dari Giordan. Nyali Naira makin ciut dibuatnya. "Kristin! coba Kau rasakan dulu. Aku tak mau mengambil resiko. Mungkin dia mau meracuniku." Deg! Naira ingin sekali membela diri, tetapi untuk sekedar mengangkat kepalanya saja rasanya tak sanggup. Kristin mengambil satu mangkok kosong lalu mengambil sayur menggunakan sumpit. Giordan menunggu ekspresi Kristin setelah mencicipi makanan tersebut. "Hmm.. Ini Yasai Itame terlezat yang pernah saya rasakan, Tuan. Yah, meskipun bentuknya lebih seperti bubur kasar." (Yasai Itame : tumis sayuran ala orang Jepang) "Nona, darimana Anda memperoleh resep ini? Mungkinkan Anda sering memasaknya?" tanya Kristin tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Naira melirik ke arah Kristin. "Aku tak tahu apa Kalian menyebutnya, tapi disini masakan itu disebut Ca Sayur." Jelas Naira masih dengan suara lirih. "Silahkan dimakan, Tuan. Makanan ini layak dikonsumsi." Kristin menaruh kembali sumpit di atas meja. Giordan meraih sumpit dan mulai menyantap masakan Naira. Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara sumpit yang sesekali bersentuhan dengan mangkok. "Bagaimana, Tuan?" Naira menunggu jawaban Giordan atas pertanyaan Kristin. Dadanya berdegup kencang, takut Giordan kecewa dengan masakannya. "Mm.. Tidak buruk," jawab Giordan. Kristin tersenyum. Untuk pertama kalinya tuan nya itu bersedia makan masakan orang asing, meskipun tetap saja Kristin yang harus menjadi kelinci percobaannya dulu. Akhirnya Giordan meletakkan sumpit di atas mangkok kosong. Sarapannya habis tanpa sisa. "Terimakasih sudah memasak untukku. Aku menyukainya." Kristin tersenyum senang, sedangkan Naira terisak setelah mendengar pujian dari Giordan. Hal ini tentunya membuat Giordan bingung. Apakah dia mengatakan sesuatu yang menyakiti hati Naira? Giordan menatap Kristin, seolah meminta penjelasan padanya. "Nona, mengapa Anda menangis?" tanya Kristin mewakili Giordan. Naira terisak cukup lama, hingga Kristin memberikan tissu kepadanya. Setelah lebih tenang, Naira mulai berbicara, "Maaf. Saya hanya--merasa bahagia. Selama ini-- tak ada-- yang memuji-- apapun yang saya lakukan. Terimakasih atas-- sikap baik yang Anda-- dan Nyonya Kristin--berikan. Saya-- tak layak-- mendapatkan nya." Naira menunduk begitu rendah hingga nyaris bersujud. Mendengar hal itu membuat hati Kristin tersentuh. Sesaat yang lalu Naira tampak seperti gadis periang. Namun, saat ini dia menunjukkan sisi lain dirinya. Sebenarnya kehidupan seperti apa yang Naira lalui selama ini? Giordano menelan saliva. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Yang jelas Naira sangat berbeda dengan gadis-gadis sebelumnya. Naira wanita penuh misteri. "Nona, silahkan sejenak menenangkan diri di kamar. Sebentar lagi saya akan menemani Anda menyiapkan air hangat untuk Tuan." Kristin membantu Naira berdiri hingga keluar dari ruangan Giordan. Beberapa saat kemudian Kristin kembali duduk di depan Giordan. "Ceritakan apa yang Kamu lihat dari nya!" ucap Giordan memulai pembicaraan. "Tuan. Saya belum bisa menyimpulkan. Nona Naira berbeda. Saya yakin Anda pun merasakan hal itu." Giordano bergeming, dirinya kembali melipat tangan di depan d**a. "Apa yang dia bawa ke rumah ini?" "Tak ada selain tas berisi pakaian-pakaian lusuh. Tak ada yang spesial. Saya justru terenyuh melihat penampilannya." Kristin tak melanjutkan kata-katanya. Rasa sedih kembali meresapi mengingat keadaan Naira. "Ada apa? ada hal lain yang Kau ketahui?" "Iya, Tuan. Dia tak lebih seperti seorang. Maaf. Pembantu." "Apa maksudmu? keluarga Wicaksono menipuku dengan mengirim pembantu kesini? begitu kah?!" Giordan terlihat mulai terusulut emosi. "Bukan begitu, Tuan. Saya yakin dia keturunan bangsawan, hanya saja dia tak menjalani kehidupan layaknya putri bangsawan lainnya. Sepertinya dia diperlakukan tidak adil." "Tidak adil?" Kristin mengangguk. "Saya bisa melihat hal itu dari keadaan nona Naira. Kulit bagusnya berubah