Tubuhku didorong ke tembok salah satu sudut kampus yang lumayan sepi jarang ada orang yang melintas. Tangan itu masih melingkar di kedua mataku dan aku teriak sekencang-kencangnya, posisiku berhadapan dengan tembok lebih tepatnya kukecup tembok.
"Bisa diam nggak?" bisiknya.
Spontan jantungku seperti mencelos dari tempatnya. Suara ini tak asing lagi. Lambat-laun cengkramannya melonggar dan aku pun langsung balik badan.
"Alexander?" gumamku terbelalak.
"Maaf, kalau aku mesti kayak gini. Aku cuma rindu," selorohnya.
"Alex, ngapain kamu datang ke kampus?"
"Aku udah nyariin kamu sampai nungguin di depan tempat kerjamu. Tapi, nggak ada dan aku sampai nungguin kamu di depan kampus. Berharap aku bisa melihatmu. Namun sayangnya, kamu nggak ada juga. Doaku rupanya terkabul," terangnya.
"Emangnya kamu doa apa?" tanyaku heran.
"Doaku untukmu biar kamu jadi janda."
Setelah mendengar ucapannya seperti itu. Entah kenapa ini tangan mendarat di pipinya? Refleks menampar Alexander. Iya, dia mantanku yang sudah menikah, tetapi masih mengejarku.
"Kamu jahat doa seperti itu? Kenapa doainku jadi janda? Setelah apa yang kamu lakuin ke aku. Kamu yang pergi meninggalkanku dan tiba-tiba datang lagi membawa istri. Ah, itu sangat menyakitkan!" protesku sambil mendorong tubuh Alexander.
Namun, tangannya lebih sigap mencengkram erat lenganku. Kulihat matanya menyorot tajam. "Aku minta maaf soal itu. Ini semua perjodohan."
"Alasan! Kalau dijodohkan. Aku emang janda saat ini. Tapi, bukan berarti kamu akan mudah mendekatiku."
Rupanya dia mengeratkan genggaman dan aku meringis kesakitan. "Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama siapa pun! Kalau ada lelaki yang mau menikah denganmu. Maka aku yang akan membuat lelaki itu menderita," pekiknya sambil mendekati pipiku. Otomatis aku berontak dan menjerit-jerit meminta tolong. Iya, aku harus tetap pura-pura menjadi wanita yang tidak bisa bela diri. Kalau Alexander berani lebih jauh, pasti akan aku rontokkan semua giginya saat ini juga. Namun, saat tangan kanan ini sudah mengepal.
"Hai, lepaskan dia!"
Aku terbelalak saat tahu sosok lelaki yang menyebalkan sekali datang bak pahlawan Hero. Kali ini, dia langsung menarik tangan Alexander dan meninju wajah mantanku itu dua kali sampai Alexander geram dan mau menyerang juga, tetapi dengan cekatan Pak Alvin menangkis tangan Alexander. Aku melongo melihat Pak Alvin begitu tegas.
"Bukan lelaki yang bisanya nyakitin wanita!" sentaknya memelotot.
"Siapa kamu?" Alexander menimpali sambil memicingkan mata.
Aku tidak mau melihat mereka berdua berseteru. Lantas aku pun segera melerai mereka berdua yang tepat di depan mata meski sebenarnya aku sebal saat tahu kalau Alexander berdoa agar aku menjadi janda. Doa apa itu? Doa mantan tidak ada akhlak seperti Alexander.
"Stop, jangan ada keributan."
"Dia sudah menyentuh calon istri saya! Maka jangan salahkan saya kalau dia tinggal nama," tegas Pak Alvin langsung menarik tanganku.
"Apa? Calon istri." Tersirat yang kutangkap dari sorot mata Alexander menajam.
Pak Alvin pun lekas merangkul pinggangku dan mengajakku untuk masuk ke kelas. "Ayo, masuk. Tak ada gunanya bicara dengan dia."
Aku pun mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Mau tidak mau aku harus berbicara manis di depan Alexander agar dia percaya kalau Pak Alvin ini adalah calon suamiku.
Lantas kami berjalan bersisian menuju ruang kelas. Tangan Pak Alvin terus saja menggenggam erat jemariku begitu hangat dan melantunkan ritme nada yang ada di debaran jantungku. Entah kenapa ini jantung mendadak bergemuruh saat indra penciumanku menghirup aroma parfum yang persis sama dengan yang Fahri pakai?
Kuremas-remas buku-buku jariku dan tiba di depan pintu kelas. Pak Alvin mengurai tangannya seraya berkata, "Kamu masuk dulu. Dan soal saya dan Bu Mira tak ada hubungan apa-apa. Soal di kamar mandi itu jangan dipikirkan."
"Kalian ngapain? Pacaran. Banyak banget pacarnya?" protesku sambil memonyongkan bibir.
"Pacar boleh banyak. Tapi, kalau istri satu aja yaitu kamu," celetuknya. Lalu aku pun masuk ke dalam kelas setelah mendengar kalimatnya yang menurutku itu seperti tong kosong nyaring bunyinya.
*
Sepulang dari rumah Adiba, langit sudah berwarna hitam. Aku masuk ke rumah dan mendapati Ibu tengah berbicara dengan Pak Alvin. Spontan aku kaget. Ini orang seperti jin selalu datang tiba-tiba tanpa sepengetahuan, dengan langkah malas aku berjalan gontai menerobos masuk ke ruang tamu.
"Assalamualaikum, Bu."
"Walaikumsallam, syukurlah udah pulang. Tadi Alvin mau menjemputmu dari rumah Adiba."
"Ngapain jemput segala? Aku udah gede," jawabku ketus dan tanpa melirik ke arah Pak Alvin. Terus saja lurus aku berderap lebar menuju kamar.
Baru saja aku duduk sambil menaruh tas. Sontak aku menoleh mendengar suara Ibu membuatku tercengang. Rupanya Ibu tadi mengekori tanpa sepengetahuanku dan kini tiba-tiba sudah ada di dalam kamar sambil melipat kedua tangannya dan duduk di sampingku di tepi ranjang.
"Kenapa sikapmu kayak gitu pada Pak Alvin? Kamu nggak sapa dia?"
"Malas, Bu. Tahu nggak tadi di kampus dia itu pacaran di dalam toilet. Masa Ibu mau jodohinku sama laki-laki macam dia," protesku sambil membuang napas panjang dan kasar.
"Masa, sih? Kamu ngarang kali. Pak Alvin sudah banyak nolongin kita tahu nggak. Ibu hutang budi kepadanya dan ini juga amanat Fahri."
"Ibu jangan desakku seperti ini." Aku pun tenggelam di pangkuan Ibu.
"Sayang, Pak Alvin mau pulang. Ayo, keluar dulu. Dia datang ke sini nganterin makanan kesukaan Ibu juga. Perhatian banget."
Entah kenapa Ibu selalu memuji Pak Alvin? Aku tidak suka dengan cara Pak Alvin yang mendekati Ibu seperti itu.
Lalu mau tidak mau aku harus mengantar Pak Alvin keluar dari rumah. Dia mengulum senyum saat kami berpapasan berhadapan dan dengan terpaksa aku senyum tipis terbit dari bibir.
"Semoga kamu mempunyai jawaban yang bagus."
"Jawaban apa?" Aku ingin lupa ingatan.
"Saya tunggu jawaban baik." Pak Alvin mengusap puncak rambutku. Sungguh tampak manis di depan Ibu. Iya, berhubung di sampingku ada Ibu. Menurutku ini aneh kalau Pak Alvin menginginkan menikah denganku? Dia pacarnya banyak, kenapa tidak memilih salah satu dari mereka?
"Pak, ini nggak ada udang di balik batu," dumelku tidak percaya dengan ucapannya.
"Nggak ada, Bella."
Bret!
Kentut lagi 'kan membahana. Itu adalah cara pengusir halus.
"Sorry," ucapku.
"Bella, kamu itu nggak bisa gitu nggak kentut di depan orang." Ibu mengomel sambil mencubit pinggangku.
"Bu, serius ini. Aku juga nggak mau kayak gini. Ini tiba-tiba keluar tanpa kesadaranku," balasku sambil balik badan dan ingin beranjak pergi. Aku tidak peduli pada Pak Alvin yang mungkin masih berdiri di depan teras dengan Ibu.
Suara deru mesin mobil membuat aku menoleh ke belakang. Rupanya itu bukan mobil Pak Alvin yang pergi. Marini keluar dari mobil dan melempar senyum getir.
"Belaa!" panggil suara yang sudah tidak asing lagi.
Aku pun putar badan dan mengerutkan dahi. Saat melihat Marini berlari menghamburku yang masih berdiri tegak di teras.
"Aku nginap di sini," ucapnya sambil tenggelam di pelukanku.
"Kenapa emangnya? Suamimu kenapa? Emangnya boleh?" Todongku melontarkan tanya karena tidak biasanya Marini seperti ini. Apalagi meminta menginap meski kutahu kalau suami Marini memang kasar dan tegas sekali orangnya.
"Jawab ada apa?" Aku mengurai pelukannya dan menatap manik mata legam Marini yang di sudut mata itu ada butiran air mata menelur.
"Marini, suamimu kasar lagi?" timpal Pak Alvin yang ikut masuk ke obrolan aku dan Marini.
Refleks bibirku mendadak meruncing. Apa aku tak salah dengar? Pak Alvin tahu kalau Koko---suami Marini kerap menyiksa Marini.
"Pak Alvin, tahu dari mana? Kalau Marini dan suaminya ada masalah?" tanyaku mendelik.
"Saya duduk di sini boleh. Kayaknya saya masih betah di sini," urainya tenang.
Perasaan apa ini? Aku merasa kalau Marini dan Pak Alvin seperti ada sesuatu. Ah, apa ini hanya sekadar perasaanku saja? Saat melihat Pak Alvin tiba-tiba duduk dan mengurungkan niatnya untuk pulang. Padahal tadi dia sudah berpamitan mau pulang.