Stella tiba di rumah pukul tujuh malam, sekarang ia benar-benar merasakan. pipinya memanas sejak tadi. Dan ini gila, tidak seharusnya hal ini terjadi, karena kekonyolannya, ia jadi malu sekarang.
"Kamu baru pulang? Seharian aku mengkhawatirkanmu," ujar Karen yang ternyata masih berada di rumah Stella, menunggunya pulang.
"Eh? I-iya, aku sudah menulis note untukmu tadi."
"Kamu kenapa?" tanya Karen, menyadari kegugupan Stella.
"Aku tidak apa-apa." jawab Stella, masih duduk di ruang tamu.
"Tapi wajahmu memerah." Karen menyipitkan matanya sambil menatap Stella dengan curiga.
Mendengar perkataan Karen, Stella langsung beranjak dari sofa seraya menutupi wajah dengan tangannya dan berjalan ke kamar.
Stella benar-benar merasa malu, ibarat pencuri yang ketahuan. Pertama, ia malu dengan kejadian di apartemen Alex tadi pagi, dan sekarang, ia ketahuan oleh Karen sedang merona. Seandainya tadi -- sewaktu ia masih di apartemen Alex -- ia tidak bertingkah konyol, tentu ini semua tidak akan terjadi.
Flashback On
Saat Stella baru saja selesai menyiapkan masakannya, terdengar suara derap langkah mendekat ke arahnya. Stella seketika terpana melihat penampakan di depannya. Alex mendekat dengan rambut basah seperti baru selesai mandi,.mengenakan kaos polo putih yang agak ketat sehingga dengan jelas mencetak otot-ototnya..
Terlalu berlebihan mungkin jika ia mengatakan bahwa ini pengalaman pertama kali baginya, tapi mengingat Stella memang tidak memiliki banyak teman, apalagi teman lelaki, bahkan belum pernah menjalin hubungan intim dengan pria mana pun, jadi ini bisa dimaklumi.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Alex yang langsung duduk di kursi di hadapan Stella.
"Eh ... ti-tidak." jawab Stella terbata, merasa tertangkap basah sedang mengagumi penampilan Alex pagi ini, yang terlihat sangat ... sexy. Stella merasakan pipinya memanas.
Alex tersenyum geli melihat wajah Stella yang memerah seperti tomat. Dan tanpa peduli dengan Stella yang merona, Alex langsung menyantap makanan di hadapannya dengan lahap. Sudah sejak tadi perutnya bersorak minta diisi.
Flashback Off.
Drrtt ... drrtt ....
Dering ponsel Stelan membuyarkan lamunannya.
"Halo."
"Kau tidak lupa dengan uang yang kuminta, kan?" Ternyata Josh
"Tidak. Kau bisa datang ke rumah sakit besok dan aku juga meminta yang kuinginkan." kata Stella.
"Good. Kau memang dapat diandalkan, aku akan datang jam empat pagi dan aku tidak ingin kau terlambat."
Setelah mengucapkan ancamannya Josh memutuskan sambungan telepon.
Kenapa pagi sekali? batin Stella.
*****
Seperti yang dikatakan Josh, Stella datang tepat waktu. Awalnya Karen khawatir saat ia mengatakan bahwa pagi-pagi sekali ia akan pergi ke rumah sakit. Tapi Stella berhasil meyakinkan Karen. Saat membuka kamar inap ibunya, Stella tidak terkejut saat menemukan Josh sudah berada di dalam.
"Ini!" Stella menyodorkan selembar cek kepada Josh.
"Aku tidak menyangka kau akan mendapatkan uang sebanyak ini dalam waktu singkat." kata Josh terkesan. Stella diam tak mengacuhkan ucapan pria itu dan berkata, "Berikan suratnya.".
Josh memberikan sebuah map yang berisi surat cerai yang seharusnya sudah ia tanda tangani sejak lima tahun lalu. Setelah mengecek isi map tersebut, Stella kembali berucap, "Kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kami lagi, aku harap itu bukan janji palsu." Stella kembali mengingatkan janji Josh.
"Tentu. Aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji dan jaga dirimu baik-baik," balas Josh seraya mengelus lembut rambut Stella. Ia berjalan keluar dari ruang inap, sebelum menoleh dan menatap kembali kedua wanita yang pernah mengisi harinya. Josh tersenyum tipis saat ia mengingat sebuah memori tentang kebersamaan mereka.
"Selamat tinggal."
Dan pria itu pergi. Stella diam termenung mengingat kembali sikap manis Josh padanya barusan. Entah mengapa, sepercik rasa sedih menghampirinya. Josh memang bukan ayah idaman, tapi salahkah ia menangisi kepergian seseorang yang pernah berperan sebagai ayahnya? Setidaknya kehadiran Josh mampu mengurangi cemoohan orang sekitar padanya dan ibunya.
*****
Hari itu, Stella benar-benar merasa sedikit beban yang ia tanggung terangkat, meski tidak seluruhnya. Bahkan Karen menyadari perubahan Stella, tapi ia tidak ingin banyak bertanya dan membiarkannya saja. Kini mereka berdua tengah berada di salah satu cafe terdekat dari kantor untuk menghabiskan jam makan siang. Mereka tertawa bersama melupakan sejenak semua hal yang telah terjadi.
"Karen, aku ke toilet dulu," pamit Stella.
"Jangan terlalu lama, aku tidak suka sendirian," sahut Karin sebelum Stella benar-benar pergi.
Saat keluar dari toilet, Stella melihat Karen sedang memandang ke arah lain dengan tatapan sedih, marah, dan kecewa. Stella mengikuti arah pandangan Karen.
Kemudian Stella berjalan menuju sebuah meja, tapi bukan mejanya dengan Karen, melainkan meja yang dipandang Karen sejak tadi.
Brak.
Seketika para pengunjung cafe -- yang siang itu tidak terlalu ramai dan rata-rata wanita -- menoleh ke asal suara.
"Stella?"
Seorang pria yang berada di meja yang digebrak Stella itu, tampak terkejut sekali melihat kedatangannya.
"Ya, kenapa? Takut? Heh ... .rupanya kamu selingkuh, ya!" labrak Stella, memandang sinis wanita yang duduk di samping pria itu. Sekarang ia benar-benar naik pitam dan tidak peduli pada tatapan pengunjung cafe.
"Stella, kita pergi saja dari sini. Ayo!" Tiba-tiba Karen sudah berada di sebelah Stella dan menarik lengannya.
"Tidak. Sebelum pria b******k ini menjelaskan semuanya!" tolak Stella.
"Sudahlah, semuanya sudah berakhir, Stella. Ayo, sebentar lagi jam makan siang selesai." Karen tidak menatap William sama sekali.
"Kau pria b******k yang berani melukai hati sahabatku, mimpi apa kau pernah menjalin hubungan dengannya?" Wajah cantik Stella merah padam karena emosi.
"Aku sudah tidak mencintai dia!" ujar William dengan tenang.
Stella bisa merasakan kekecewaan Karen saat mendengar perkataan William dan kini jangan salahkan Stella jika satu tamparan berakhir mulus di wajah tampan pria b******k itu.
Plak.
Terkejut? Pastinya.
Bahkan hal itu tergambar jelas di wajah William, pria itu tidak pernah menyangka bahwa Stella bakal mampu melakukan hal ini.
"Berani sekali kau!" bentak William, seraya mencekal erat pergelangan Stella. Karen yang melihat berusaha untuk melerai.mereka, namun tiba-tiba ....
"Lepaskan tanganmu, William!" kata seorang pria dengan tenang.
"Pak Calvin!" ucap William saat melihat siapa gerangan yang berani menghentikan aksinya untuk membalas Stella.
"Aku bilang, lepaskan tanganmu, sekarang!" Suara pria tersebut meninggi saat William tidak menanggapi.
"Tapi ---"
"Lepaskan atau pergi dari perusahan." William langsung melepaskan cekalan tangannya dari Stella.
"Terima kasih," ucap Stella sambil mendekat ke arah Karen yang sempat menjauh.
"Terima kasih, Pak!" ucap Karen pada Calvin, yang hanya ditanggapi dengan senyum manis dan anggukan dari pria itu.
Saat mereka telah berada di luar cafe, Karen tampak antusias dan Stella mengerti mengapa temannya menjadi seantusias itu.
"Stella, kau tahu siapa yang menyelamatkanmu?"
"CEO William," jawab Stella singkat.
"Betul sekali, dia sangat tampan."
"Karen, berhentilah menyukai pria seperti itu, lihatlah apa yang kau dapatkan sekarang!" kata Stella.menasihati Karen.
"Kau berkata seakan pernah merasakan jatuh cinta. Kau bisa berkata seperti itu, tapi apa kau sudah bercermin?" Karen emosi karena ucapan Stella yang mengingatkannya pada perlakuan William. Karen berjalan lebih dulu meninggalkan Stella di belakang.
Stella terdiam mendengar itu. Ia teringat pada dirinya sendiri. Karen benar, tidak seharusnya dia berkata seperti itu, sedangkan dia tidak sadar, bahwa ia telah menjual dirinya kepada CEO-nya sendiri. Sebuah pernikahan tanpa cinta.
Yang kau katakan benar, Karen. Aku akan menikah dengan seseorang yang tampan dan kaya, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana dia sebenarnya, batin Stella.
"Stella, aku ... aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan itu tadi, aku terbawa emosi." Karen sadar akan kesalahan ucapannya yang telah menyakiti hati Stella. Ia segera menghampiri temannya itu.
"Ayo. Sebentar lagi jam makan siang selesai," ucap Stella sambil berjalan mendahului Karen.
"Tapi ---"
"Cepat atau aku tinggal?!" teriak Stella, ia tahu Karen masih diam di tempat.
*****
Ketika berada di lift untuk menuju ke ruangan kerja Stella dan Karen, lift yang mereka naiki berhenti. Namun, bukan di lantai yang akan mereka tuju. Para karyawan yang berdiri di depan mereka berdua, setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu lift yang terbuka itu, serentak menunduk hormat pada seseorang itu.
Sedangkan Stella dan Karen yang berada di bagian belakang, hampir tidak mengetahui siapa yang berada di depan sana. Mereka berdua melanjutkan perbincangannya mengenai hal yang ditakutkan oleh William.
"Saya ingin bertemu dengan Stella Caelan," ucap seseorang yang berada di depan lift dengan dingin.
Stella yang merasa namanya dipanggil, hanya bisa mengangkat sebelah alisnya, bingung, ditambah lagi dia tidak mengenali suara orang yang memanggilnya karena keadaan lift yang cukup ramai.
"Saya di sini." kata Stella seraya melambaikan tangannya ke atas memberitahu orang tersebut, tapi dia tetap tidak bisa melihat orang yang memanggilnya itu karena beberapa pria menghalangi penglihatannya.
?????