Lima

987 Words
Seorang pria diseret - seret dari ruangan olahraga sampai ke lorong sel yang kutempati. Dia pemuda, usianya mungkin baru dua puluh atau dua puluh satu. Wajahnya sudah tak berbentuk. "Korban baru Kino. Tusbol, tusbol deh lo! Hahaha." Oka tertawa di depanku. "Siapa dia, kasusnya apa?" Tanyaku pada Oka. "Anak baru, maling kotak amal Masjid. Dilaporin sama marbotnya, eh ngandang juga disini. Gak punya keluarga kali yang bisa nebus." Oka kembali berteriak memberi semangat pada Kino untuk menariknya ke dalam sel. Kino adalah pria dengan nafsu syahwat yang tinggi. Dia melampiaskannya pada tahanan - tahanan rendahan macam anak baru itu. Memperkosanya dengan cara menjijikan. Melihat wajah anak itu, membuatku muak dengan tingkah para pembully dan pemerkosa di dalam sini. Berjalan cepat dan aku menepis tangan Kino pada baju anak baru yang sudah kepayahan itu. "Lepasin!" Kino mundur dan tertawa keras. "Mau ngapain lo? Mau jadi jagoan di dalam sini?" Kino mendorong bahuku. Badannya yang besar dan hitam memuakkan, menjulang di depanku. "Cari p****t lain yang dengan sukarela memuaskan lo!" Aku membantu anak baru itu untuk berjalan dengan benar. Seseorang menarik kerah bajuku, insting pertahanan diri membuatku menghindari pukulannya dua detik sebelum tangan besar itu mendarat di wajahku. Pukulannya hanya mengenai angin saat aku berhasil menghindar. Kino menatapku dengan wajah marah. Hidungnya yang besar, bergerak cepat karena emosi. Dia melayangkan tendangan ke arah perut, yang kutangkis dengan cepat. Membuat keseimbangannya hilang dan ia roboh ketika menyerang. Sorak sorai para penghuni ramai di sekeliling kami. Membuat lingkaran. Tapi aku tidak tertarik melawannya. Kusampirkan lengan anak baru itu ke bahu dan berniat membawanya ke klinik. Tarikan tangan besar Kino di bahu membuat anak baru itu jatuh, otomatis menarikku roboh. Kesempatan itu dimanfaatkan Kino untuk membekuk posisiku yang tidak beruntung karena membawa anak baru yang sudah kehilangan tenaga. Kulepaskan tangan anak baru dan bermaksud memberi pelajaran pada si penggemar p****t yang menyebalkan ini. Kepalan tanganku mampir di hidungnya dan dua pukulan kulayangkan di bahu besar Kino. Dalam hitungan kurang dari sepuluh detik, ia terkapar ke lantai. Aku berteriak pada Rio untuk membantuku memapah anak baru yang sudah hampir kehilangan kesadaran. "Berantem lagi?" Seorang dokter perempuan muda menyambut kami di dalam klinik. "Anak baru, dikerjain sama rombongan Kino." Jawab Rio. Kami membaringkan si anak baru di atas kasur. Dokter perempuan itu dengan sigap membawa air dalam rantang stainless dan membawa kapas, alkohol juga betadine dan kain kasa. Kami menunggui anak baru yang sedang dibersihkan lukanya. "Aku baru lihat Abang ini." Dokter itu menengok ke arahku. "Anak baru, saya juga belum tahu namanya siapa." Jawabku. "Abang, bukan dia." Dokter muda itu tertawa, "kalau Bang Rio sudah hapal. Sering dia bolak balik minta obat kesini." Lanjutnya lagi. "Oh. Giri." Jawabku, dokter perempuan itu tersenyum. "Saya Sekar. Dokter yang bertugas disini." Rio berdeham dan Sekar kembali fokus mengobati anak baru itu. "Cantik kan? Tapi gue duluan yang naksir ya." Bisik Rio usil. Aku meliriknya sebal dan kembali pada si anak baru. "Nama lo siapa?" Tanyaku, ketika wajahnya sudah bersih dari darah. Dia meringis kesakitan. "Said, Bang." Jawabnya. "Gue Giri. Jangan mau diperbudak sama mereka. Lo harus berani melawan." Aku menepuk bahunya, "gue tinggal. Makasi, Dok." Kataku, pamit dengan Sekar. Dia tersenyum ramah, kutarik Rio keluar dan kembali ke sel. Waktu istirahat hampir habis. *** Apakah aku sudah setahun mendekam disini? Rasanya bahkan lebih lama dari itu. Jero menjengukku hari ini, untuk pertama kalinya. Membawakan roti bakar dan kopi gayo yang sudah diseduh. "Thanks." Ucapku. Jero merangkulku sebentar dan duduk sambil mempersilakanku untuk mencicipi makanannya. "Ayu yang bikin, dia titip salam." Ayu adalah kekasih Jero. "Waalaikumsalam." Kami mengobrol seputar perkembangan bengkel. Jero merekrut dua orang karyawan untuk membantunya. Aku setuju - setuju saja. "Trinity sering datang ke bengkel. Duduk, nangis dan pergi. Setiap hari." Info dari Jero membuatku berhenti mengunyah. "Tapi setiap didekati, dia gak pernah merespon. Gak pernah menjawab setiap ditanya. Dia--kelihatan terluka, Bro." Aku menunduk, menelan makanan dengan sulit dan menyeruput kopi dalam gelas plastik. Dadaku sesak mendengar informasi ini. Dari pada mendengar Trinity yang seperti kehilangan semangat, lebih baik mengetahui bahwa namaku sudah dihapus dalam hatinya. "Gue harus bilang apa kalau dia datang lagi?" Tanya Jero. "Katakan padanya, untuk berhenti menangis. Lanjutkan hidup dan berbahagia." "Dia gak pernah kesini?" Aku menggeleng. "Lebih baik kalau dia gak kesini. Dia harus move on." Jero menepuk bahuku, memberi dukungan yang tak terucap. *** Sejak insiden yang menyelamatkan Said dari cengkraman Kino, anak itu menjadi seperti pengikutku. Dia akan selalu berada di sekitarku ketika jam - jam istirahat atau kadang, membantuku di bengkel dengan dalih belajar memperbaiki motor. Said cerita bahwa dirinya difitnah, dia tidak pernah mengambil kotak amal di Masjid. Saat kejadian naas itu, dia hanya numpang shalat Subuh dan tertidur di Masjid tersebut. Dia baru pulang kerja, katanya, kebagian shift malam hari itu. Sebelumnya dia bekerja di salah satu mini market yang sedang menjamur. Naas bagi Said, saat terbangun, dirinya malah dituduh sebagai maling yang membobol kotak amal Masjid. Karena khawatir diamuk massa, marbot Masjid itu melaporkannya duluan ke kantor polisi. Sayang, Said malah dijebloskan ke penjara tanpa bukti yang memberatkannya. Tapi dia bilang, ikhlas katanya. Sementara kedua orangtua Said tinggal di kampung halamannya. Dia tidak tega memberi kabar pada keluarga, toh hukuman untuknya hanya satu tahun. "Tetap aja nama lo blacklist. Sebagai residivis." Komentar Rio saat Said menyelesaikan ceritanya. "Gak apa, Bang. Yang penting Tuhan tahu, saya bukan pelakunya. Gak penting penilaian manusia. Yang penting penilaian Dia, Yang Kuasa." Jawab Said dengan bijak. Spontan Igor merangkul lehernya dan memberi tepukan ringan di kepala. Tanpa direncanakan, kami berempat akrab layaknya saudara. Kino belum menunjukkan arogansinya lagi padaku atau Said. Begitu juga Gunadi. Meski begitu, rumor tentang ancaman mereka berdua sampai ditelingaku. Kita tunggu saja tanggal mainnya. "Girindra Asta!" Firman, salah seorang sipir yang terkenal sombong dan galak memanggil namaku. "Saya." Jawabku, mengelap tangan yang belepotan oli dan menghampiri Firman. "Ada yang besuk." Aku menyerahkan sisa pekerjaan pada Said dan Rio, lalu mengikuti Firman ke ruang besuk. Setelah Jero dua hari lalu, siapa yang datang kali ini? •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD