"Bella, jawab."
"Bisa tolong beri saya waktu, Bu. Ini benar-benar membuat saya kaget."
"Berapa hari?" tanya Ibu mertuaku dengan tatapan nanar.
"Seminggu, Bu," sahutku tegas dan melirik ke arah Pak Alvin yang sedari tadi diam saja tidak melontarkan kata-kata lagi.
"Bagaimana, Vin? Mau nunggu dulu."
Aku sedikit tercengang saat melihat dan mendengar ucapan Ibunya Fahri.
Pak Alvin yang tepat berhadapan denganku mengangguk pelan seraya menjawab, "Beri waktu aja, Bu. Dia ingin seperti itu 'kan?
"Baiklah, kalau gitu. Kami menunggu jawaban dari kamu seminggu lagi datang ke sini," tandas Ibu mertuaku.
Perasaanku bergejolak hebat saat mencerna penuturan Ibu Fahri. Aku melirik ke arah Marini dan Adiba. "Bu, aku nggak enak badan. Pusing, nih." Alasanku sambil berdiri dan aku terus gontai berjalan lebar tanpa melihat ke belakang lagi.
Aku masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhku. Kutatap lamat-lamat langit-langit kamar yang berwarna putih. Terdengar derit pintu yang sontak membuatku terlonjak duduk.
"Kamu terima aja, Pak Alvin," celetuk Adiba.
"Eh, kok. Ngasih saran kayak gitu?" protesku sambil melipat kedua tanganku dan memonyongkan bibir.
Kulihat Adiba dan Marini masuk ke kamar dan mereka mengulum senyum tipis. Lalu, duduk di sampingku bahkan tangan Marini meraba dahiku.
"Nggak panas tubuhmu? Alasan doang, pasti. Kenapa nggak langsung jawab aja biar nggak jadi Jodi?"
Bisa-bisanya Marini ngomong seperti itu. Aku pasang wajah datar tanpa ekspresi.
"Bella, terima aja. Pak Alvin!"
"Kalian ini kenapa? Kok, jadi suruh aku terima laki-laki itu. Jelas lho, Pak Alvin itu nggak punya nilai positif di mataku. Udah playboy, galak, terus suka bilangin aku Miss kentut juga. Ditambah dia ngehinaku kutilang. Ah, komplit banget 'kan dia ngatainku," kelitku.
"Bella, sini!" Marini langsung tarik tanganku sampai kami berdiri di depan cermin rias. Menampilkan lekuk tubuh kami. Lantas Marini kembali melanjutkan ucapannya, "Noh, lihat tubuhmu ini. Pak Alvin ngomong sesuai fakta. Terus nyebut kamu Miss kentut. Memang kamu itu nama panggung di kampus Miss kentut? Lalu apa yang harus disanggah, Bellaaaa."
Aku membisu sejenak mencerna ucapan sahabatku seraya menatap nanar lekuk tubuhku yang memang kurus dan tinggi. Padahal hobiku makan, tapi kenapa berat badan tidak bertambah?
"Bella, pikirin baik-baik. Daripada kamu jadi Jodi."
"Jomlo ditinggal mati. Terus dengan kebiasaan kamu tukang kentut, mana ada cowok yang mau ke kamu?"
"Eh, kenapa bawa kentut, sih?" sanggahku sembari memutar bola mata sebal.
"Karena kentut itu udah jadi kebiasaanmu."
Kata Marini membuatku tertegun dan aku gontai berjalan sambil duduk di tepi ranjang. Kulihat Adiba yang hanya terkekeh kecil melihat aku dan Marini berdebat.
"Mendingan kalian pulang, gih! Daripada nanti aku kasih bom alami yang lebih dahsyat."
"Dasar Miss kentut!" dumel Marini.
Lantas dua sahabatku itu langsung merengkuh erat tubuhku. Lalu kamu mengurai pelukan.
"Bella, kami pulang dulu. Ingat kataku, pikirkan ini baik-baik. Pak Alvin, nggak jahat."
"Iya, bawel!"
Kemudian aku mengantar dua sahabatku ini sampai ke pintu kamar. Sayup-sayup kudengar suara Ibu mertua dan Pak Alvin juga ikut berpamitan pulang. Oh, rupanya pulang juga. Akhirnya, aku bisa menghela napas lega. Kulihat Adiba dan Marini menuruni anak tangga dan menghilang dari pandanganku.
Aku pun kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamar dengan rapat dengan segala dilema perasaan yang berkecamuk menjadi satu. Kalau aku seorang diri dan hanya berteman sepi dan angin malam, kucoba merenungi tentang jalan hidupku yang seperti ini.
Hatiku selalu bertanya, adakah kasih suci dalam cinta untukku? Apakah aku akan menemukan sosok Fahri di dalam diri kakaknya? Kutatap seberkas cahaya terang lampu di kamarku seperti menyinari gelapnya hatiku dalam menyelisik kehidupanku. Apakah aku harus naik ranjang?
Malam harinya, kugelar sajadah panjang. Aku mendekati diri pada penciptaku. Aku keluh kesah dan kulangitkan doa permintaan agar aku tak salah memilih. Tak terasa air mataku selalu saja mengalir deras saat aku menceritakan tentang kisah hidupku yang seperti ini. Aku tidak mau menjadi janda dan aku pun tidak mau naik ranjang seolah tidak ada pria lain lagi di muka bumi ini.
Aku bersujud dalam isak tangis dan aku sebutkan nama Fahri dari mulutku. Doaku untuk suamiku. Tiba-tiba aku merasakan ada sebuah tangan yang mendarat di pundakku.
Lantas aku pun mengangkat wajahku. Wajah Ibu ada di depanku. "Bella, kamu kenapa?"
"Ibu." Langsung aku merangkul tubuh Ibu yang juga masih memakai mukena. Aku tenggelamkan kepalaku di pangkuan Ibu.
"Bella, sudahi sedihmu. Semoga aja kamu mengambil pilihan yang tepat."
Kami dua janda yang berbeda usia. Di dalam sepertiga malam, aku kerap memergoki Ibu tengah salat di kamar kalau aku tidak bisa tidur dan mengintip diam-diam ke kamar Ibu. Niat hati ingin tidur di tempat Ibu, aku justru kagum dengan cara Ibu mendekati diri pada sang pencipta. Berdoa di sepertiga malam.
"Iya, Bu." Aku menjawab serak. Kemudian aku mengurai pelukan. "Bu, kenapa belum tidur?"
"Ibu sudah tidur. Tapi, mau lihat kamu dulu. Kamu udah minum obat 'kan?"
"Ibu udah salat?" tanyaku seraya menatap wajah teduh Ibu.
Tanpa menjawab Ibu hanya mengangguk pelan. Kami pun saling melempar senyum. Lalu Ibu pamit kembali ke dalam kamarnya.
*
Esok harinya, ini hari pertama aku kembali menginjakkan kaki di kampus pasca kematian Fahri. Aku berjalan gontai sambil memeluk buku tebal. Rasanya malas untuk belajar, tetapi aku ingat kata-kata Ibu yang selalu menjadi semangatku.
Berhubung gas alamku keluar sedari tadi saat aku berjalan. Lalu, aku pun berjalan lebar ke arah toilet. Jangan ditanya lagi kalau aku seperti ini? Pasti akibat makan sambal super pedas buatan Ibuku. Dia memang jago buat lidahku bergoyang makan dengan lahapnya. Namun sayangnya, aku harus bergandengan tangan dengan kentut kalau setelah makan sambal level lima puluh, dengan terburu-buru aku langsung masuk ke toilet.
Saat ke toilet. Sayup-sayup kudengar ada suara yang aneh yang asing di telingaku.
Kulirik jam yang melingkar di tanganku, memang baru pukul delapan pagi. Kudengar suara pria dari salah satu pintu kamar mandi tersebut.
Langsung aku ketuk pintu kamar mandi itu. "Buka, siapa, sih?! Masih pagi, nih. Aku laporin kalau ada yang pacaran di dalam kamar mandi."
Aku pastikan lagi kalau yang aku masuk adalah toilet perempuan. Langsung aku keluar dan mendongak ke atas. Gambar perempuan, tetapi kenapa aku mendengar ada suara pria di salah satu kamar mandi? Di sana hanya ada dua kamar mandi dan sialnya, dua kamar itu tertutup ada orang di dalam.
Mau tidak mau. Aku pun berdiri di depan cermin besar sambil memegangi perut. Sampai salah satu pintu kamar mandi itu terbuka dan pandangan kami berserobok.
"Pak Alvin, ngapain di sini?" celetukku terbelalak.
"Sorry, tadi kamar mandi laki-laki penuh."
"Masa?" Aku curiga dengan apa yang ada di dalam kamar mandi itu. Langsung aku dekati rupanya ada seorang wanita sambil mengancingkan atasan bajunya.
Sontak aku beringsut mundur dan menatap nyalang pada Pak Alvin. "Ngapain kalian di dalam?"
"Nggak ngapa-ngapain," jawabnya singkat lalu beranjak begitu saja saat kulihati dari ujung kaki sampai ujung kepala. Namun, penampilan Pak Alvin rapi tidak berantakan.
"Hai, Pak Alvin meesumm." Aku pun mau mengekori, tetapi perutku sudah tidak bisa diajak berbicara lagi. Kemudian aku balik badan dan berpapasan dengan wanita cantik yang kupergoki. Wanita ini dosen paling cantik di sini.
"Pagi Bella," sapanya.
"Pagi, Bu." Lalu aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mendongkol sekali saat melihat Pak Alvin di dalam kamar mandi bersama wanita. Ah, pria itu benar-benar tidak bisa dipegang ucapannya. Dasar playboy cap gajah duduk.
Setelah selesai urusan dengan panggilan alam. Aku keluar dari toilet sembari menghela napas lega dan tiba-tiba ada tangan yang menutup kedua mataku dari belakang. "Hai, siapa ini?! Mau apa?" dumelku sembari melawan berontak, kusikut perutnya.