Part 9

1658 Words
“Ada apa dengan jangan berbagi rahasia dengan orang lain, Ey?” gemas  Regar sambil melepas bekapan tangannya di bibir Eyrin.  “Dia bukan orang lain,” dalih Eyrin. “Dia bukan bagian dari kita berdua.” “Dia kakakmu, juga suamiku. Dia keluarga.” “Oh, Ey.” Regar mengangkat kedua tangannya menyerah. “Apa kau ingin aku membagi masalah ranjangmu dan Edgar pada kekasihku?” “Tidak. Dan kau juga tidak akan melakukannya.” “Kenapa tidak?” “Itu berarti kau akan membeberkan masalah ranjangku pada seluruh wanita di kota ini. Dan itu melanggar peraturan kita. Ingat?” jawab Eyrin dengan mantap. Mulai berjalan mendahulu Regar ke arah lift. Regar hanya bisa menghela napas keras. Tak bisa mengelak. “Aku ingin tidur di atap,” gumam Eyrin sambil merangkulkan lengannya di lengan Regar dan meletakkan kepala di bahu pria itu. “Tunda kantukmu!” Regar langsung menekan tombol RF. “Aku baru saja mendapatkan bonus. Kita pesan apa pun dan bersenang-senang.” Kantuk Eyrin seketika lenyap, mata melebar penuh binar. Lalu mengerling, membuat lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya dan menempelkannya ke tangan Regar. “Oke.”   ***   Tepat jam lima sore, Edgar mematikan layar komputernya dan langsung bangkit berdiri memakai jasnya. Hari ini ia sengaja membatalkan semua jadwal meeting sorenya, untuk pulang lebih awal. Entah apa yang membuatnya melakukan hal yang tak biasa itu, tapi hari ini ia benar-benar ingin pulang lebih awal. Seolah ada sesuatu yang menunggunya di rumah dan ia pun tak sabar untuk segera. “Apa sopirku sudah di bawah?” tanyanya pada Danu begitu keluar dari ruangannya dan melihat Danu yang langsung mengekor di belakang untuk mengantarnya ke bawah meski hal itu tidak perlu. “Saya sudah menghubunginya dua kali dan belum diangkat. Saya akan mencobanya sekali lagi.” Danu menempelkan ponsel ke telinga. Ketiga kalinya. Edgar bisa merasakan napas kelegaan Danu, kali ini sepertinya sopirnya sudah mengangkat panggilan pria itu. Edgar tetap berjalan, tanpa mengurangi kecepatannya. “Ada apa, Danu?” Edgar berhenti di depan lift. Melihat kerutan di kening Danu ketika menurunkan ponsel dari telinga. Seolah ada sesuatu yang akan membuatnya tak senang atau tidak berjalan seperti rencananya. “Sopir Anda belum ada di bawah, Tuan,” lapor Danu dengan suara dan ekspresi sedatar tembok, tetapi tetap tak mengurangi sikap sopannya terhadap atasannya. Pintu lift terbuka, tapi Edgar menoleh ke arah Danu. “Ada apa?” “Beliau mengalami sedikit kecelakaan dan ban mobil pecah. Sehingga sekarang masih di bengkel dan kemungkinan tidak bisa membawa Anda pulang.” “Apa dia baik-baik saja?” Danu mengangguk. “Tidak ada luka yang serius dan perlu perawatan dokter.” Edgar mengangguk sekali. “Saya baru saja akan memesan taksi untuk ...” “Pulang?” Suara dari dalam lift memotong kalimat Danu. “Tak biasanya kau pulang jam segini,” komentar Regar sambil mengangkat tangan, melirik jam di pergelangan tangannya. Sepengetahuannya, jam pulang Edgar paling awal adalah jam tujuh malam. Danu dan Edgar menoleh, baru menyadari keberadaan Eyrin dan Regar yang ada di dalam lift sejak tadi. Mendengar pembicaraan mereka dalam keheningan. “Aku ... sedang tak banyak pekerjaan yang harus kuurus,” jawab Edgar sambil melirik ke arah Eyrin. Saat itulah ia menyadari, ia bergegas ingin pulang hanya agar cepat bertemu dengan istrinya. Regar mengangguk-angguk ringan meski masih menyangsikan alasan Edgar. “Kalau begitu kau bisa ikut mobilku.” “Ya.” Eyrin mengangguk setuju. Tangannya terangkat menyentuh pinggiran pintu lift agar tidak tertutup. “Bukankah kita searah. Juga serumah?” Edgar diam sejenak. Menimbang tawaran Regar dan Eyrin, dan sepertinya itu bukan ide buruk. “Kenapa kalian masih di sini?” tanyanya sambil masuk ke lift dan berdiri di samping Eyrin. “Kami baru saja berpesta di atap,” cengir