Rian Kembali

1227 Words
Rian hanya berpura-pura saja ketika kembali ke ruangannya. Sebenarnya ia sendiri memang sudah akan pulang ketika menghadang langkah Reina yang akan pergi meninggalkan hotel. Saat ini, lelaki yang berprofesi sebagai manajer di tempat Reina itu tengah fokus menyetir, membelah jalan raya yang terlihat cukup padat di waktu sore hari itu. Rian yang akhirnya memutuskan pulang dan tidak memaksa meminta kesempatan pada Reina, berpikir jika masih memiliki banyak waktu untuk bicara. "Apapun yang sudah aku lakukan, aku harus mendapatkan maaf darimu, Rein," batin Rian. Kawasan perumahan yang tidak terlalu elite dengan gerbang atau gapura sebagai muka atau jalan masuk perumahan, terpampang di depan. Rian segera melajukan kendaraannya masuk ke kawasan tersebut. Rian bukanlah anak seorang pengusaha kaya raya, tetapi tidak bisa juga dibilang anak orang miskin atau tak mampu. Ayahnya adalah seorang dosen, sedangkan ibunya adalah seorang guru atau pengajar di sebuah sekolah swasta di kota. Gen kepintaran yang dimiliki lelaki itu bisa dipastikan berasal dari gen kedua orang tuanya. Namun, cita-cita yang dimilikinya ternyata tidak sama dengan posisi atau profesi kedua orang tuanya saat ini. Rian yang pintar sejak kecil tidak pernah memiliki cita-cita seperti ibu dan ayahnya untuk menjadi seorang tenaga pengajar. Rian remaja yang dulu kerap melihat buku-buku tebal milik sang ayah, di mana banyak gambar peta beberapa negara di dalamnya, membuat ia berambisi untuk menjadi seseorang yang bisa keliling dunia. Ia berpikir, apapun pekerjaannya nanti dirinya hanya ingin bisa menjelajah negeri bahkan luar negeri. Sesederhana itu cita-citanya di tengah otak sangat pintar yang dimilikinya. Hingga akhirnya ia pun melanjutkan sekolah menengah atas di sebuah sekolah kejuruan dengan jurusan perhotelan. "Kenapa tidak mengambil jurusan jasa pariwisata?" kata ibunya waktu itu. "Bukankah jurusan itu akan membuatmu lebih mudah menggapai cita-cita kamu?" Rian tidak pernah menceritakan alasan sebenarnya mengapa ia mengambil jurusan perhotelan dan bukan pariwisata, di mana jurusan itu sebenarnya yang akan menuntunnya menjadi seorang tour guide sehingga bisa membuat impiannya terwujud. Sebenarnya, seandainya saja ia lulus SMA dan kuliah mengambil jurusan pariwisata, kesempatan itu masih ada. Tapi, anehnya ia justru tidak melakukan hal itu. Entahlah, bahkan hingga saat ini ia bekerja sebagai seorang manajer di sebuah hotel bintang dan ternama pun, tak ada yang tahu kenapa pada akhirnya ia malah menceburkan dirinya ke bidang perhotelan, yang mungkin saja akan menyulitkan keinginannya untuk mewujudkan cita-cita dan impiannya sejak remaja. Mobil yang Rian kendarai berhenti di depan sebuah bangunan berlantai dua dengan pagar tinggi di depannya. Seorang penjaga rumah yang mengenali mobil milik Rian, segera membuka gerbang dengan otomatis menggunakan remote. Suara klakson, Rian bunyikan ketika melewati pos penjagaan. Pak Kurdi, penjaga rumahnya sejak ia masih kecil hingga kini dewasa, setia bekerja dan mengabdi kepada keluarganya. "Selamat sore, Mas!" "Selamat sore, Pak!" Sang penjaga sengaja menghampiri Rian hanya sekedar untuk menyapa. Setelah tuan mudanya masuk ke rumah, lelaki paruh baya itu pun kembali ke pos penjagaan. "Sore, Rian!" "Sore, Bu!" jawab Rian membalas sapaan sang ibu. Wanita itu tengah duduk di ruang keluarga dengan beberapa buku di atas meja, menemani waktu sore dengan membaca seperti biasanya. "Hari pertama bekerja kamu bisa pulang sore begini?" tanya Bu Sukma, seraya mengulurkan tangan ketika sang putra hendak mencium telapaknya. "Heem," sahut Rian malas, sembari duduk di samping ibunya. "Baca buku apa, Bu?" Rian terlihat mengalihkan pembicaraan. Ibu manapun akan mengerti dan paham watak dan karakter buah hatinya, termasuk Bu Sukma yang bisa menilai jika sikap yang saat ini putranya tunjukkan adalah sebuah tanda jika lelaki itu tak ingin membahas mengenai pekerjaan barunya. "Ini n****+ terjemahan." Sembari menunjukkan cover buku agak tebal di tangannya ke arah Rian. Bu Sukma melepas kaca mata baca yang sebelumnya bertengger di batang hidungnya, lalu menatap wajah lelah Rian yang terlihat di depannya. "Kamu mau makan?" tanya sang ibu tersenyum. Rian menggeleng, "Baru juga jam berapa, Bu. Aku 'kan udah makan siang tadi di hotel." "Ya ... barangkali saja. Karena Ibu lihat sepertinya kamu capek sekali. Ibu hanya menduga kamu lemas karena lapar mungkin." Rian yang sebelumnya menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, kemudian duduk tegak dan beranjak bangun. "Mungkin bukan karena lapar, Bu, tapi capek karena butuh istirahat." Bu Sukma semakin paham jika ada sesuatu yang tengah putranya alami. Namun, ia bukanlah tipe orang tua yang akan ikut campur dalam kehidupan pribadi anaknya jika yang bersangkutannya sendiri tidak mau bercerita. "Kalau gitu, mungkin tidur adalah jawabannya." Bu Sukma menatap sang putra, lalu kembali mengenakan kaca matanya. "Ok. Sepertinya aku mau tidur dulu, Bu. Kita akan makan malam bersama nanti. Sembari tunggu ayah dan Mbak Putri pulang." "Ya. Ide yang lumayan. Selamat istirahat, Nak!" Rian pun beranjak pergi, meninggalkan sang ibu yang kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku di sore hari. *** Di salah satu ruangan yang multifungsi dalam sebuah rumah sederhana dengan waktu yang sudah berubah malam, terlihat dua sosok perempuan lintas generasi tengah duduk menyantap hidangan makan malam. Seorang gadis dengan rambut panjang diikat asal, begitu lahap menikmati masakan buatan ibunya. Di dekatnya, sembari menonton acara televisi, sosok sang ibu juga sama-sama menikmati makan malamnya. "Gimana jualan hari ini, Bu? Yang udah pesen kue kemarin ada konfirmasi lagi enggak?" "Alhamdulillah, penjualan hari ini masih kaya biasanya. Yang pesen kue tadi datang ke sini, katanya jadi minta dibikinin kue tampah tiga buah yang ukuran sedang." "Alhamdulillah. Kapan mau bikinnya, nanti Reina bantu." "Buat lusa. Besok mulai buat, biar enggak keteteran. Malam ini khusus buat jualan besok aja." "Ok, besok Reina bantu Ibu. Nanti Reina pulang cepet." "Bukannya biasanya juga pulang cepet?" tanya Bu Cintya. "Cuma tadi aja 'kan agak telat sedikit. Karena Rian, yah?" Reina hampir saja tersedak, tetapi ia masih bisa menguasai diri sehingga nasi yang belum halus ia kunyah itu mampu lolos melewati kerongkongannya. "Hati-hati kalau makan. Enggak usah terburu-buru," kekeh Bu Cintya niat sekali menggoda. "Ibu!" Reina cemberut dengan makanan yang penuh di mulutnya. Wanita paruh baya itu pun tertawa melihat tingkah polah sang putri yang terlihat gugup ketika nama seorang lelaki yang pernah ada di hatinya kembali hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. "Jadi, apa yang ingin putri Ibu ceritakan mengenai sosok siswa pandai itu?" Bu Cintya menyudahi makannya yang kemudian menaruh piring kotor yang sudah kosong ke tempat pencucian piring yang dekat dengan area ruang makan yang juga berfungsi sebagai ruang menonton. Reina yang terlihat serius menikmati makanan di piringnya, pura-pura tak mendengar dan memilih untuk menghabiskan makan malamnya yang tersisa sedikit lagi. Sang ibu sudah kembali duduk di tempat sebelumnya sembari menatap sang putri yang terlihat cuek. "Tunggu yah, Bu!" pinta gadis itu yang kemudian beranjak berdiri dan membersihkan piring bekas makanannya sendiri. Reina lalu mengambil air mineral ke dalam gelas dan membawanya ke sofa depan TV, lalu meminumnya sembari duduk. Bu Cintya tampak sabar menunggu putrinya yang seperti sengaja mengulur waktu demi menormalkan degup jantungnya, yang mungkin saja terasa lain sebab harus menceritakan masalah yang sama sekali tak ingin dibahas. "Rian kembali hadir dalam kehidupan sehari-hari aku, Bu." Awalan cerita yang langsung pada poin-nya, cukup membuat Bu Cintya terkejut. Meski sebelumnya Reina sudah mengatakan tadi, tetap saja kalimat yang baru saja ia dengar terkesan lain dan mengandung makna lain. Bu Cintya berusaha menjadi seorang pendengar yang baik, tanpa harus memotong setiap kalimat yang terucap. "Reina pikir cuma Bu Cici yang mengundurkan diri dari perusahaan, ternyata Bu Winda pun sama. Kedua wanita baik hati itu kini udah enggak lagi kerja di hotel. Sosok Bu Winda sekarang diganti oleh seorang lelaki yang ingin Reina lupakan sosoknya." "Rian adalah manajer kamu yang baru?" tanya Bu Cintya hati-hati. Sang putri dengan tatapan pilu, mengangguk perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD