Kemunculan Rian di tempat Reina bekerja saat ini mendadak menimbulkan aura tak mengenalkan bagi gadis itu. Meski ia sudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka dulu, juga melupakan sosok yang sudah membuatnya mengerti kata 'harga diri', tetapi tak serta merta membuat Reina bisa menghilangkan suasana canggung di antara mereka.
Reina sebenarnya sudah berusaha untuk tak peduli akan kemunculan Rian yang tiba-tiba menggantikan posisi Bu Winda. Namun, sikap lelaki itu yang terlihat lain dari yang Reina kenal, menjadi sikap tak pedulinya berubah menjadi janggal.
"Berusaha aja kalau lelaki itu sama seperti yang lainnya, kaya kamu ke Jefry, Danu atau yang lainnya," saran yang Bu Cintya berikan kepada sang putri.
"Sudah, Bu. Sejak awal kemunculan Rian di parkiran yang hampir menabrak Reina, Reina udah bersikap biasa aja. Cuma Reina enggak nyangka aja kenapa Rian tiba-tiba bersikap aneh."
"Aneh gimana?" tanya wanita yang sudah mengandung dan membesarkan Reina dari dalam kandungan itu.
"Eh, aneh gitu deh!"
"Iya gimana? Dari mana menurut kamu dia itu aneh. Kalian 'kan memang teman satu sekolah dulu, kalau dia nyapa atau ajak ngobrol kamu, kayanya itu hal yang wajar walaupun dulu dia enggak begitu. Namanya sama-sama udah besar dan dewasa, sikap dan perilaku pasti juga akan berubah dengan sendirinya, Reina."
"Bukan berubah kaya gitu, Bu."
"Terus?"
Reina tak mungkin menceritakan kepada ibunya kalau Rian sudah bertindak di luar batas kewajarannya. Lelaki itu sudah berani memeluknya. Itu adalah tindakan gila yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Reina. Bagaimana bisa seorang lelaki yang dingin dan jutek seperti Rian, yang menolak cintanya berkali-kali mendadak memeluknya setelah sekian tahun mereka tidak bertemu.
Bu Cintya masih menatap putrinya. Wanita itu menunggu jawaban apa kiranya yang akan anaknya katakan.
"Pokoknya aneh deh, Bu. Reina enggak bisa ceritain semuanya. Intinya Rian kelihatan beda, udah enggak kaya dulu lagi. Reina jadi bingung ngadepinnya nanti, dia 'kan atasan Reina. Mana ruangannya sebelahan sama ruangan markas housekeeping," gerutu gadis itu.
"Haha, Reina, Reina. Kamu ini terlalu berlebihan. Lagian, apakah Rian memperlihatkan gerak gerik menyukai kamu? Jangan terlalu ke-GR-an dulu," kekeh Bu Cintya mencoba menggoda sang putri.
"Ibu?" rajuk Reina kesal. Bagaimana bisa punya seorang ibu yang malah menjatuhkannya.
"Hahaha!" Bu Cintya tergelak melihat putrinya cemberut.
"Reina, Ibu tahu kamu benci sama Rian sekarang setelah cinta monyet kalian di masa lalu. Tapi, jangan sampai perasaan benci itu malah jadi bumerang untuk kamu sendiri nantinya."
"Maksudnya?"
"Sikap benci yang berlebihan, justru akan mendatangkan perasaan sebaliknya nanti. Biasanya seperti itu."
"Reina enggak benci Rian kok, Bu!"
"Ya, lalu, apa yang membuat kamu canggung ketemu sama dia?"
"Ah, Ibu enggak ngerti apa yang Reina rasain sekarang," sahut Reina kesal.
Wanita yang mendekati usia paruh baya itu pun tersenyum dan mendekati sang putri. Duduk berdampingan sembari menarik jari putrinya, lalu mengusap pelan.
"Reina, Ibu memang tidak tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Kamu sendiri-lah yang merasakan dan mengerti semuanya. Ibu hanya bisa memberimu dukungan dan semangat. Ibu hanya bisa mendoakan agar di setiap langkah kegiatanmu selalu Tuhan berikan perlindungan. Perihal hati dan perasaanmu dulu terhadap Rian yang sempat membuat kamu sakit hati, hadapi semuanya dengan bijak dan kepala dingin. Kamu sudah bisa menerima jika cinta yang kamu miliki tidak terbalas. Jika saat ini lelaki itu ternyata ada di depan kamu dan bersikap lain seperti yang kamu bilang tadi, bersikap cuek saja dan jadilah dirimu sendiri tanpa harus melihat sikapnya yang berubah."
Kalimat demi kalimat yang disampaikan dengan tutut kata yang lembut dan tidak menggoda, terdengar menenangkan. Membuat Reina kembali bersemangat untuk menjalani hari.