Regar sambil menunjuk ke atas. Namun, beberapa menit kemudian Edgar menyesali keputusannya. Karena sekarang ia duduk sendirian di jok belakang sedangkan istri dan adiknya duduk di jok depan, sibuk tertawa dengan candaan yang sama sekali tak lucu. Sepenuhnya mengabaikan keberadaannya. Inilah sebabnya ia tak pernah membiarkan Regar dan Eyrin menumpang di mobilnya, karena hanya akan membuatnya menjadi sopir. Dan jika ia yang menumpang di mobil Regar, ia akan menjadi penumpang tak kasat mata. “Bagaimana jika aku membeli mobil?” celetuk Eyrin tiba-tiba ketika mereka membicarakan uang tabungannya yang bingung akan dibelikan apa di hari ulang tahun Regar minggu depan. “Kupikir, seharusnya itu akan menjadi hadiah untukku, kan?” “Aku tidak bisa menyetir. Nanti kau juga yang akan menggunakan mobilnya, kan?” Seketika senyum lebar memenuhi wajah Regar. “Ide bagus.” Keduanya saling menepukkan tangan sambil menjerit kegirangan. Mata Edgar membelalak tak percaya, dengan ide konyol paling tak masuk akal yang pernah ia dengar. “Kauingin mobil apa?” tanya Eyrin walaupun ia tak tahu apa pun tentang jenis mobil. “Lea  baru saja memosting mobil barunya. Hadiah ulang tahun dari kekasihnya. Cih, kita harus dapat yang lebih bagus dari miliknya.” “Benarkah? Mobil apa yang dipamerkannya?” Eyrin hanya menggeleng. “Aku tak tahu. Warnanya hitam, seperti hatinya. Rang ... Rango?  Entahlah. Jika tidak cukup, aku bisa minta uang papaku. Kita butuh uang lebih banyak untuk menyainginya.” “Aku memberimu uang bukan untuk hal paling tidak bermanfaat seperti ini, Eyrin,” sambar Edgar sebelum Regar sempat membuka mulut membalas kalimat Eyrin. “Dan kau, Regar. Apa kau tak merasa malu merampok uang kakak iparmu sendiri?” Regar mengurangi kecepatan mobilnya, melirik sekilas ke arah spion untuk melihat raut muka Edgar yang merah padam membalas tatapannya. Sedangkan Eyrin hanya menoleh ke belakang, dengan kening berkerut dalam akan reaksi Edgar. Sama seperti yang ditunjukkan oleh Regar, seolah ada tanduk muncul di kepala Edgar. “Kenapa? Aku memang ingin membeli mobil,” dalih Eyrin. “Ya, tapi apa kau perlu membelikannya untuk Regar?” “Bukankah mobilnya juga untukku?” Sedetik Edgar tak bisa berkata apa-apa. “Ya, tapi kau tak perlu meminta uang pada papamu. Bukankah sekarang aku sudah menjadi suamimu?” Eyrin hanya mengerjapkan mata sekali, terbengong. Edgar memang suaminya, tapi papanya juga masih tetap menjadi papanya. “Ada apa denganmu, Ed?” sela Regar mulai kesal. Menatap kejengkelan di wajah Edgar yang tak seperti biasanya. Ikut campur perbincangannya dengan Eyrin yang selalu dianggap sampah oleh pria itu. “Kau Eyrin, simpan saja uangmu, dan kau Regar, jika ingin mobil terbaru kau bisa memilih salah satu mobilku sebagai hadiah ulang tahunmu minggu depan.” “Kau serius?” Kali ini bola mata Regar yang nyaris keluar dan jatuh. Saking terkejutnya pria itu, sampai memutar setir ke pinggiran jalan dan menginjak pedal rem keras-keras. Sontak membuat tubuh Eyrin dan Edgar terdorong maju ke depan lalu terbanting kembali ke belakang. “Auwww ...” erang Eyrin mengusap belakang kepalanya. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Edgar panik. “Apa kau bisa menyetir dengan baik?!” bentaknya kemudian pada Regar dengan pelototan mata. Regar menatap Edgar lalu Eyrin yang juga memasang kerutan di kening dan kembali pada Edgar lagi. “Ada apa denganmu, Ed?” “Ya, Edgar. Kau tiba-tiba menjadi ... aneh?” Eyrin setuju dengan Regar. Tapi ia memang tak pernah tak setuju dengan Regar. Edgar membeku. Menyadari tubuhnya yang condong ke depan akan reaksi kepanikan berlebihan yang ditunjukkannya pada Regar dan Eyrin. Ia bahkan tak tahu kenapa bertindak sesensitif ini terhadap Eyrin, juga kedekatan mereka berdua. “Apa kau terpeleset di kamar mandi?” tanya Regar. “Apa kepalamu terbentur pintu atau