kasar karena tak pernah dirawat, wajahnya alami tanpa polesan apapun, tangannya kasar karena terbiasa mengerjakan pekerjaan berat. Tumitnya bahkan pecah-pecah tanpa sentuhan obat sedikit pun. Dia seperti seorang putri yang terbuang." Air mata menetes di sudut mata Kristin. "Begitu kah?" Giordano percaya dengan penilaian Kristin. Sejak awal Naira memang terlihat aneh baginya. "Perintahkan seseorang untuk menyelidiki keluarga Wicaksono. Lakukan secara rahasia. Bisa saja ini hanya sebuah jebakan." "Baik, Tuan." Kristin mengangguk. "Penilaian mu mungkin saja benar, tetapi Kau jangan lengah. Naira bisa jadi gadis jahat yang menyamar demi mengungkap apapun tentang keluargaku." "Saya akan mengingatnya, Tuan." Kristin tahu betul bahwa Giordan adalah pria yang sangat teliti. Dia tak mudah mempercayai orang lain. Hidup dengan masa lalu kelam mengajarkan Giordan untuk berhati-hati terhadap orang terdekat sekalipun. Kristin membawa nampan dan berpamitan untuk pergi. "Kristin!" "Iya, Tuan?" Kristin urung menutup pintu ketika Giordan memanggilnya. "Ng-- taburkan ekstra jamur lingzhi pada air pemandian ku." "Oh, baik. Apakah Tuan baik-baik saja?" "Ya. Tentu saja." Giordan berbalik menghadap pada jendela, menikmati hangatnya sinar matahari pagi. Kristin tersenyum. Untuk pertama kalinya Giordan memikirkan orang asing. Meski terlihat tak begitu tertarik pada Naira, tapi ternyata Giordan juga memiliki perasaan iba pada gadis itu. __________________________________________ Kristin membawa Naira masuk ke kamar Giordan. Seketika ingatan semalam kembali membayangi. Pantas saja Giordan berjalan ke arah ini, rupanya dia mau kembali ke kamar tapi malah Naira menyuruhnya turun karena mengira dia seorang pengawal. Naira mengusap wajahnya, merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri yang terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Kamar Giordan begitu besar. Tak ada apapun di kamar itu kecuali ranjang dan telepon antik di atas nakas. "Mari, Nona." Kristin membawa Naira masuk ke sebuah ruangan di ujung kamar. Naira tercengang melihat sebuah ruangan yang tampak seperti sauna dengan tembok dan lantai terbuat dari papan kayu. Sangat alami. Naira tak menyangka ada tempat seperti ini di dalam kamar Giordan. Terdapat dua bilik di dalamnya. "Ini tempat beliau menyimpan pakaian-pakaiannya. Anda bisa mengambil sesuai jadwal hari yang tertulis di atas hanger." Jelas Kristin. Naira menatap barisan pakaian seragam tentara yang hampir sama. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian Naira, melainkan pakaian selain seragam yang hanya berwarna hitam dan navy. Lalu untuk apa di jadwal jika semua bajunya sama? 'Aneh!' pikir Naira. "Bilik yang ini adalah toilet. Sedangkan untuk mandi, beliau akan berendam di onsen itu." Kristin menunjuk pada kotak kayu berisi air yang cukup untuk berendam empat atau lima orang di depan Naira. "Nah, tugas Anda setelah menyiapkan pakaian di bilik ganti adalah menyiapkan air hangat dan ekstra sabun atau ramuan yang beliau inginkan. Hari ini, Tuan menginginkan ekstra jamur lingzhi." Kristin mengambil sebuah tabung kecil di dalam lemari kecil berisi puluhan tabung beraneka warna. "Cek air dalam onsen, jika sudah hangat taburkan bubuk ini. Sisanya bisa Nona gunakan untuk berendam saat mandi nanti." "Aku? mengapa harus menyisakan untuk ku?" "Khasiat ekstra lingzhi sangat banyak, Nona. Anda beruntung karena Tuan menyisakan untuk Anda." Naira mengangguk. "Sebentar lagi Tuan akan masuk. Ada yang belum Anda pahami?" tanya Kristin. "Aku sudah paham," jawab Naira yakin. Kristin pun tersenyum lalu berbalik untuk pergi. "Nona mau kemana?" tanya Kristin ketika menyadari Naira mengikutinya. "Aku? tentu saja aku harus keluar. Bukankah semuanya sudah?" Naira terlihat bingung. "Anda harus menunggu di sini hingga Tuan selesai mandi, Nona." "Ap-- Apa??" Mata Naira membulat sempurna. (Next➡)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD