“Mau ke mana kau?” Edgar menghadang Eyrin yang sudah berpakaian rapi, mengenakan dress malam sepanjang lutut dan tanpa lengan berwarna hitam dengan hiasa permata melingkari pinggang. Rambut wanita itu sedikit bergelombang di bagian ujung, diurai memenuhi punggung bagian atas. Tampak terjatuh dengan sangat indah dan berkilau. Belum lagi dengan make up tipis yang dioles di wajah Eyrin, membuat kecantikan alami wanita itu semakin berkilau.
Kemudian pandangan Edgar terpusat pada bagian belakang dress yang dipakai Eyrin ketika wanita itu berbalik memunggunginya mengambil tas di meja rias. Menampakkan punggung mulus Eyrin hingga di atas p****t, yang seketika memunculkan gemuruh di hati Edgar.
“Black Saturday.” Eyrin berbalik sambil menyangkutkan tali panjang tasnya di pundak dan memasukkan ponselnya ke tas itu. Jawabannya ringan dan santai. “Kau ingin ikut?”
Black Saturday? Klub malam tempat Eyrin dan Regar selalu menghabiskan akhir minggu. Meski mereka selalu pulang sebelum jam dua belas malam dan tanpa pengaruh alkohol, tetap saja tempat itu adalah klub malam. Tempat para pria dan wanita bersenang-senang menikmati gemerlap malam.
Bahkan setelah menikah pun, Edgar tak pernah melarang Eyrin pergi ke sana. Karena ia merasa tak berhak mengekang kehidupan Eyrin meskipun keduanya terikat dalam pernikahan.
“Ganti pakaianmu,” tegas Edgar.
Eyrin menunduk, mengamati dressnya lalu kembali mendongak menatap wajah Edgar. “Kenapa? Apa ini tidak cocok untukku?”
“Ya,” jawab Edgar singkat, melanjutkan mengeringkan rambut dan berjalan ke ruang ganti.
Eyrin pun mengikuti Edgar, menunjukkan beberapa pakaian untuk meminta pendapat Edgar. Entah berapa pakaian yang ditolak oleh pria itu karena warnanya terlalu mencolok, motifnya membosankan, kainnya terlalu tipis, terlalu norak, dan lain sebagainya.
Sial! Edgar benar-benar baru menyadari jika semua pakaian yang dimiliki Eyrin nyaris semuanya mempertontonkan bagian tubuh wanita itu.
Oh, Edgar. Bukankah karena cara berpakaian Eyrin jugalah yang selama ini diam-diam membuatmu memperhatikan wanita itu. Dan sekarang, setelah kau mencicipi kenikmatan dan rasa manis yang ditawarkan oleh tubuh itu, kau menjadi serakah. Dan tak ingin membagi kesenangan itu dengan siapa pun.
“Ah, sudahlah. Kau benar-benar membuatku jengkel, Edgar!” rutuk Eyrin melempar pakaian di tangannya kembali ke lemari. Semua pilihannya tidak ada yang bagus di mata Edgar. “Aku akan meminta pendapat Regar saja.”
Edgar terkesiap. Jika Eyrin meminta pendapat Regar, adiknya itu pasti akan membuat Eyrin berpenampilan seperti kekasih-kekasih Regar, yang mengenakan pakaian kurang bahan dan nyaris telanjang. Tidak boleh!
“Aku akan memilihkannya untukmu,” cegah Edgar menahan lengan Eyrin. Membawa wanita itu kembali ke depan lemari dan memilah satu persatu helaian dress Eyrin yang menggantung. Satu, dua, tiga, sepuluh, lima belas, dan .... “Ini?”
Eyrin dia, menilai dres selutut dengan lengan panjang bermotif abstrak dan berwarna merah gelap itu. “Bukankah tadi kau bilang ini terlalu norak?”
Edgar hanya tak menyukai bagian dadanya yang terbuka lebar nyaris menampakkan belahan d**a dan lubang yang menampakkan pundak Eyrin sampai bagian tengah lengan atas wanita itu. Selebihnya, dress itu akan terlihat sempurna dikenakan oleh tubuh istrinya yang molek.
“Sepertinya aku tidak melihatnya dengan benar.”
Eyrin mengangguk dan langsung melepas pakaiannya di depan Edgar begitu saja. Tanpa memikirkan dampak besar yang menerjang Edgar akan perbuatan tak senonoh wanita itu.
Edgar menjilat bibirnya yang mendadak kering karena pemandangan panas yang tak terduga di hadapannya saat ini.
“Berikan padaku.” Eyrin mengulurkan tangan meminta pakaian di tangan Edgar. Bukannya memberikan padanya, pria itu malah terdiam. Membeku menatap tubuhnya dengan tatapan yang dipenuhi dengan ... hasrat?
Eyrin tak sempat mencerna apa yang terjadi, lengannya ditarik lalu didorong menempel di lemari dengan tubuh besar Edgar melingkupi seluruh tubuh mungilnya. Menyentuh bibirnya dengan pagutan yang kuat sekaligus lembut. Menggoda Eyrin untuk ikut tenggelam dalam pusaran gairah yang mulai semakin mengental dan memanas.
Ketika lumatan itu sudah saling memanas, hampir memuncak dan membakat keduanya. Ketukan di pintu membuat Eyrin tersadar. Ia mendorong bahu Edgar menjauh dari tubuhnya dan melepas pagutan pria itu.
Gairah yang memenuhi mata Edgar, seketika menguap. Digantikan geraman tertahan penuh kedongkolan pada siapa pun yang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Eyrin?” Suara Regar terdengar samar-samar memanggil dari luar.
“Regar.” Eyrin melepaskan diri dari pelukan Edgar, memperbaiki kaitan branya yang menggantung mengenaskan di perut lalu mengambil dress yang tadi dipilihkan oleh Edgar di lantai di bawah mereka.
Edgar merasa kesal. “Apa kau tidak bisa menghabiskan akhir minggumu di rumah?”
“Regar sudah menungguku,” jawab Eyrin sambil mengenakan dressnya dengan kecepatann kilat.
“Sekarang kau sudah memiliki suami. Kau bisa bersenang-senang denganku.”
“Ya, tapi biasanya kau menghabiskan akhir minggumu di ruang kerja, kan? Dan kita bisa bersenang-senang setelah aku pulang nanti.” Eyrin memberikan punggungnya di hadapan Edgar. “Bantu aku.”
Edgar hanya diam, menatap kulit mulus punggung Eyrin yang terpampang jelas di hadapannya. Meneriakkan kata ‘sentuh aku’ yang membelai telingai Edgar.
“Oughh, baiklah jika kau tidak mau.”
Edgar langsung menahan pinggang Eyrin yang hendak menjauh dan langsung menarik resleting tersebut. Tahu istrinya pasti akan meminta tolong pada Regar.
Kenapa? Kenapa saat ia mulai menerima pernikahan mereka dengan hati terbuka, gangguan-gangguan kecil terus bermunculan mengusik keintimannya dengan Eyrin.
***
Mata Regar menyipit, menatap lekat-lekat bibir Eyrin yang sedikit bengkak lalu mendengus sebal. “Kau membuatku menunggu di bawah untuk bersenang-senang dengannya?”
Eyrin hanya meringis sambil mengangkat bahu, lalu merangkul Regar dan menyeret pria itu menuju anak tangga.
“Wouuwww, apa ini?” Eyrin menatap penuh takjub mobil sport berwarna merah yang ada di hadapannya.
“Aku mengambil hadiah ulang tahunku lebih awal dari carport Edgar.” Regar mengeluarkan sesuatu dari saku celana, lalu menekan tombol dan pintu mobil terbuka.
Eyrin semakin dibuat terpana. Berjalan mendekat dan mengelus pintu mobil dengan elusan selembut bulu. “Malam ini kita akan mempermalukan Lea.”
“Ya, lakukan sesukamu. Tapi malam ini kita pasti akan bersenang-senang.”
“Yeayyy.”
***
“Wanita yang di bar, sejak tadi dia memperhatikanmu,” gumam Eyrin sambil menyesap minumannya.
Regar mengikuti arah pandangan Eyrin, dan pandangan keduanya bertabrakan. Setelah memindai penampilan wnaita itu dari atas ke bawah, Regar mengeluarkan senyum maut dan melambaikan minumannya ke arah wanita berambut sebahu itu. Wanita itu mengedipkan mata dengan gerakan menggoda, tampak begitu semringah akan sambutan Regar.
“Pergilah,” usir Eyrin memutar bola mata jengah. “Hanya satu jam. Aku tak akan menunggu jika lebih dari itu.”
“Oke.” Regar mengerling matanya. “Jangan terima minuman dari siapa pun. Ingat? Atau Edgar akan memakanku hidup-hidup.” Regar mengingatkan sebelum beranjak berdiri menghampiri wanita yang duduk di bar.
Eyrin hanya menganggguk. Melihat Regar duduk di samping wanita itu berambut sebahu dan mulai saling mengobrol. Mengangkat tangan memanggil pelayan untuk mengganti gelasnya yang kosong dan tambahan camilan untuk membunuh kesendiriannya. Meski ia selalu datang rutin ke tempat ini bersama Regar, ia tak punya teman yang cukup dekat untuk diajak mengobrol. Jika dulu sebelum menikah, Regar selalu mengenalkannya dengan beberapa teman pria itu untuk teman kencannya. Sejak menikah ia menghabiskan waktu sendiri menikmati suara musik yang menggema di telinga jika Regar sibuk dengan deretan wanita yang datang dan pergi setiap minggunya.
Eyrin memeriksa ponselnya, ada satu pesan dari Edgar.
‘Pulang jam berapa?’
Eyrin sedikit terheran, tapi tetap menekan tombol balas.
‘Satu jam lagi.’ Setelah mengetikkan jawaban untuk Edgar, Eyrin memasukkan ponselnya kembali ke tas.
“Tempat ini kosong?”
Eyrin mendongak, melihat pria tinggi dengan mengenakan kemeja hitam yang tiga kancing teratasnya terbuka, menampilkan bentuk dadanya yang bidang. Rambutnya disisir rapi, kulitnya putih bersih, hidung mancung, dan dalam keremangan, Eyrin bisa melihat betapa birunya manik pria itu. Secara keseluruhan, penampilan fisik pria itu sempurna. Sempurna tampan dan sempurna menawan. Walaupun tak sesempurna Edgar, batin Eyrin mengingatkan.
“Temanku sedang sibuk. Tampaknya kita bisa saling melengkapi.”
“Ada temanku, dan dia akan segera kembali,” jawab Eyrin singkat dan datar. Sudah lelah dengan segala macam bualan yang selalu menghampiri setiap kali Regar meninggalkannya sendirian.
“Sepertinya Regar butuh waktu cukup lama untuk kembali bergabung denganmu.” Pria itu memutar kepala ke tempat Regar dan wanita kencannya duduk.
Mata Eyrin membulat. “Kau mengenal Regar?”
“Dan aku tahu kau Eyrin.”
Kerutan di kening Eyrin semakin dalam. Menatap pria itu dengan kecurigaan yang semakin menumpuk. “Maaf, aku tak mengenalmu,” balas Eyrin lebih dingin. Masih enggan mengenal lebih dekat pria itu.
Pria itu mengulurkan tangan pada Eyrin dan memperkenalkan diri. “Aku Calvin, teman dekat Edgar. Tentu saja aku tahu kalian berdua darinya.”
Eyrin tak tahu siapa pria bernama Calvin itu, tapi jika pria itu adalah teman Edgar, dan mengenal dirinya lewat Edgar, sepertinya ia tak perlu khawatir, kan? Eyrin pun menyambut uluran tangan tersebut. “Meskipun kau sudah tahu. Ya, namaku Eyrin.”