Semenjak hari ini, Stella sudah tidak diperbolehkan oleh Litina untuk bekerja. Alasan Mama Alex itu -- calon mertua Stella -- bahwa sebentar lagi adalah hari pernikahannya dengan Alex. Stella harus tetap berada di rumah hingga pernikahan selesai. Kembali Stella sadar akan posisinya, jadi ia hanya menuruti semua perkataan keluarga Alex.
Segelas coklat panas menemaninya pagi hari ini. Stella benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan selama di rumah. Biasanya ia -- bahkan saat weekend -- tetap bekerja.
Setelah memikirkan apa yang akan dilakukannya seharian ini, akhirnya Stella memilih untuk mengunjungi taman. Di sana, terdapat beberapa anak yang tampaknya belum sekolah, bermain menghabiskan waktu bersama teman sebayanya. Dan di sisi lain, orang tua mereka berkumpul dan entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya itu hal yang seru. Stella berpikir, apakah masa kecilnya dulu seperti ini? Apa ia bermain bersama teman sebayanya di taman? Apa ibunya juga sering berkumpul dengan orang tua lain, sekedar untuk saling bertukar cerita tentang perkembangan anak mereka?
Saat memikirkan semua itu, seseorang datang menghampirinya dan mengejutkan Stella. Ternyata Calvin, yang entah datangnya dari mana -- Stella tidak peduli. Apalagi saat pria itu duduk di sampingnya.
"Kau tidak bekerja?" tanya Calvin memecahkan keheningan yang selama beberapa menit terjadi di antara mereka.
"Aku mengambil cuti."
Suasana kembali hening. Mereka terdiam dan sama-sama menumpukan pandangan pada segerombol anak kecil yang sedang bermain itu.
"Aku selalu ingin kembali ke masa kecil." suara Calvin memecah keheningan.
"Aku tidak," balas Stella tiba-tiba, membuat Calvin terperangah.
"Kenapa?" tanya Calvin merasa tertarik.
"Karena masa kecilku terlalu menyakitkan," jawab Stella tidak sadar. Dan kembali lagi, keheningan menyelimuti mereka.
"Stella!" panggil Calvin. Ia memang telah mengetahui nama wanita itu.
"Ya?" jawab Stella.
"Mari berteman!" Calvin menawarkan pertemanan di antara mereka. Stella yang awalnya tidak mengerti maksud pria itu, akhirnya menerima tawaran tersebut. Sebab menurut Stella, jika masa kecilnya ia tidak memiliki teman, maka setidaknya di masa sekarang ini, biarkan ia memiliki teman untuk berbagi keluh kesahnya.
Dan itu menjadi awal Calvin dan Stella menjadi teman dekat. Mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan mereka. Dari sanalah Stella mengetahui bagaimana kehidupan pria itu.
Calvin Greyson adalah putra tunggal dari seorang taipan, William Greyson. Tentunya, Stella tahu siapa itu Greyson. Taipan yang tidak jauh beda kekayaannya dengan keluarga Edward. Namun, kehidupan yang dijalani Calvin berbeda dengan Alex. Jika Alex tumbuh dalam keluarga penuh cinta, maka Calvin tumbuh dengan cinta palsu kedua orang tuanya.
Bukan, bukan berarti kedua orang tuanya tidak mencintai Calvin. Mereka mencintai Calvin, hanya saja Ibu dan Ayahnya tidak saling mencintai. Calvin mengetahui itu semua saat ia remaja. Ibu dan ayahnya menikah karena pada saat itu, ibunya tengah mengandung dirinya. Hidupnya hampir kacau ketika mengetahui bahwa cinta yang ditunjukkan orang tuanya di hadapannya hanya kepura-puraan. Dan ditambah lagi, tidak berapa lama ibunya meninggal dunia dengan menitipkan sebuah wasiat, menyuruh Calvin untuk menemukan wanita yang dicintai ayahnya.
Dari cerita itu, Stella bisa menyimpulkan bahwa ibu Calvin adalah wanita yang sabar. Buktinya, wanita itu dapat bertahan dengan cinta palsu suaminya. Percayalah, tidak ada yang mudah dalam menjalani kehidupan ini, ada masa ketika kau berada di atas dan ada masa kau akan berada di bawah, bahkan paling bawah.
*****
Kalian tahu bagaimana rasanya menikah? Bahagia atau sedih? Stella tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Bahagiakah atau justru sebaliknya.