"Biarkan Rian dengan sikapnya, tanpa kamu harus terpengaruh dengan semuanya. Bekerjalah seperti biasa dan bersikaplah seperti Reina yang Ibu dan teman-teman kamu kenal."
"Iya, Bu." Reina mengangguk semangat.
"Tahukah Reina? Jujur aja Ibu merasa kehilangan dengan sikap Reina yang dulu. Sikap Reina yang selalu ceria dan menyenangkan serta bisa membuat suasana bahagia, kini seolah hilang tidak lagi Ibu rasakan. Seandainya itu ada hubungannya dengan kematian ayah, sepertinya Ibu harus meminta maaf karena sudah membuat Reina menjadi pribadi yang demikian."
"Enggak, Bu. Enggak ada yang harus dimaafkan dari takdir yang sudah Tuhan berikan terhadap keluarga kita." Reina mengelak cepat saat melihat sang ibu berwajah sedih.
"Jika semua perubahan yang terjadi karena Rian, mungkin ini saatnya kamu buktikan jika penolakan lelaki itu sama sekali tidak membuat kamu menjadi pribadi yang pendiam."
Apa yang Bu Cintya masuk ke dalam pendengaran dan pikiran Reina. Semua benar. Apa yang wanita itu katakan memang benar. Reina sendiri menyadari perubahan yang terjadi padanya.
Ya, mungkin ini saatnya ia kembali menjadi pribadi yang dulu. Pribadi yang gila dan tak jaim. Namun, harus ada yang dikurangi, mungkin ia jangan bersikap tidak tahu malu seperti dulu.
Mengingat dirinya yang dulu, seketika membuat Reina tertawa. Bayangan akan kegilaannya semasa sekolah, juga sikap tak tahu malunya sebagai seorang siswi bodoh, kini justru membuatnya tertawa. Hal yang sangat memalukan, yang ia lakukan dulu, kini bisa ia tertawai dalam suasana yang lain.
Bu Cintya melihat wajah bahagia di depannya sekarang. Wajah yang lama tidak pernah ia lihat sejak lima tahun terakhir, yakni sejak kematian sang kepala keluarga tepat saat putrinya akan menyelesaikan sekolah SMA-nya.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih untuk hari ini. Entah bagaimana bisa aku tidak terpikirkan apa yang Ibu katakan barusan."
Bu Cintya tersenyum merespon. Sosok gadis kecilnya telah kembali. Ternyata butuh waktu lima tahun bagi sang putri untuk melewati masa-masa transisi dari remaja menjadi dewasa. Lengkap dengan segala hal yang harus ia alami dan rasakan.
Wanita itu tentu saja berpikir jika semua karena munculnya sosok Rian. Mau bagaimana pun putrinya mengelak, sosok lelaki itu sudah mempengaruhinya. Entah itu perasaan suka atau benci, tetapi yang pasti memang kehadiran Rian erat kaitannya dengan sikap yang diambil gadis kecilnya yang sudah dewasa itu.
"Seperti yang Ibu bilang, mau bagaimana pun lelaki itu bersikap, aku memang harus cuek dan tidak peduli padanya. Rian adalah atasanku bekerja dan aku adalah anak buahnya. Bersikap sopan seperti aku bersikap pada atasan yang lain."
Semangat yang Reina perlihatkan begitu nyata. Tak main-main, seolah-olah jiwanya yang sudah terkubur lama telah kembali.
Di tempat lain dengan waktu yang sama, terlihat sosok lelaki muda yang semakin tampan di usianya yang semakin dewasa tengah mengobrol dengan seorang wanita dewasa lainnya.
Lelaki itu adalah Rian, mantan teman Reina saat sekolah dulu. Si siswa terpandai di sekolah Reina yang saat ini bekerja sebagai atasan Reina di sebuah hotel bintang lima.
Rian tampak berbincang dengan kakaknya yang bernama Putri. Putri adalah putri sulung dari keluarga Nataharja. Usianya yang terpaut tiga tahun dengan sang adik, membuat gadis itu leluasa berbincang bahkan becanda dengan lelaki tampan yang banyak digilai oleh semua wanita di mana Rian berada.
"Jadi, Reina anak buah kamu sekarang?" tanya Putri sembari menyesap teh hangat di teras rumah.
Rian mengangguk. Memainkan gitar di tangannya, siapa yang menduga jika lelaki yang terkenal dingin dan kutu buku itu ternyata pandai memainkan alat musik tersebut.
"Terus? Apa kamu udah jadi minta maaf sama dia?"
"Aku udah minta waktu sama Reina, tetapi gadis itu enggak mau dan malah kabur."
Mendengar jawaban Rian, Putri pun tergelak.
"Kok ketawa sih, Mbak?"
"Ya, lucu aja. Emang kamu mintanya kaya gimana kok bisa di Reina kabur? Maksa pasti!"
"Aku meluk dia gitu," sahut Rian dengan gaya santai.
"Ya iyalah, dia kabur. Enak aja main peluk-peluk. Belum apa-apa agresif gitu sama perempuan."
"Habis dia enggak mau ngasih aku waktu buat ngomong."
"Ya jangan maksa juga dong, Rian. Gimana sih?"
Dua kakak beradik itu memang tidak sungkan untuk curhat satu sama lain. Putri lebih tepatnya yang sering menceritakan apa saja yang tengah ia rasakan. Sedangkan Rian, seperti yang seluruh keluarganya ketahui adalah sosok pendiam dan tak banyak bicara. Jarang sekali menceritakan kisah hidupnya kepada orang lain, walaupun keluarganya sendiri. Baru beberapa waktu belakangan saja Rian seperti membutuhkan tempat untuk meluapkan apa yang mengganjal di dalam hati dan pikirannya, serta mencari solusi dari setiap masalah yang sedang dihadapi.
"Ya terus aku harus gimana? Aku udah ikutin saran Mbak untuk meminta maaf sama dia. Tapi, ternyata gadis itu malah enggak mau aku ajak cari tempat."
"Hallo, Rian. Berapa lama kamu sama Reina enggak ketemu setelah lulus sekolah?"
"Lima tahun."
"Ok, lima tahun. Terus ada hubungan apa selama kalian enggak ketemu selama itu?"
"Enggak ada-lah!"
"Sebelum lulus? Maksudnya waktu masih sekolah?"
"Jangan pura-pura enggak tahu deh, aku 'kan udah cerita kalau aku nolak dia berkali-kali. Jadi, mana ada hubungan selain temenan doang." Rian terlihat kesal. Gitar yang ada di tangannya pun berhenti ia petik.
"Nah, itu kamu tahu kalau hubungan kalian cuma temenan doang, apalagi kamu udah nolak dia terus. Lima tahun enggak ketemu setelah peristiwa drama penolakan yang bisa bikin perempuan manapun sakit hati, tiba-tiba muncul dan main peluk, itu pas kamu ngelakuin kaya gitu otak kamu lagi ditaro di mana sih, Rian? Gemes banget dengernya."
"Mbak Putri apaan sih!" sewot Rian menatap emosi.
"Ya lagian, punya adik lelaki kok gini amat."
"Ya terus aku harus gimana?"
"Pelan-pelan dong. Kamu enggak bisa main paksa anak orang biar mau atau setuju dengan permintaan kamu."
"Kelamaan kalo harus pelan-pelan. Lima tahun aku terus dilanda rasa bersalah. Pada saat ada momen, aku maunya langsung nyelesain semuanya."
"Kamu tahu itu lima tahun, jangan ujug-ujug juga kali. Minta maaf sama perempuan itu pake trik, jangan asal. Aku juga kalau jadi Reina, ya, kabur-lah. Enak aja!"
Rian terdiam saat melihat respon dan reaksi kakaknya itu. Benarkah menurut perempuan itu kalau ia harus memakai trik dalam menyampaikan permintaan maaf kepada temannya, Reina? Jika iya, apakah harus pelan-pelan dan bertahap juga?
Ah, perempuan memang terkadang membingungkan. Atau justru ia yang tidak tahu apa-apa mengenai sosok lemah lembut ciptaan Tuhan tersebut?
"Intinya Rian, kamu harus pelan-pelan dan jangan maksa. Lakukan berbagai cara demi mendapatkan permintaan maaf darinya."
"Caranya?"
"Ya ampun, kamu itu pinter, Rian. Mbak yakin kamu pasti nemuin caranya, kok. Karena kamu pernah satu sekolah sama dia meskipun enggak suka sama Reina, tetapi biar sedikit kamu pasti tahu apa saja mengenai dirinya dulu. Mau bagaimana pun, menurut cerita kamu yang katanya Reina sering banget ngatain cintanya sama kamu, kalian pasti sering berinteraksi," jelas Putri panjang lebar.
"Wah, aku harus ketemu sama anak itu. Aku penasaran sama perempuan yang punya banyak nyali dan stok malu demi ungkapin perasaannya," lanjut Putri terkekeh menatap adiknya menggoda.
"Memang kamu sama sekali enggak tersentuh gitu, Rian, sama perjuangannya?"
"Apaan sih?" Rian terlihat kikuk saat sang kakak mulai menggodanya.
"Eh, atau jangan-jangan kamu juga suka, yah, sama dia. Iya ’kan makanya kamu santai aja gitu peluk-peluk perempuan?"
"Enggak!"
"Bohong?"
"Enggak tahu ah!"
Rian terlihat beranjak bangun. Sembari membawa gitar kesayangannya, lelaki itu pun pergi meninggalkan sang kakak, yang ternyata malah mengikuti dan terus menggodanya.