lantai?” Edgar masih diam. Menarik tubuhnya kembali bersandar di jok belakang. “Lupakan. Sepertinya aku hanya terlalu banyak memikirkan urusan pekerjaan dan menjadi tak masuk akal.” Edgar mengalah. Menyumpahi dirinya sendiri. Regar merasa tak puas dengan jawaban Edgar. Baru beberapa saat yang lalu Edgar pulang lebih awal karena sedang tak banyak pekerjaan, dan sekarang pria itu mengaku stres karena terlalu banyak pekerjaan. Ah, mobil. Regar menepis pemikirannya tentang sikap aneh Edgar karena teringat janji Edgar. “Tapi ... kau serius tentang mobil, kan?” Edgar mengangguk kecil sambil membuang wajahnya ke jendela mobil. “Yang mana saja?” Lagi Edgar hanya mengangguk kecil dan sesingkat mungkin. “Kau tak akan mengingkari janjimu, kan?” “Ya!” desis Edgar menahan dongkol pada Regar. Adiknya itu langsung menjerit keras dan Eyrin pun ikut-ikutan senang meski tampaknya wanita itu tak terlalu memahami kesenangan Regar. “Eyrin, kau dengar, kan? Meski sepertinya sekarang Edgar kehilangan akal sehatnya, kau satu-satunya saksi jika dia mengingkari janjinya.” “Apa kita perlu merekamnya juga?” Sialan! Kenapa dia harus punya adik semenyebalkan Regar. Ia benar-benar harus mulai membentangkan jarak antara Regar dan istrinya jika tidak ingin pengaruh buruk Regar meracuni kepala Eyrin semakin jauh.   ***   “Mulai besok kau pergi ikut kelas menyetir,” kata Edgar begitu Regar masuk ke kamar pria itu dan ia serta Eyrin terus berjalan menuju kamar mereka. “Kenapa?” “Kau tidak bisa ikut dengan Regar terus-terusan seperti ini.” “Kenapa?” “Suatu saat dia pasti menikah. Apa kau akan terus menumpang di mobilnya?” Edgar benar, tapi ... “Dia bisa mencari istri yang pintar menyetir.” Arrgghhhh .... Edgar menggeram dalam hati. Hal ini benar-benar tidak bisa dibiarkan begitu saja. “Tidak. Mulai besok, jika kau tidak ingin belajar menyetir, kau akan berangkat kerja denganmu?” Langkah Eyrin terhenti. “Kenapa?” “Aku suamimu.” “Ya, tapi kenapa?” Eyrin tak puas. “Aku tak punya alasan.” “Kau tidak bisa melarangku dengan alasan tak jelas dan tak masuk akal seperti ini, Edgar.” “Kedekatan kalian yang semakin tak masuk akal.” Sontak kalimat itu keluar seperti luapan emosi yang tersimpan di sudut terdalam hatinya. Memuntahkannya karena saking tak tahannya menyimpan kecamuk itu lebih lama lagi. Eyrin diam. Bibirnya manyun ke depan dengan mata menyipit mengamati wajah Edgar, yang merah padam. “Apa ini yang namanya cemburu?” “Apa?” Mata Edgar melebar, terkejut lalu menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin ia merasakan perasaan cemburu secepat ini pada Eyrin. Mungkin usia pernikahan mereka sudah satu bulan, tapi keseriusan hubungan mereka baru dimulai dua hari yang lalu. Kesepakatan untuk menjadikan pernikahan mereka menjadi pernikahan yang sesungguhnya masih terhitung sebagai permulaan. Langkah pertama dari ribuan langkah yang akan mereka ambil. Ibarat bayi, hubungan mereka masih belajar bagaimana cara merangkak. Yang belum tahu bagaimana cara berdiri, apalagi berlari. Dan jenis perasaan bernama cemburu, tentu setidaknya datang saat mereka sudah mulai berjalan. “Ya, kau tak mungkin cemburu pada adikmu sendiri, kan?” Eyrin mengangguk-angguk kecil. Edgar mendengus, membuang tatapan dari Eyrin sambil mengibaskan tangan di depan wajah. Seolah mengusir pemikiran yang sempat muncul di kepala Eyrin sekaligus pikirannya yang juga mulai tak waras. “Intinya, mulai besok kau harus berangkat kerja bersamaku,” pungkas Edgar, kemudian berjalan mendahului Eyrin ke kamar mereka. Eyrin hanya terbengong, menatap punggung Edgar yang menjauh dan menghilang di balik pintu. Ia menghela napas keras dan pendek. Kemudia menggumam lirih sambil menyentuh dagunya. “Sepertinya aku harus mencari tahu apa penyebab keanehan Edgar bersama Regar.”   *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD