Part 17

1516 Words
“Edgar?” panggil Eyrin di antara keheningan yang menyelubungi keduanya. Di kamar yang masih menguarkan aroma intim keringat mereka yang berbaur. Dengan punggung telanjang Eyrin yang menempel di d**a Edgar dan berada dalam pelukan suaminya. Keduanya meresapi sisa-sisa kenikmatan yang masih membekas dan meninggalkan jejak di setiap senti kulit telanjangnya dan Edgar. Keduanya berbaring kehabisan tenaga setelah melakukan lagi dan lagi aktivitas panas membakar kalori. Di hotel terdekat yang bisa Edgar dapatkan. Tak henti-hentinya Edgar menyentuh Eyrin, menggoda dan membuai wanita itu, memberi Eyrin kenikmatan yang lebih besar dan lebih besar lagi. Mengajari Eyrin hal-hal baru untuk menyenangkan dan memanjakan dirinya. “Hmm?” Edgar menjawab dengan gumaman pelannya. Tangannya mengelus lembut sehalus helaian bulu di sepanjang lengan kulit telanjang Eyrin dan mendengar suara manis wanita itu memanggil namanya membuatnya tak bisa menahan diri untuk tidak mendaratkan kecupan singkat di pundak Eyrin. Kemudian ciuman itu turun ke cekungan leher Eyrin. Yang meneriakkan kemanjaan untuk dirinya. Rasanya gairah kembali mengaliri nadinya dengan cepat hanya dengan satu ciuman sebagai pemantik hasratnya. Akan tetapi ia harus menahan diri. Eyrin sudah kehabisan tenaga dan ia tak ingin membuat wanita itu kewalahan menuruti nafsunya yang tak pernah disangkanya akan menggila seperti ini sejak menyentuh tubuh Eyrin untuk pertama kalinya. Saat melihat bentuk tubuh Eyrin di malam pernikahannya, ia sudah pernah menduga tubuh itu akan senikmat ini. Tubuh wanita itu sangat menggoda, pas dalam dekapan dan seolah diciptakan memang untuk ia jajah tepat seperti yang Edgar inginkan. “Tidakkah kau merasa, apa yang kita rasakan satu sama lain saat ini datang terlalu cepat?” gumaman Eyrin terdengar muram. Seolah ada kekhawatiran yang membentuk kecamuk dalam pikiran wanita itu. Edgar mengernyit sedikit. Kecemburuan yang mereka rasakan satu sama lain memang hal ang normal untuk dirasakan sebagai pasangan suami istri. Tetapi baginya dan Eyrin yang berawal sebagai tetangga, dan hidup mereka yang bertaut sejak Eyrin lahir di dunia ini. Sepertinya apa yang ia rasakan saat ini bukanlah sesuatu yang buru-buru. Walaupun perasaan mereka adalah sesuatu yang baru. Eyrin membalikkan tubuhnya menghadap Edgar. Menatap manik Edgar dengan hati-hati sebelum melanjutkan kalimatnya. “K-kupikir ... cemburu, jatuh cinta, rasanya pasti akan lebih besar dari apa yang kurasakan padamu saat ini.” Edgar terdiam.   “Kau tahu sebelumnya aku belum pernah jatuh cinta pada seseorang dan aku tak pernah percaya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bagaimana seseorang bisa jatuh cinta hanya saat melihat wajahnya. Tidakkah cinta semacam itu terasa mengada-ada dan hanya secara fisik?” Edgar terpaku. Kilatan melintasi maniknya karena kata-kata Eyrin. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Kalimat itu membuat jantungnya berhenti untuk beberapa detik dan bias kepucatan tersamar di raut mukanya. Edgar menarik napas sepelan mungkin, memastikan perubahan emosi yang sempat menjeda konsentrasinya pada Eyrin tak tertangkap oleh istrinya. Ia pernah jatuh cinta, pada pandangan pertama. Dan sepertinya ia setuju dengan pendapat Eyrin. “Meskipun begitu, aku sering memimpikan jatuh cinta pada seseorang, yang mencintaiku dengan tulus. Dan apa yang terjadi di antara kita? Apakah ini terasa benar?” Edgar diam sejenak, menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan sebelum menjawab. “Aku tak sungguh-sungguh memahami apa yang kaurasakan padaku, tapi bagaimana dengan ini?” Tangan Edgar menarik tangan Eyrin dan menyentuhkan di dadanya. Agar wanita itu bisa merasakan degup jantungnya yang selalu bergetar hebat saat wanita itu ada di dekatnya. Saat mereka telanjang bersama seperti ini. Bahkan saat pikiran Edgar dipenuhi oleh Eyrin. “Apakah bagimu ini tak nyata?” Eyrin terkejut. Degupan keras itu menembus d**a Edgar dan terasa nyata di balik telapak tangannya. Sebelum kemudia merayap dan degupan itu menular ke dalam dadanya. Perasaan berdebar yang membuatnya seolah hendak meledak. Seperti kembang api yang dinyalakan di tepat di dadanya. “Aku tak peduli apa yang kurasakan saat ini terlalu cepat atau tidak. Yang kutahu kau adalah milikku dan aku tak akan melepaskanmu. Tidakkah itu cukup untuk kita berdua benar-benar melihat pernikahan ini sebagai sebuah pernikahan yang sesungguhnya? Bukan sebagai ajang perjodohan keluarga kita yang ingin mempererat hubungan persabahatan mamaku dan mamamu.” Eyrin hanya diam. Mendengarkan dengan perhatian penuh. “Pernikahan ini untuk kita berdua. Sebelum aku benar-benar menyentuhmu, aku sudah memastikan hal itu atas keinginanmu sendiri, kan?” Eyrin mengangguk. “Jadi ini adalah pilihan kita. Murni keinginan kita untuk saling memiliki satu sama lain.” Eyrin mengangguk lagi. “Kau benar.” “Dan yang pasti, ini bukan jatuh cinta pada pandagan pertama,” pungkas Edgar sambil menyentuhkan tangannya di dagu Eyrin, dan menempelkan bibir mereka. Melumat dan menghisap. Ciuman mereka berhenti setelah beberapa saat. Eyrin melihat hasrat yang menggebu di mata Edgar penuh ketidakpercayaan. “Lagi?” Edgar hanya menyeringai. Langsung menindihkan tubuhnya di atas tubuh Eyrin dan kembali membakar mereka berdua.   ***   “Kau benar-benar keterlaluan, Edgar,” gerutu Eyrin ketika keduanya masuk ke dalam lift dengan kedua tangan mengibas-ngibas rambutnya yang terurai dan masih lembab. Edgar hanya tersenyum tipis menanggapi gerutuan Eyrin, meletakkan tangannya di pinggang wanita itu dan menelengkan kepala menatap wajah Eyrin yang tampak segar. Dan rambut yang masih basah malah membuat istrinya terlihat semakin panas. Sialan! pikiran untuk kembali meniduri Eyrin muncul, sehingga dengan cepat ia mengusirnya. Otak mesumnya tak pernah berhenti ketika berada di sekitar Eyrin. “Cuaca hari ini sangat panas. Bukankah ini menyegarkan untukmu?” balas Edgar dengan nada bercanda, sambil menempelkan pinggang Eyrin ke sisi tubuhnya. Eyrin tak bisa menyanggah kebenaran kata-kata Edgar. Cuaca hari ini memang sangat panas dan mandi setelah melepaskan hormon oksitosin, saat ini ia memang merasa lebih segar. Jadi ia hanya berdecak sebal menanggapi balasan Edgar. “Lalu, kaupikir apa yang dipikirkan orang melihat kita keluar dari hotel dengan rambut basah seperti ini?” Edgar tersenyum nakal. “Mereka pun pasti punya kebutuhan biologis yang tak bisa mereka sangkal. Aku yakin mereka akan memahami kita sebagai pengantin baru.” Eyrin memutar bola matanya dengan jengah. “Apa kau tidak ada pekerjaan?” tanya Eyrin mengalihkan pembicaraan mereka. Kembali mengingat apa yang baru beberapa saat lalu mereka lakukan di ruang tertutup hanya akan memancing kemesuman Edgar. Edgar mengedikkan bahunya. “Sekretarisku tahu apa yang harus dilakukan jika aku tiba-tiba menghilang seperti ini.” Kerutan tipis muncul di kening Eyrin. “Apa kau sering menghilang seperti ini?” Edgar menggeleng. “Ini pertama kalinya. Dan sepertinya ia harus terbiasa untuk selanjutnya.” Kalimat terakhir Edgar terdengar lebih lirih, dan lebih ditujukan untuk dirinya sendiri. Ia dan Eyrin bekerja di tempat yang sama, memungkinkan keduanya bertatap muka minimal satu kali sehari. Dan ia tak bisa berjanji melewatkan pertemuan itu hanya sebagai pertemuan singkat jika Eyrin semakin hari terlihat semakin menarik seperti saat ini. Eyrin tak terlalu memahami kata-kata Edgar, akan tetapi setelah ia menelaah ulang kalimat tersebut, wajahnya memerah dan tersipu malu. Menyodok perut Edgar dengan sikunya. “Otak kotormu benar-benar tak tertolong, Edgar.” Edgar hanya terkekeh. Menurunkan wajahnya untuk mengecup pipi Eyrin yang semerah kepiting rebus. Tepat saat itu denting pintu lift yang terbuka menginterupsi keintiman mereka. Membuat Eyrin bergegas menjauhkan wajahnya dari Edgar agar tak terpergok berbuat m***m di tempat umum seperti ini. Namun, terlambat. Kedua sosok yang berdiri di depan pintu lift sudah menangkap adegan mesra tersebut, dan terkejut menemukan pasangan tersebut adalah orang yang mereka kenal. Bahkan mereka temui beberapa waktu yang lalu. Eyrin menoleh, terkesiap kaget dan mengurai pelukannya dari Edgar melihat Calvin dan Sellylah yang memergokinya dan Edgar. Sedangkan Edgar, wajah pria itu berubah datar ketika tatapannya dan Calvin serta Selly bertemu. Calvin memaksa satu senyuman terpasang di bibir. “Kalian di sini?” Eyrin menoleh ke arah Edgar dengan canggung. Merasa malu luar biasa terpergok seseorang yang dikenalnya berada di hotel bersama seorang pria. Edgar hanya mengangguk singkat menjawab Calvin. Menarik Eyrin mundur untuk memberi ruang bagi Calvin dan Selly, sekaligus menjauhkan Eyrin dari Calvin. Calvin melangkah masuk, diikuti Selly. Calvin sengaja memilih berdiri di dekat Eyrin dan Selly mau tak mau berdiri di dekat Edgar. Matanya mengamati penampilan Eyrin dari atas ke bawah, dan menyimpan senyuman di bibir. Sudah bisa menebak dengan jelas apa yang membuat Edgar dan Eyrin berada di hotel ini. “Bolehkah aku menganggap kebetulan ini sebagai sebuah takdir, Eyrin?” Calvin menelengkan wajahnya ke arah Eyrin. Menatap lekat-lekat manik wanita itu dengan senyum menggodanya. “Kita bertemu tiga kali, dan kupikir ini bukan kebetulan yang biasa. Dan kita bisa menjadi teman.” Eyrin tampak menimbang-nimbang perkataan Calvin. Melihat Calvin yang berusaha akrab dan tampak tak mengomentari keberadaannya dan Edgar di sini, melainkan lebih menfokuskan pertemuan mereka berdua, membuat Eyrin terlihat lebih santai. “Kau teman Edgar, sudah tentu kita juga akan menjadi  teman.” Calvin terkekeh pelan. Melirik ke arah Edgar untuk menilah ekspresi pria itu. Dan kepucatan yang menggenapi wajah pria itu membuat Calvin merasa puas. “Ya, kuharap kita bisa menjadi lebih akrab.” Eyrin hanya tersenyum tipis, bertanya balik pada Calvin karena tampaknya Edgar ataupun Selly tak berniat memecah keheningan di dalam lift. “Apa yang kaulakukan di sini?” “Kami baru saja bertemu dengan klien dari Singapore yang menginap di hotel ini,” jawab Calvin. Tatapannya langsung beralih ke arah Edgar, tepat di manik pria itu. Eyrin mengangguk-angguk pelan, dan keningnya berkerut tipis merasakan kekakuan tangan Edgar di pinggangnya. Wanita itu menoleh, menangkap tatapan Edgar yang terpaku pada Calvin. Eyrin menoleh ke arah Calvin, dan pria itu tampak membalas tatapan Edgar dengan tak kalah dinginnya. Seolah keduanya bertarung dan menggunakan tatapan sebagai senjata. Kerutan di kening Eyrin semakin dalam, ketika bertanya dalam hati. ‘Bukankah Edgar dan Calvin adalah teman dekat?’ ‘Lalu kenapa ia bisa merasakan aura permusuhan yang menegang di antara tatapan mereka?’ ‘Apa yang terjadi?’ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD