Part 20

1773 Words
“Apa yang kaulakukan?” “Tidak ada.” “Di mana?” “Di balkon.” “Sendirian?” “Ya.” Suara Eyrin terdengar tak bersemangat. “Kesepian?” “Sedikit.” “Masuklah. Nanti kau masuk angin. Aku akan sampai sepuluh menit lagi.” “Aku tahu apa yang kauinginkan jika sudah sampai rumah, Edgar,” dengus Eyrin. Yang dibalas kekehan oleh Edgar. “Ternyata kau cukup memahamiku, ya.” “Kalau begitu, kutunggu kau selama tujuh menit. Lebih dari itu jangan berani mengganggu tidurku!” “Tujuh menit?” Edgar tertantang. “Oke. Deal.” Eyrin tersenyum menatap ponsel di tangannya yang sudah mati. Hubungannya dan Edgar berjalan sangat lancar. Keduanya saling dekat dan lebih ... mesra. Terutama jika di atas ranjang. Edgar tak pernah segan-segan menggoda Eyrin, dan Eyrin pun tak merasa malu menunjukkan kepasrahannya. Toh dia juga menikmati setiap sentuhan yang diberikan Edgar dengan penuh kelembutan dan kehangatan. Rasanya rumah tangganya berjalan dengan lancar. Sesuatu yang belum pernah Eyrin bayangkan sejak menikah dengan Edgar. “Dari Edgar?” Pertanyaan Regar yang tiba-tiba muncul dari pintu balkon mengagetkan Eyrin. Eyrin tersentak kaget, hampir menjatuhkan ponselnya dari balkon karena saat ini sedang berdiri bersandar di pagar balkon kamarnya. Tepat setelah panggilan Edgar berakhir. “Kau mengagetkanku, Re,” gerutuan Eyrin sedikit lebih keras. Tapi kemudian ia menutup mulutnya dengan kaku mengingat perang dingin antara dirinya dengan Regar. “Aku mengetuk pintu berkali-kali dan sepertinya kau tengah asyik berbincang dengan Edgar. Jadi ... aku masuk saja,” jelas Regar dengan sedikit kaku. Karena Eyrin tak mengatakan apa pun, Regar pun berjalan mendekat. Ikut berdiri di dekat pagar balkon. Eyrin diam. Tak tahu harus berkata apa untuk membalas penjelasan Regar. Biasanya, saat masuk ke kamarnya pun Regar tak pernah menjelaskan apa pun. Pria itu hanya perlu masuk. Walaupun terkadang Edgar mengusir pria itu dengan terang-terangan, bahkan menyeret Regar keluar dengan paksa. Lama keduanya saling terdiam. Hingga Regar berinisiatif memecah keheningan tersebut. Niatnya datang kemari adalah untuk memperbaiki hubungannya dengan Eyrin. “Sepertinya ... sikapku pagi itu terlalu berlebihan. Aku minta maaf.” Eyrin menggigit bibirnya. Ia sendiri merasa tak enak hati dengan sikap berlebihan Regar yang membawa mereka dalam perang bisu selama dua hari ini. Dan ia sendiri tak bisa berbuat banyak berdiri di antara keduanya. Edgar benar, pria itu sudah menjadi suaminya dan berhak untuk hidupnya sedangkan Regar, pria itu adalah orang terpenting nomor satu di hidupnya. Yang mendadak menjadi kedua karena keberadaan Edgar. Bahkan dengan kenyataan itu saja sudah membuatnya merasa sangat bersalah pada Regar. Dan bukan berarti ia menyisihkan Regar dari jajaran orang-orang tersayangnya. “Tidak masalah,” gumam Eyrin dengan suara lirihnya. “Tak seharusnya aku bersikap kekanakan seperti itu. Aku ikut andil dalam keputusan pernikahan kalian, tidak seharusnya aku menjadi kekanakan seperti ini, kan?” Regar mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis. “Maafkan aku.” Eyrin menggeleng. “Kau tidak bersalah. Aku tahu kau sangat menyayangiku.” Regar tersenyum lebih lebar. “Aku juga tahu kau menyayangiku.” Eyrin membalas senyum Regar. “Jadi, kita baikan?” Regar melebarkan kedua lengannya, dan Eyrin langsung menghambur dalam pelukan Regar. Pria itu mengembuskan napasnya dengan lega. “Rasanya ini perang dingin terlama yang pernah kita alami.” Eyrin tertawa pelan di d**a Regar. “Kau benar.” “Tapi sepertinya Edgar menghiburmu dengan sangat baik. Kupikir aku akan mempertimbangkan untuk menikah. Agar aku punya seseorang yang menghiburku juga jika kita perang dingin lagi.” “Kau ingin kita perang dingin lagi.” Regar menggeleng. “Aku hanya mengatakan apa yang muncul di pikiranku saja,” jawabnya dan diakhiri dengan cengiran kudanya. “Tapi kau ada