Benar. Hari ini ia akan menikah dan segera menjadi bagian dari keluarga Edward. Sebuah pernikahan yang seharusnya terjadi sekali dalam seumur hidup, menjadi tanda tanya besar untuk Stella. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bila suatu masa nanti Alex mulai merasa bosan dengannya, Stella harus menerimanya jika pria itu menceraikannya. Entah apa yang Stella rasakan, namun tiba-tiba bulir bening mengalir di pipinya. Dengan cepat Stella mengusapnya. Apakah itu tangisan bahagia? Atau sebaliknya?
Stella pasrah saat wajahnya dirias oleh MUA pilihan. Pintu ruangannya terbuka dengan kasar dan menampakkan seorang wanita yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi marah. Stella sudah menduga hal ini akan terjadi. Apalagi saat wanita itu meneriakkan namanya. Stella hanya bisa mengatakan maaf berulang kali.
"Kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau akan menikah? Dan membuatku mendengarnya dari orang lain? Apa aku hanya sebatas teman biasa bagimu?" berondong Karen.
Stella segera menggeleng cepat.
"Bukan seperti itu, Karen. Aku -- hanya bingung harus memulainya dari mana. Lagi pula ini pernikahan tertutup dan diam-diam. Maafkan aku!" ujar Stella dengan sendu.
"Seharusnya kau tetap mengatakannya padaku," balas Karen. Kembali lembut, menyadari mungkin perkataannya telah menyakiti Stella.
"Maaf."
Hanya kata itu yang mampu Stella ucapkan sedari tadi. Sebenarnya, dia sedikit bahagia atas kehadiran Karen dan Max. Setidaknya beberapa orang penting dalam hidupnya berada di sini.
"Kau sudah tahu dari Max, bukan?" tanya Stella, setelah tersadar akan sesuatu.
"Semua aman!" jawab Karen sambil tersenyum manis.
"Nona, pernikahan akan segera dimulai."
Dalam hitungan beberapa menit lagi, hidup Stella akan berubah.
*****
Stella segera berjalan menuju altar, di atas sana sudah menunggu Alex yang menggunakan tuxedo putih dengan aksen hitam di bagian kerahnya. Gugup bukan main memang saat kau menghadapi pernikahanmu, begitu pula dengan Stella, meski ini adalah pernikahan terpaksa.
Ketika tiba di depan altar, Alex menggandeng tangan Stella untuk berdiri di sampingnya. Mereka akan mengucapkan sebuah janji.
"Saudara Alexander Edward, apakah engkau menerima saudari Stella Caelan sebagai istri dan berjanji akan setia dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun senang, dalam untung maupun malang, dan akan menjaga, melindungi, menghargainya sampai maut memisahkan?"
"Saya, Alexander Edward, menerima engkau, Stella Caelan sebagai istri saya dan berjanji akan setia dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun senang, dalam untung maupun malang, dan akan menjagamu, melindungimu, menghargaimu sampai maut memisahkan," ucap Alex dengan lancar.
"Saudari, Stella Caelan, apakah engkau menerima saudari Alexander Edward sebagai suami dan berjanji akan setia dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun senang, dalam untung maupun malang, dan akan menjaga, melindungi, dan menghargainya sampai maut memisahkan?"
"Saya, Stella Caelan, menerima engkau, Alexander Edward sebagai suami saya dan berjanji akan setia dalam suka maupun duka, dalam sedih maupun senang, dalam untung maupun malang, dan akan menjagamu, melindungimu, menghargaimu sampai maut memisahkan." Giliran Stella yang mengucapkan janji suci.
Riuh tepuk tangan memenuhi suasana ballroom hotel bintang enam milik Edward, setelah kedua insan mengucapkan janji suci mereka.
Alex segera menyematkan cincin cantik bermata berlian ke jari manis nan lentik sang mempelai wanita, begitu juga sebaliknya Stella menyematkan cincin pernikahannya pada Alex.
"Sekarang kalian telah resmi menjadi sepasang suami istri, silakan Anda mencium istri Anda," instruksi sang pastur kepada Alex, agar ia mencium Stella.
My God!
Apa? Cium? Istri? Aku? Ya, Tuhan. batin Stella.
Tidak menunggu lama, Alex pun mencium Stella. Stella menjadi kaku di tempatnya, bahkan. Alex pun merasakan ketegangan Stella.
Apa ini first kiss-nya?
First kiss-ku ... astaga, batin Stella.
Saat Alex melepaskan ciumannya, suara riuh tepuk tangan kembali terdengar.
"First kiss, huh?" bisik Alex yang hanya dapat didengar oleh Stella.
Stella melirik sekilas pada Alex yang berdiri di sampingnya.
Alex yang melihat Stella merona malu menjadi senang melihatnya. Hei, Alex masih pria normal, bagaimana bisa dia tidak suka dengan istrinya yang cantik dan sekarang sedang merona malu di hadapannya, meski ia tak mencintainya.
?????