Para tahanan punya kegiatan rahasia, yang tidak diketahui sipir. Yaitu pertandingan brutal antar narapidana.
Kegiatan ini berlangsung ketika kami mendapatkan istirahat untuk berolahraga, atau bersantai di taman lapas setelah seminggu berkegiatan kreatif untuk mencari uang atau membersihkan lapas.
Seluruh tahanan berkumpul di ruangan olahraga yang bebas penjaga. Beberapa tahanan yang memilih tidak ikut, akan sibuk mengunjungi tempat ibadah atau sekedar berbincang dengan yang lain di taman.
Kedua kalinya Igor mengajakku nonton kegiatan ilegal ini.
Beberapa tahanan kelas atas bertaruh dengan uang mereka. Menjagokan salah satu peserta tanding. Yang menang, akan mendapatkan uang taruhan dan dibagi dua dengan peserta tanding.
Aku duduk di bangku tribun kecil tempat penonton untuk pertandingan basket.
Kali ini yang akan bertanding adalah Margo, salah satu komplotan perampok sadis yang lumayan ditakuti para tahanan kacung. Melawan Adri, seorang supir angkot yang ditahan karena kecelakaan beruntun yang disebabkannya saat dalam pengaruh alkohol.
Adri berbadan tinggi besar, lebih tinggi dari Margo. Tapi Margo adalah orang yang tidak mengenal takut.
Di bangku tertinggi tribun di seberangku, Tirto duduk dengan penuh wibawa. Di sebelahnya tersedia segelas kopi hitam dan kacang kulit yang berserakan.
"Kira - kira, Tirto pegang siapa ya?" Bisik Rio, berisik.
Aku mengedikkan bahu, tidak peduli.
Oka yang menjadi wasit, berdiri di tengah lapangan. Memberi kata sambutan, basa - basi dan membacakan peraturan pertandingan.
Gunadi melintas di depan kami, sengaja berdiri di hadapanku. Puntung rokoknya yang sudah habis, dilemparkan ke bawah dan diinjaknya. Berbalik, Gunadi menunjukku dengan jari - jari gendutnya yang kurang ajar.
"Gue penasaran, kalau lo yang tanding."
Kata - katanya sarat tantangan. Rio menyikut lenganku. Sementara tangan Igor yang merangkul bahuku, meremas pelan.
Gunadi pendendam. Insiden saat kami pertama kali bertemu, diingatnya. Dia selalu mencari celah untuk menarikku ke tengah keributan, yang sejauh ini, tidak kupedulikan.
Gunadi adalah pria berumur empat puluh tahun dengan wajah kekanakan. Bandar Narkoba yang hukumannya masih ditangguhkan, karena uang. Dia masih mengontrol bisnis barang haramnya diluar sana. Dari dalam lapas.
Bukan hal tabu, jika para penghuni lapas bisa mengkonsumsi barang laknat tersebut. Kekuasaan Gunadi tak terbatas, di luar maupun di dalam sini.
"Gak tertarik." Jawabku singkat dan kembali menyaksikan pertandingan yang baru dibuka Oka.
Tangan gempal Gunadi menyingkirkan rangkulan Igor, menekan bahuku dengan kuat.
"Atau, gak berani?" Tatapan matanya mengejek, membuat sebuah tawa sinis lolos dari bibirku.
"Cuma Tuhan, yang pantas ditakuti."
Gunadi berdecih.
Dari tempat duduknya, Tirto melihat kami. Tangan kanan mengangkat gelas kopinya tinggi, bermaksud menawariku. Yang kujawab dengan anggukan sopan.
Gunadi menengok ke arah pandanganku dan tertawa kecil, "punya bekingan. Pantes kurang ajar."
Dia menepuk bahuku dua kali dan berlalu, sementara Rio dengan wajah ingin tahunya berbisik di telingaku.
"Tirto nge-back up elo?"
Aku menggeleng, "gak tertarik terjun kesana."
"Bener. Kita cukup jadi penonton aja. Kita butuh remisi dengan catatan kelakuan baik." Igor mendukungku.
Rio berdecak. Aku tahu, dia ingin terlibat tapi tidak punya cukup nyali. Sementara Igor, bukannya tidak berani melawan, ia lebih mengedepankan penilaian sikapnya demi mendapatkan potongan masa tahanan.
Demi mendapatkan waktu lebih banyak bersama anak - anaknya.
Pertandingan dimenangkan Margo, dengan telak. Wajah Adri yang babak belur segera dibopong menuju sel - nya oleh dua antek - antek Gunadi untuk diobati.
Rio berlari ke arah Irwan dan mengobrol seputar bola. Igor menghampiri Margo dan berbincang - bincang. Aku memilih ke mushola, sebentar lagi masuk waktu Ashar.
Seseorang menepuk pundakku.
"Gunadi mencoba rekrut kamu ya?" Tirto sudah mensejajari langkahku.
"Nggak. Dia cuma nantangin saya untuk ikut adu otot."
Tirto hanya menanggapi dengan tawa dan berlalu pergi. "Mari." Pamitnya.
Di dalam mushola, ada Pak Basri. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai Security di sebuah Bank ternama. Dijebloskan ke dalam sini karena dituduh berkomplot dengan perampok yang menguras habis brankas penyimpanan uang di Bank tempatnya bekerja.
Meski sudah membela diri, Pak Basri tetap dijatuhi hukuman.
Di antara semua penghuni, hanya padanya aku berlaku segan dan sopan. Beliau rutin menjadi imam disini. Tempat favoritnya, hanya mushola dan kolam ikan.
"Mas Giri, silakan." Pak Basri mempersilakanku duduk di sebelahnya. "Minggu depan, akan ada kajian disini. Juga acara untuk memperingati Isra Mi'raj, Mas Giri mau terlibat dalam kepanitiaan?"
Aku mengangkat kedua tangan, menolak secara halus. "Terima kasih, Pak. Tapi, saya gak bisa."
Pak Basri tersenyum, "tapi hadir ya."
"Insha Allah." Jawabku.
Waktu Ashar tiba, Pak Basri berdiri untuk mengumandangkan adzan. Aku mengambil sarung yang tersedia di dalam rak dan bergegas mengambil wudhu.
***
"Igor kemana?" Tanyaku pada Rio yang sedang menghisap rokoknya.
Dari bau asapnya, aku tahu itu ganja. Rio menawarkan, tapi kutolak halus.
"Kunjungan istri. Di bilik asmara." Jawabnya sambil menyelipkan intonasi nakal.
"Lo gak dapat kunjungan istri?" Aku mengejek Rio.
Dia belum menikah, tapi saat kasusnya terkuak, dia sedang merencanakan pernikahannya.
"Jangan ngeledek! Eh, Sekar yang di klinik juga manis. Bisa gak ya diajak ngamar."
"Gue belum pernah masuk klinik." Aku gak tahu Sekar yang dimaksud.
"Ck! Dokter Klinik. Sekar namanya, umurnya masih muda, dua puluh empat kayaknya. Cantik, 34B." Bisik Rio dan tertawa di akhir kalimat. "Pura - pura aja lo gatel - gatel kek paling dikasih CTM sama dia. Biar lo tahu, masih ada bunga di padang tandus ini, Kawan!"
Aku hanya menggelengkan kepala mendengar sarannya.
Dua orang sipir mondar mandir dan berbisik - bisik. Membawa Gunadi di belakang mereka. Rio segera menarik bahuku.
"Gunadi pasti mau plesiran."
"Maksud lo?"
"Disini, ada tiga orang yang bisa keluar masuk liburan dengan santai. Gunadi, Michael, dan Tirto. Tiga bulan lalu, Gunadi liburan ke Macau selama dua minggu."
"Serius lo?" Rio mengangguk semangat.
"Banyak hal yang lo gak tahu."
"Michael yang mana ya?" Tanyaku, baru mendengar namanya hari ini.
"Ck. Kasusnya rame di tv. Dia dalang dalam kasus money laundry yang menghindari pajak. Mukanya kita gak pernah lihat karena kita juga gak tahu dimana sel-nya. Yang gue denger dari beberapa sumber, sel-nya dia surga dunia, Man! Lebih mewah dari Gunadi dan Tirto. Bekingan-nya gak main - main, pejabat kelas Kakap semua."
"Hm."
"Hm? Just, hm?" Rio menepuk punggungku keras.
"Gue harus bereaksi gimana?" Tanyaku bingung.
"Ck! Songong lo, Man! Bener - bener. Ya shock, kek. Terperangah kek." Jawabnya dengan intonasi yang berlebihan.
"Lebay lo!" Semburku dan berbaring menatap langit - langit sel yang kami tempati.
•••