benarnya juga. Kau memang harus menikah. Bukankah lebih asyik jika berempat bisa double date.” “Kaupikir Edgar akan baik-baik saja? Kau tahu dia punya sedikit masalah dalam bersosialisasi, kan?” Eyrin mendongakkan kepalanya, menatap wajah Regar yang menunduk ke arahnya. “Kau benar. Padahal wajahnya cukup lumayan jika dipamerkan di tempat umum. Sayang sekali. Kenapa dia harus menyia-nyiakan satu-satunya bakat yang dimilikinya.” “Itulah sebabnya aku memegang jabatan sebagai manager pemasaran di perusahaan. Bisa apa dia tanpa bakat terpendamku. Akulah wajah perusahaan.” Keduanya terkikik, tapi dalam sekejap suara tawa keduanya langsung lenyap. “Dan bisa apa kau tanpa aku yang membereskan semua kekacauan-kekacauanmu?” Suara Edgar yang tiba-tiba muncul di belakang Eyrin dan Regar membuat keduanya tersentak kaget dan langsung mengurai rangkulan mereka. Mata Edgar menyipit tajam ke arah Regar. “Semua laporanmu yang sampai di mejaku hanyalah sampah. Dan kau membuang-buang waktuku untuk memperbaiki semua itu hanya karena permohonan mama. Bisa apa kau tanpa mama, huh?” Regar meringis, menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. “Kau di sini?” Edgar menoleh ke arah Eyrin. Yang ikut meringis karena ia ikut andil dalam perghibahan suaminya. “Kami hanya bercanda, Edgar. Jangan diambil hati.” Tangan Regar yang masih tersampir di pinggang Eyrin, mendorong pelan wanita itu untuk melangkah lebih maju mendekati Edgar. Menyuruh sahabatnya untuk menenangkan Edgar. Melihat bagaimana kemajuan pesat hubungan Edgar dan Eyrin, ia tahu kakaknya itu tak akan mampu menahan godaan Eyrin. Eyrin maju ke depan, tersenyum terlalu lebar kepada suaminya. “A-apa kau ingin teh?” “Tidak,” jawab Edgar dingin. “Kopi?” “Tidak.” “Coklat hangat?” “Tidak.” Eyrin semakin gugup. “Kauingin mandi air hangat? Aku akan menyiapkannya.” “Tidak perlu.” “Kalau begitu aku akan meletakkan jasmu di lemari.” Eyrin semakin mendekat, mengulurkan tangan untuk menerima jas Edgar. “Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri.” Eyrin mulai kesal dan kehilangan kesabarannya. Semua rayuannya ditolak mentah-mentah oleh Edgar dengan begitu dinginnya. Padahal baru beberapa menit yang lalu Edgar berbicara sangat manis padanya. “Baiklah, terserah kau!” semburnya marah. Edgar tersentak pelan dengan kemarahan yang tiba-tiba diluapkan Eyrin. “Aku akan tidur. Kau bisa lakukan apa pun sesukamu!” Eyrin mendorong d**a Edgar, melewati pria itu dan membanting tubuhnya kembali ke ranjang. Kepala Regar berputar mengikuti Eyrin, lalu kembali kepada Regar yang merasa tak berkutik di dekat pagar balkon kamarnya. Regar bergidik merasakan tatapan tajam Edgar, ditambah angin dingin yang berhembus di balkon seolah melengkapi penderitaannya. Ia memalingkan tatapannya ke arah mana saja, menghindari tatapan Edgar. “Kenapa?!” sentaknya tak tahan dengan tatapan tajam Edgar yang tak juga berhenti. “Dia marah karena kesalahanmu sendiri.” “Apa kauingin tidur di balkon kamarku?” desis Edgar mengusir. “Atau menungguku menyerermu?” “Aku memang akan keluar,” sembur Regar menyamarkan ketakutannya pada Edgar. Kemudian bergegas lari terbirit melewati Edgar dan keluar dari kamar. Edgar menutup pintu balkon dan menutup gorden. Sambil melepaskan jas serta dasi dan meletakkannya di sofa ujung ranjang, ia berjalan mendekati Eyrin yang berbaring memunggunginya di ranjang. Edgar duduk di sisi ranjang, tepat di belakang punggung Eyrin. “Aku memang tidak ingin teh, kopi, apalagi coklat hangat. Kau tahu aku tak suka manis. Aku juga tidak ingin berendam, hanya akan membuang waktuku untuk bersamamu. Dan aku tidak ingin membuatmu membuang waktu ke ruang ganti untuk meletakkan jasku.” Eyrin membuka matanya, menelaah setiap kalimat Edgar dengan lebih dalam. “Aku hanya perlu membuka jasku dan ...” Tangan Edgar terulur, menyentuh kulit telanjang lengan Eyrin. Mengelusnya dengan