bc

Naik Ranjang

book_age18+
1.1K
FOLLOW
7.0K
READ
contract marriage
badboy
goodgirl
CEO
drama
sweet
bxg
others
virgin
substitute
like
intro-logo
Blurb

Lebih baik aku mati!

Begitulah kata-kata yang ingin kulontarkan saat mencerna permintaan mertuaku yang memiliki sorot mata teduh.

Tangannya pun masih meremas-remas jari-jari lentikku. Namun, kalimat itu masih bergumam di dalam hatiku saja.

“Bagaimana, Neng? Mau ‘kan menikah dengan si Aa Alvin,” ucapnya mengulang kembali permintaannya. Dia adalah wanita yang melahirkan suamiku.

Arabella 29 tahun takdir menuntunnya menikah dua kali. Dijodohkan dengan Alvin Sandjaya 32 tahun---kakak Fahri suami pertama Arabella yang meninggal. Rupanya wanita itu masih perawan saat ditinggalkan oleh Fahri. Belum terjamaah di ranjang pengantin.

Namun sayangnya, kehidupan Arabella berubah seratus persen pasca menikah dengan Alvin. Dia harus menghadapi sikap Alvin yang arogan dan pencinta wanita.

Bagaimana bila harus berumah tangga dengan lelaki pecinta wanita seperti Alvin?

Ikuti kisah Arabella naik ranjang menikah dengan kakak ipar yang tidak pernah mencintainya. Akankah Arabella dapat menaklukkan hati Alvin dan hidup bahagia?

chap-preview
Free preview
Kopi Darat
“Ini taksi saya!” “Pak, saya yang pertama lihat,” protesku pada lelaki yang memiliki alis sehitam arang dan berkulit putih. Aku seperti melihat Leonardo Dicaprio kini di depanku. Ini hari keberuntungan, bisa melihat makhluk Tuhan yang sempurna di mataku. Dasar jantung tak ada akhlaknya. Bisa-bisanya berdegup kencang seperti genderang mau perang. Mentang-mentang aku sudah jomlo lama. Berhadapan langsung dengan lelaki tampan sudah berulah ini jantungku. “Tapi, saya yang memberhentikannya,” balasnya tegas. Memangnya aku peduli. Aku tak mengindahkan ucapannya. Langsung saja aku masuk tanpa melihat reaksinya dan raut wajahnya. Aku nggak akan memikirkan bagaimana reaksi dia? Meskipun, wajahnya tampan. Andaikan tahu sifat aslinya. Pasti akan amit-amit tujuh turunan, deh. Malam ini pertemuan pertamaku dengan seseorang. Tak boleh gagal atau terlambat, titik pokoknya. Walaupun, aku harus satu mobil bersama lelaki ini yang berpakaian kasual, dengan berat hati, terpaksa. Dikarenakan sudah hampir satu jam menunggu taksi. Tak ada yang melintas. Mau tak mau aku harus satu mobil dengannya. Gara-gara ponselku mati. Aku menjadi sengsara seperti ini. Dasar pelupa. Bisa-bisanya di momen penting malam ini. Siangnya aku lupa tak mengisi baterai ponsel. “Hai, Arabella Purnamasari. Tak sopan. Ini mobil saya yang pesan,” protesnya sambil ikut masuk ke dalam mobil. Mendengar lelaki itu memanggil namaku komplit. Rasanya kuingin menari India di atas mobil ini. Dia tahu namaku dengan lengkap. “Please, Pak. Ini menyangkut hidup dan mati saya. Penting banget untuk masa depan saya,” rengekku sambil menangkupkan kedua tangan di depan d**a, memohon. “Mau ke mana ini?” tanya Pak supir taksi. “Restoran Bulan Bintang,” jawab kami bersama-sama. Spontan kami saling memandang, hening sejenak. “Lho, ke alamat yang sama. Sudah bareng saja,” tandas Pak Supir yang kemungkinan berpihak kepadaku. “Tuh, Pak. Kata Pak Supir bareng saja.” Oh, enaknya menjadi wanita cantik. Supir taksi saja ramah padaku, kecuali lelaki ini yang duduk di sampingku. Dia adalah Pak Alvin Sandjaya---dosen baru yang masuk ke kampusku baru seumur jagung. Entah kenapa hanya ke aku Pak Alvin sikapnya dingin dan datar seperti es balok? Pak Alvin berdeham. Tuh ‘kan dia tak bisa berkomentar. Aku adalah pemenangnya malam ini. Aku menyunggingkan senyum simpul dan melihat jalanan malam yang tampak gedung-gedung tinggi berjajar. Jalanan tak pernah sepi. Kendaraan selalu ada memadati. Bahkan, di pinggir jalan masih banyak orang-orang yang berjalan seperti lautan manusia di trotoar. Ini adalah kota Jakarta. Pusat mengais rezeki dan orang-orang dari kampung datang berbondong-bondong ke Jakarta untuk memperbaiki hidup. Begitupun aku dari Bandung datang ke Jakarta bekerja sambil kuliah di bidang seni. Sepanjang perjalanan kami diam seribu bahasa. Benar-benar diam tak ada yang mau membuka pembicaraan. Hening. AC mobil seperti mengusap-usap kelopak mataku. Efek kebanyakan bergadang dengerin radio cari jodoh. Aku pun menguap. Ternyata duduk di samping orang tampan tak asyik seperti duduk dekat patung. Alhasil aku pun mengantuk. Berat sekali kepalaku ingin mencari sandaran. Lumayan curi waktu dulu untuk tidur sebentar sebelum bertemu dengan seseorang. “Pak, pinjam bahunya,” pintaku. Langsung kutaruh kepalaku di bahu Pak Alvin. “Eh, apa ini?” Kudengar dia protes. Namun, aku tak mengindahkan celotehannya yang lambat-laun menjauh dari pendengaranku. Aku terpejam pulas. “Arabellaa, bangun!” “Hemm,” jawabku setengah sadar. “Kamu kira bahu saya itu bantal?!” sentak Pak Alvin. Apa? Aku mendengar suara dosen tampan dekat sekali di telingaku. Aku terkesiap dan mengerjap-ngerjap sembari mendongak. Ya sallaamm, wajah Pak Alvin berubah warna hijau dan tubuhnya seperti Hulk. Spontan aku teriak histeris sekencang-kencangnya. “Argh!” Tangan lelaki itu langsung membungkam mulutku. “Kamu kenapa? Memangnya saya setan,” bantahnya. Kesadaranku belum terkumpul. Aku berusaha mengumpulkan data-data memoriku kenapa aku bisa ada di dalam mobil taksi berdua dengan Pak Alvin? Setelah sepenuhnya sadar. Aku pun beringsut dan nyengir kuda sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal. Itu hanya sekadar untuk menilimisir perasaan malu. Bisa-bisanya aku yang bisa bermimpi bertemu dengan Hulk dan terbawa ke alam nyata penglihatanku. Aku harus salahkan siapa? Mata ini yang salah melihat atau aku harus salahkan Hulk yang hadir di mimpi. “Maaf, Pak,” ucapku mengeluarkan ajian asih memasang wajah semanis mungkin dengan bibir yang kugigit bagian bawahnya. “Kita sudah sampai,” sahutnya singkat, jelas, dan padat. “Oh, terima kasih, Pak,” balasku. Namun, tiba-tiba saat aku hendak turun dari mobil. Lenganku dicekal oleh Pak Alvin. “Kamu mau ke mana?” bisiknya mendekatkan bibirnya ke daun telingaku. Lalu tangannya melingkar di pinggangku. Ya Tuhan, tubuhku merinding sampai ke bulu hidung ikut berdiri. Hangat sampai menerpa tengkuk dari tiupan napasnya, itu yang kurasa saat ini. Apalagi Aroma parfumnya menguar seolah membangkitkan gairah. “Kenapa, Pak?” desahku renyah seperti kerupuk udang. “Jangan sekarang Pak Alvin. Aku belum siap,” cerocosku asal. Memang dasarnya lidah tak bertulang. Kalau ngomong tak ada saringan. “Bersihkan dulu ilermu di baju saya,” hardik Pak Alvin. Aku terbelalak dan terlonjak. Spontan melihat pulau yang kubuat tanpa kusadari. “Kok, bisa?” cetusku menaikkan sebelah alisku. Kulihat Pak Alvin juga menaikkan sebelah alis kanannya. Bahkan, lebih menukik tajam seperti pisau yang baru diasah. Sorot matanya pun tajam. Matanya memang sipit, tetapi mampu membuat jantungku tak terkontrol kala melihat tatapan matanya. “Bersihkan,” titahnya. “Baik,” balasku singkat. Kulirik ada botol air mineral teronggok di kursi. Oh, itu botol air minumku. Langsung aku ambil botol mineral dan kusiram ke bahu Pak Alvin seperti air terjun turun. “Arabellaaaaaa, menyebalkan sekali!” makinya. “Ups, sorry. Pak dosen tampan.” Aku balik badan dan berlari terbirit-b***t dan masuk ke dalam restoran bulan dan bintang. Namaku Arabella Purnamasari, 29 tahun. Masih jomlo. Kesepian dan sedang mencari pangeran tampan. Didesak menikah sama keluarga. Tak aku pungkiri bahwa menjadi jomlo itu sangat kesepian. Teman sebayaku sudah menikah. Heran aku pun, padahal aku cantik seperti Syahrini. Dewi jodoh belum berpihak kepadaku. Apakah aku harus menyogok Dewi jodoh agar aku dapat jodoh? Aku berjalan gontai dan mengedarkan pandangan mencari pangeran tampanku yang kukenal dari radio siaran biro jodoh di Bahana 101.8 FM. Iseng-iseng berhadiah aku mengirim pesan ke acara biro jodoh itu seakan memberikan kode kalau aku single, butuh pendamping hidup, lalu kusematkan nomor ponsel. Tak berselang lama seperti sedang memancing, umpan termakan ikan. Aku pun mendapatkan nomor telepon pangeran. Akhirnya, cocok dan saling bertukar kabar berkomunikasi. “Arabella.” Ada seseorang yang memanggilku. Sontak aku menoleh dan tampak di belakangku lelaki berhidung bangir melempar senyum. “Kamu Arabella?” tanyanya. Tentu saja aku langsung mengangguk-angguk semangat. Tak lupa mengeluarkan jurus manisku sembari mengulum senyum simpul. “Iya, aku Arabella,” jawabku. “Tepat, kamu benar memakai baju yang saya kirim.” “Fahri?” Aku terpekik hampir tak percaya bahwa lelaki yang ada di depanku sungguh tampan sebelas dua belas sama dengan Pak Alvin. “Ayo, ikut saya!” Fahri menuntunku. Jantungku sudah tak normal lagi. Bertalu-talu melodikan lagu cinta pandangan pertama. Lebih tepatnya aku terpesona dengan sikap Fahri malam ini saat dia mempersilakan aku duduk sungguh sangat manis. Kursi digeser dan menunggu aku duduk, lantas dia pun duduk seraya mengulum senyum. “Kamu cantik.” “Masa sih? Terima kasih,” balasku merona pipi ini. Andaikan ada cermin di depan, mungkin aku sudah bercermin melihat kepiting rebus di cermin. Kulihat Fahri celingak-celinguk. Lelaki itu berdiri bergeming dan melambaikan tangan. “Kamu panggil siapa?” tanyaku. “Kakak saya.” “Kakak? Ini pertemuan kopi darat kita pertama,” protesku sembari mengerucutkan bibir. “Saya serius ke kamu. Makanya saya harus perkenalkanmu pada Kakak saya,” timpal Fahri. Lalu aku menoleh ke belakang. Ini benar-benar seakan bola mataku menggelinding jatuh ke lantai saking terkejutnya. Ya Tuhan ... dunia sempit sekali. Kenapa harus dia yang menjadi kakaknya Fahri?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook