PART 1
Suasana jam makan siang di 'Edward Corp' cukup ramai. Banyak para karyawan yang tergesa-gesa menuju kantin atau tempat makan terdekat. Karena percayalah, jam makan siang adalah kesempatan bagi mereka para pekerja untuk melepaskan diri dari tugas sejenak.
Berbeda dengan gadis cantik yang lebih memilih berkutat dengan segala pekerjaan yang seakan mencekiknya. Matanya terfokus pada layar komputer di depannya.
"Mau makan sekarang atau kita jangan bertegur sapa?" tawar wanita itu pada gadis yang masih fokus pada pekerjaannya.
"Tapi aku sangat sibuk, Karen."
"Baiklah. Jangan menegurku selama beberapa hari!" ucap wanita itu dan berlalu dari meja temannya.
Melihat itu, gadis tersebut segera merapikan mejanya dan mengejar temannya.
"Baiklah. Hanya sebentar!" ujarnya menyerah.
Karen tersenyum karena merasa menang. Karena seorang Stella Caelan adalah gadis paling keras kepala yang pernah ia temui.
Karen dan Stella memang telah berteman sejak masa kuliah. Bahkan mereka sudah merencanakan untuk bekerja di 'Edward Corp' bersama.
Saat menunggu lift terbuka untuk menuju kantin perusahaan, lift khusus petinggi terbuka dan menampakkan beberapa petinggi perusahaan, termasuk sang CEO.
Semua karyawan yang melihat, menunduk hormat pada sang pemilik perusahaan. Begitu pula dengan Stella dan Karen. Namun semua itu tak dipedulikan oleh sang CEO.
"CEO kita adalah orang yang paling dingin yang pernah kutemui. Seakan dia tidak tersentuh!" bisik Karen saat dirasa sang CEO telah bergerak menjauh.
"Aku tidak peduli. Ayolah, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!" ucap Stella dan mereka pun bergerak memasuki lift yang terbuka.
Alexander Edward, seseorang yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan karyawannya sendiri, masih dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh salah seorang gadis. Stella.
Ia menyeringai menyadari bahwa ada karyawannya yang tidak peduli pada CEO-nya sendiri. Pasalnya tidak ada satu pun wanita yang tidak peduli padanya. Bahkan negara ini pun tahu siapa Alexander Edward. Entah mengapa Alex merasa suatu saat nanti, gadis itu, yang mengatakan bahwa dia tidak peduli pada seorang Alexander, akan menjadi orang yang paling peduli.
*****
Tepat tengah malam, Stella baru menyelesaikan pekerjaannya. Karena jika ia tidak lembur, maka ia yakin akan terjadi masalah keesokan harinya. Apalagi berkas yang ia kerjakan harus diberikan kepada atasannya untuk besok.
Saat berjalan di lobby, ponselnya berbunyi menunjukkan nama Karen yang terpampang di layar ponselnya. Segera Stella menjawab panggilan tersebut.
"Stella, kau di mana?" cecar Karen terlebih dahulu bahkan sebelum Stella sempat menjawabnya.
"Lobby kantor!" balas Stella singkat.
"Kau masih di kantor?" teriak Karen di seberang sana dan dengan cepat Stella menjauhkan ponselnya.
"Telingaku bisa sakit kalau begini!" kata Stella pada Karen. Kesal.
Seakan tidak peduli pada kekesalan Stella, wanita itu kembali merepet.
"Kau harus segera pulang, aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu dan jika alasanmu bekerja keras karena hutangmu ---"
"Aku menyukai pekerjaanku, Karen. Dan baik, aku akan segera pulang," potong Stella dengan cepat saat tahu apa yang akan dikatakan temannya itu.
"Baiklah. Sampai jumpa," balas Karen mengakhiri sambungan telepon.
Stella menghela napasnya. Mungkin ia harus meminta maaf pada Karen besok.
Saat menunggu taksi di depan perusahaan, ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda adanya taksi yang lewat. Akhirnya ia memilih berjalan menjauh dari kantor, karena mungkin ia bisa menemukan taksi di sana.
Saat berjalan, seorang pria bertubuh besar berjalan mendekat. Awalnya Stella merasa biasa saja. Namun sewaktu pria itu mengatakan suatu hal padanya, saat itulah Stella harus merasa siaga.
"Berikan tasmu, Nona!" ucap pria itu.
Stella bergeming.
"Jangan membuatku bermain kasar, Nona!" ujar pria itu lagi dan kini mulai mencengkeram pergelangan tangan Stella dan bisa dipastikan itu akan meninggalkan bekas.
"Jangan! Lepaskan!!" teriak Stella berusaha menutupi rasa takutnya pada pria di hadapannya. Ia pun berusaha untuk melepaskan diri dari pria itu.
Bugh.
Seketika pria itu jatuh tersungkur dan cengkeramannya pada Stella terlepas. Terjadi baku hantam antara pencopet dan pria yang menolongnya.
"Alexander Edward!" bisik Alex pada pencopet itu.
Mendengar nama itu, entah bagaimana pencopet itu memilih berlari menjauh dan meninggalkan mangsanya.
Stella tidak peduli pada apa yang ada di hadapannya, ia terisak dan menunduk ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat. Alex yang menyadari itu, mendekat dan berujar. "Kau baik-baik saja, Nona?" tanya Alex.
Alih-alih menjawab, Stella bergerak memberikan sapu tangannya pada Alex.
"Terima kasih!" ujarnya dan berlalu begitu saja, memberhentikan taksi dan memasukinya.
Alex menaikkan salah satu alisnya melihat itu. Ia memang sedikit terluka di bagian bibir, tapi itu bukanlah masalah. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa turun dan menyelamatkan gadis itu.
Ia hanya secara spontan dan melihat pakaian yang dikenakan gadis itu. Sepertinya ia mengenalnya.
Peduli setan. Alex bergerak masuk mobilnya kembali.
*****
Sesampainya di rumah, Stella langsung menuju dapur dan meneguk habis air di gelas yang ia siapkan, tubuhnya masih bergetar. Ini semua karena traumanya, padahal Stella berusaha menahan ketakutannya dan ternyata itu sia-sia saja.
Ketika sudah merasa tenang, ia segera mandi dan tidur, karena Stella berencana mengunjungi rumah sakit esok pagi. Sepanjang malam, Stella berpikir siapa pria yang telah menolongnya?
Sementara itu di kediaman Edward.
"Astaga, apa yang terjadi denganmu?" pertanyaan spontan yang keluar dari bibir Aliya saat melihat kondisi Alex.
"Membantu seorang gadis!" jawab Alex malas-malasan dan berlalu dari sana menghindari pertanyaan lain yang ia yakin akan segera keluar dari bibir adiknya itu.
Aliya yang mendengar itu, mengangkat salah satu alisnya heran.
Gadis, heh?
Dia yakin itu bukan Jessica, jadi jika bukan wanita ular itu, maka ada seorang gadis lain yang sepertinya membuat kakaknya tertarik. Ia tersenyum miring saat berbagai pemikiran masuk ke kepalanya.
Ini akan menjadi hal mudah jika Mama yang turun tangan.