lembut dengan sentuhan menggoda. Membungkuk dengan perlahan dan mendaratkan wajahnya di cekungan leher Eyrin. Berbisik dengan suara beratnya yang mesra. “Kupikir aku tidak terlambat semenit pun.” Hembusan napas Edgar yang menerpa kulit di belakang telingan Eyrin membuat wanita itu meleleh. Penuh kepasrahan. “Jadi ...” Edgar sengaja menarik-narik kalimatnya, penuh godaan yang nakal. Terutama dengan kecupan di leher Eyrin kini merambat naik ke daun telinga wanita itu dan berubah menjadi jilatan yang panas. “Aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan, kan?” Eyrin tak sempat menjawab, dan ia juga tak perlu menjawabnya. Edgar menarik selimut, menutupi tubuh keduanya. Dan malam pun semakin larut ...   ***   Para tamu undangan sudah memenuhi hampir setiap sudut lantai satu rumah keluarga Arsafarich. Pesta berlangsung dengan sangat meriah dan penuh kebahagiaan. Edgar tak henti-hentinya membawa Eyrin berkeliling untuk menyapa satu persatu tamu yang datang. Memperkenalkannya sebagai seorang istri. Eyrin menyesal, tadi mengenakan sepatu tumit paling tinggi yang ia miliki. Tak menyangka Edgar akan membawanya berkeliling selama ini, dengan tamu yang tak terhitung jumlahnya. Dan membuat kakinya pegal bukan main. Ia bahkan merasakan lecet di ujung tumitnya. “Bolehkah aku ke atas sebentar? Aku ingin mengganti sepatuku,” bisik Eyrin ketika Edgar hendak membawanya untuk menyapa sepasang paruh tua yang berdiri di dekat tangga. Edgar menundukkan kepala. “Kenapa?” “Kakiku pegal sekali. Aku ingin menggantinya dengan flat shoes. Toh tidak akan kelihatan karena tertutup gaunku.” Edgar tak masalah dengan penampilan Eyrin meskipun wanita itu mengenakan sandal japit biasa dan akan terlihat oleh para tamu. Ia lebih suka melihat Eyrin nyaman dengan apa pun yang dikenakan daripada sesuatu yang indah tapi membuat wanita itu menderita. Kecuali jika pakaian-pakaian yang terbuka dan memamerkan kulit serta keindahan tubuh Eyrin, ia akan melarang keras wanita itu walaupun pakaian itu nyaman bagi istrinya. Edgar mengangguk. “Pergilah. Lima menit. Ada seseorang yang sangat ingin menyapamu. Aku tunggu di dekat tangga.” Eyrin mengangguk. “Tidak akan lama.” Eyrin berjalan melewati kerumunan para tamu, menaiki anak tangga dan melepas kedua sepatunya ketika sampai di lantai dua yang sepi. Langsung berjalan ke arah kamarnya. Akan tetapi, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang keluar dari kamarnya dan Edgar. Mengenakan gaun merah maroon dengan belahan sangat tinggi di samping, tanpa lengan dan hampir memperlihatkan setengah bagian dadanya. Rambutnya di tersampir ke samping, memamerkan salah satu pundaknya yang indah. Eyrin terkejut mengenali wanita itu adalah Selly. Teman Edgar yang datang bersama Calvin. “Selly?” Selly tersentak kaget dan hampir terhuyung ke belakang saking terkejutnya terpergok seperti ini. Beruntung genggamannya di handle pintu sangat kuat. “Kenapa kau di sini?” tanya Eyrin terheran karena semua tamu hanya ada di lantai satu. Mata Selly mengerjap kebingungan dan berusaha menghindari tatapan penuh tanya Eyrin. “A-aku ... aku sedang ingin ke toilet. Toilet di bawah penuh dan aku tak bisa menahannya. Kupikir ... kupikir ini kamar mandi. Dan ternyata bukan. Apa yang sedang kaulakukan di sini?” Eyrin tersenyum. “Ini kamarku dan Edgar.” “Benarkah?” Selly berpura tak tahu. “Aku tak tahu.” “Di lantai dua tidak ada kamar mandi selain di kamar Edgar dan Regar. Apa kau ingin menggunakan kamar mandiku?” Selly mengangguk setelah berpikir sejenak. Eyrin membuka kembali pintu di belakang Selly. “Masuklah. Aku hanya akan ke ruang ganti. Kau bisa menggunakan kamar mandi kami.” “Te-terima kasih.” Eyrin langsung menuju ruang begitu setelah menunjukkan pintu kamar mandi kepada Selly. Tanpa tahu seringai licik yang tersamar di kedua sudut bibir Selly. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD