"b******n ini kakak kamu?" Trinity menarik Oscar dan menghapus darah yang mengalir dari pelipis kakaknya dengan tisu.
"Iya, dia abangku. Apa salah dia ke kamu, Giri? Kenapa kamu pukulin abangku?" Trinity terisak sambil membersihkan wajah Oscar yang memerah.
"b******n ini memperkosa, melecehkan dan melakukan kekerasan pada adikku, Trinity. b******n ini merampas masa depan adikku satu - satunya." Jawabku menahan amarah.
"Bb--bohong, Dek! Anis juga mau melakukan itu, b--bukan karena dipaksa--" aku tarik rambutnya hingga kepala Oscar menekuk ke belakang.
"Bilang lagi kalau adek gue semurahan itu? Hah? BILANG LAGI! ANJING!" Pukulanku mengenai perutnya.
"STOOOPPP, GIRI. STOP. CUKUP!" Trinity memeluk perutku dari belakang.
Aku mencekik leher Oscar yang sudah kepayahan.
"MINTA MAAF KE ORANGTUA GUE DAN AKUI PERBUATAN LO KE POLISI, ATAU PESAN TANAH UNTUK PEMAKAMAN LO. b*****t!" Kulepaskan cengkraman pada lehernya.
Trinity melepaskan pelukannya dan menopang tubuh Oscar yang sudah limbung.
Balik badan, aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan mereka berdua.
"Mm--mimpi aja lo, anjing!" Desis Oscar ketika aku sudah berdiri di depan pintu kostnya. Aku berbalik dan melihatnya berjalan cepat sambil menghunuskan pisau ke arahku.
Trinity menjerit, dengan sigap aku menghindari serangan Oscar.
Oscar yang sudah limbung berlari tanpa kontrol yang bagus dan menabrak dinding pembatas kost - kost-annya. Kejadiannya sangat cepat, ketika aku hendak menarik Oscar untuk berdiri tegak. Badannya justru bergoyang ke depan dan terjungkal melewati dinding setinggi pinggang.
"ABAAANGGGGGGG!" Jeritan Trinity menyadarkanku.
Oscar terjatuh dari lantai empat kost - kost-annya dengan bunyi berdebum.
Suasana kost yang sepi, menjadi saksi betapa tragis dan ironisnya kematian Oscar. Tidak satupun tetangga kost nya yang keluar untuk sekedar melihat keributan yang kami buat.
Aku mengikuti Trinity yang berlari turun dan luruh lunglai di samping mayat Oscar yang bersimbah darah.
"Kita harus pergi, Trinity. Sebelum orang - orang menemukan kita disini." Aku menariknya berdiri, dia menolak.
"Pembunuh." Desisnya di sela - sela tangis.
"Dia terjatuh karena ingin menyerangku, Trinity."
"ELO PEMBUNUUHHHH!" Jeritnya, dia menangis. Menggila di saat yang sama.
"Tri--"
"Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh! Gue benci sama lo, gue benci sama pembunuh!"
"Trinity, ak--"
"PEMBUNUH! DIAM, PEMBUNUH. ELO PEMBUNUH. GUE BENCI PEMBUNUH. GUE BENCI ELO." Kata - katanya penuh penekanan.
Aku terdiam. Mencoba menelusuri luka dan duka di kedua mata gadis yang merebut hatiku beberapa bulan belakangan ini. Dan itu menyakitkan. Trinity menangis dan terus menangis di samping mayat Oscar. Merutuk dirinya yang menyesal mengenalku, menyesal mengikutiku.
Menyesal, jatuh hati padaku.
Aku bersumpah, hanya ingin memberinya pelajaran, bukan ini yang kuinginkan.
Mengeluarkan ponsel, aku menghubungi kantor polisi terdekat.
"Selamat malam, dengan kantor Polisi Jakarta Selatan ada yang bisa dibantu?"
"Saya Girindra Asta, ingin menyerahkan diri karena telah melakukan pembunuhan terhadap Oscar malam ini." Aku menyebutkan lokasi kost Oscar dan mengatakan akan bertanggung jawab mengenai kasus kematian Oscar. Sepanjang percakapanku dengan petugas kepolisian, Trinity menatapku tidak percaya.
"Aku akan menyerahkan diri, jika itu membuat kamu berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Aku mengelus rambutnya, "tidak ada yang salah dari pertemuan kita. Tidak ada."
Trinity hanya menatapku, penuh kebencian yang nyata.
"Jangan katakan pada mereka, kalau kita saling mengenal. Buat alibi. Katakan, kalau kamu menemukan Oscar yang sudah terjatuh disini. Kamu saksi yang menemukan Oscar terjatuh dan hanya aku yang berada disini saat Oscar masih hidup."
Trinity diam, kedua tangannya mengepal marah.
"Aku mencintaimu, Trinity." Kukecup dahinya dan mengambil pisau Oscar untuk menempelkan sidik jariku. "Ini pembunuhan berencana, hukuman paling ringan dua puluh tahun atau hukuman seumur hidup." Kedua mata itu kini berkaca - kaca. "Maaf, karena telah membuat ini semua menjadi sulit. Maaf karena membiarkanmu ikut dan menyaksikan semuanya." Trinity menangis, "maaf."
Bisikku.
***
Lima bulan pertama menetapnya aku dalam lapas ini, hanya Aji yang menjenguk. Dia membawa pesan dari Tama dan Ibu yang belum bisa datang.
"Anis gimana, Mas?"
Aji menghembuskan napas lelah, "lagi diterapi. Apa aja kegiatan lo di dalam sini?"
Aku menceritakan tentang kebebasan memilih minat untuk dikembangkan di dalam lapas. Otomotif adalah yang membuatku tertarik, lapas menyediakan tempat untuk dijadikan bengkel. Pelanggannya, para sipir dan petugas kepolisian. Juga penduduk setempat yang mendapat izin untuk menitipkan kendaraannya di sini.
Aji membawakan masakan Ibu. Tak sabar, aku segera membuka dan mencicipinya.
Tanganku gemetar saat menyuap, kedua mataku memanas. Aji meremas bahuku.
"Pelan - pelan makannya." Aku tersedak, Aji mengulurkan sebotol air mineral. "Ayah sudah keluar dari rumah sakit. Tapi, udah gak bisa melakukan apa - apa."
Hatiku seperti diremas - remas mendengarnya. "Maaf, Mas. Maaf." Aku berbisik.
Aji berdiri dan memeluk kepalaku. Menepuk - nepuknya lembut.
Aku baru saja keluar dari ruangan besuk, membawa beberapa makanan yang diantarkan Aji untuk kubagi dengan kedua teman satu sel-ku. Tirto berdiri di pintu ruang besuk sebelahku.
"Giri." Tirto menyapa dengan sopan. Aku mengangguk, membalasnya.
Dari pintu yang terbuka, kulihat tiga pria berpakaian rapi. Dengan setelan jas yang mahal, berbicara penuh sopan pada Tirto.
Tak ingin peduli, aku segera berlalu, kembali ke sel-ku.
"Dibawain apa, Bro?" Rio menutup buku yang sedang dibacanya.
Aku mengangkat bingkisan yang diberikan Aji pada mereka berdua dan menawarkannya.
"Gak disunat dulu sama yang jaga?" Aku hanya mengedikkan bahu.
Tidak ada yang meminta jatah padaku, sipir - sipir yang kulewati tadi. Atau Aji sudah memberikannya duluan. Entahlah.
"Tadi gue lihat Tirto dipanggil juga tuh, lihat gak?" Rio ini tipikal orang yang mau tahu banyak. Sedangkan aku sebaliknya.
"Lihat."
Rio membersihkan tangannya dan merangkul bahuku, berbisik pelan. "Siapa yang besuk dia? Dani pernah barengan dapat kunjungan sama Tirto, katanya yang besuk dia, orang besar semua. Kayak bos - bos gitu."
"Gue gak tahu. Dan gak mau tahu." Jawabku tegas, Rio nyengir dan kembali mengupas jeruk untuk dimakannya.
"Tirto kayaknya nice - nice aja ke lo." Igor kali ini yang angkat bicara.
"Karena dia tahu, gue gak suka ngurusin orang." Jawabku, Igor tertawa.
"Hati - hati lo, Yo. Ketahuan Tirto sering ngomongin dia, abis lidah lo nanti." Igor menakut - nakuti Rio.
Rio berdecak, "gue penasaran aja. Siapa sih dia?"
Aku mengambil lipatan kertas yang di dalam kantong baju tahanan yang kukenakan. Aji memberikannya tadi.
'Tuhan Maha Pemaaf, maka mintalah ampunan pada-Nya sebanyak mungkin. Ayah dan Ibu sudah memaafkanmu.'
Tulisan Ibu.
Kutempelkan kertasnya ke wajah, menghirup banyak - banyak aroma kertas dan tulisan tangan Ibu. Menyesal, karena perbuatanku, Ayah dan Ibu harus menanggung malu.
•••