“Hai juga, Calvin.” Eyrin melambaikan tangan dan tersenyum membalas sapaan Calvin. “Kalian di sini juga?”
Calvin mengangguk. Menunjuk restoran yang tepat berada di samping toko kue. “Aku dan Edgar memiliki beberapa hal mewakili perusahaan masing-masing. Dan kalian?” Calvin menoleh ke belakang, melihat toko kue tempat Eyrin dan Regar keluar.
Edgar tak bisa menahan kerutan di dahinya dengan keakraban Eyrin dan Calvin. Ia bahkan tak tahu Calvin dan Eyrin saling mengenal dan menyapa seperti ini. Ya, dulu saat ia cukup dekat dengan Calvin, beberapa kali ia menceritakan tentang sahabat adiknya. Tak pernah lebih.
“Kami sedang mencicipi beberapa kue untuk pesta ulang tahun Regar lima hari lagi.”
“Oh, ya? Sepertinya akan seru jika ada kau. Apa aku boleh ikut?”
“Hah?” Eyrin lalu melirik ke arah Regar. Yang langsung mengangguk menyetujui.
“Ya, kau bisa datang.”
“Dan Selly?” Calvin tiba-tiba merangkul pundak wanita yang berdiri di samping Edgar, seolah menjadi pendengar yang baik. “Ah, aku lupa memperkenalkannya. Aku, Edgar, dan Selly. Kami teman kuliah satu jurusan. Dan Selly, dia Eyrin dan Regar. Istri dan adik Edgar. Kau ingat Edgar beberapa kali pernah menceritakan mereka, kan?”
Eyrin tersenyum hambar, keningnya sedikit berkerut dan bertanya dari mana Calvin tahu tentang pernikahannya dan Edgar. Seingatnya pertemuannya dengan Calvin malam itu, ia tak banyak bercerita.
“Lea yang menceritakannya padaku.” Calvin menjawab pertanyaan yang terucap dari Eyrin.
Selly berjalan mendekat, mengulurkan tangan untuk Eyrin dan Regar sambil menyebutkan nama.
“Aku cukup terkejut Edgar sama sekali tak memberitahu kami kabar bahagian kalian, tapi kita memang lama saling kehilangan kontak.” Calvin melirik ke arah Edgar yang masih tak berkata apa pun.
Regar dan Eyrin mengangguk-angguk pelan. Dan Eyrin terheran melihat bagaimana datarnya ekspresi Edgar.
“Kalian bisa datang bersama,” ujar Regar.
“Ya. Kami akan datang dengan senang hati,” balas Calvin. “Kalau begitu kami pergi lebih dulu. Ada pertemuan lain yang menunggu.”
Eyrin mengangguk.
“Sampai jumpa lagi, Eyrin.” Calvin dan Selly berjalan menjauh. Ke arah mobil biru yang terparkir tak jauh dari tempat mereka.
“Apa kau akan langsung ke kantor?” tanya Regar pada Edgar.
Edgar menggeleng. “May, kau bisa kembali ke kantor,” perintahnya pada sekretarsinya. Kemudian tatapannya bertemu dengan Eyrin dan wanita itu langsung menghindar. Edgar pun berjalan mendekat, meraih pergelangan tangan Eyrin sambil berkata, “Kita perlu bicara”
Regar terbengong, mengangkat kedua tangannya menatap Edgar yang membawa pergi Eyrin begitu saja hingga mengacuhkan panggilannya.
Huffttt ...
Lagi-lagi ia ditinggal sendirian, bati Regar yang masih tertegun menatap bagian belakang mobil Edgar membawa pergi Eyrin.
***
“Setelah apa yang dilakukannya pada kita berdua, aku tak menyangka dia akan menikahi sabahat dari adiknya sendiri,” gumam Calvin dari balik kemudi. Pandangannya dan Selly terarah pada orang yang sama. Pada Edgar dan Eyrin yang saling bergandengan tangan masuk ke dalam mobil Edgar yang terparkir di samping mobilnya.
Selly mengalihkan pandangannya. Menatap ke arah depan. “Sepuluh menit lagi kita harus sudah ada di Grace Hotel.”
Calvin menatap sisi wajah Selly. “Apakah memang hanya sebesar ini arti dirimu untuk Edgar?”
Selly hanya diam.
“Kau tak layak mendapatkan semua ini setelah apa yang kalian lakukan padaku, Selly.”
Selly menoleh dengan gusar. “Kupikir, apa pun yang pernah ada di antara kita udah berakhir, Calvin. Kau tak perlu membuang-buang emosimu memikirkan masa lalu kita. Kecuali jika aku masih memengaruhi dirimu.”
Calvin diam. Manik mereka bertemu selama beberapa detik penuh ketegangan. Tetapi kemudian dipecahkan oleh kekehan Calvin.
“Melihat Eyrin dan Edgar, tiba-tiba membuatku teringat masa lalu kita. Setidaknya bagiku itu masih pantas untuk diingat, kan? Apakah kau tidak?”
Selly mendesah pelan. Menangkap seringai yang berkebalikan dengan kalimat yang diucapkan oleh Calvin. “Apa kauingin membahas masalah ini lebih lama lagi?”
Calvin menggeleng dengan senyum lebar tersungging ke kedua sudut bibirnya. Tangannya memutar kunci dan mulai melajukan mobil ke jalan raya.
***
“Kau mengenal Calvin?” Edgar memulai pembicaraan setelah lebih dari lima menit tak ada sepatah kata pun keluar sejak keduanya masuk ke mobil.
“Dia temanmu,” jawab Eyrin lirih setelah diam sejenak. Tak menyangka Edgar akan memulai lebih dulu memecah keheningan yang canggung ini.
“Apa kau pernah bertemu dengannya?”
“Ya.”
“Di mana?”
“Black Saturday.”
Edgar teringat malam ketika ia menyusul Eyrin ke klub malam itu. “Apa saja yang kalian bicarakan?”
Eyrin menoleh. Mulai terheran dengan pertanyaan-pertanyaan Edgar yang terkesan ganjil. “Apa kau perlu tahu detail pembicaraan kami? Pembicaraanku dengan pria mana pun juga?”
Edgar terdiam seketika.
“Tak hanya adikmu, dan sekarang temanmu sendiri?”
Kedua bibir Edgar semakin dibuat membeku oleh pertanyaan Eyrin.
Eyrin mendesah kesal. Keduanya kembali bungkam. Eyrin tak tahu apa yang ada di pikiran Edgar. Ya, ia menyadari kedekatannya dengan Regar mungkin mampu mengusik kecemburuan pria itu. Tetapi mencurigainya dengan Calvin jelas sesuatu yang lain.
Edgar menurunkan kecepatan mobil dan mulai menepi. Lalu menghentikan mobil di pinggiran jalan dan langsung meraih tangan Eyrin. Memutar tubuh menghadap Eyrin dan menggenggam tangan istrinya dengan kedua tangan. “Maafkan aku.”
Eyrin hanya diam, tak menolak perlakukan Edgar.
“Apa kau memaafkanku?”
Eyrin masih diam.
“Aku tahu ini masih terlalu awal, tetapi sepertinya kau benar-benar memenuhi hatiku, Eyrin. Aku selalu merasa terusik melihatmu dengan pria lain, bahkan dengan adikku sendiri yang seharusnya tak perlu kulakukan.”
Eyrin tercengang, cukup terkejut dengan pernyataan cinta Edgar. Baru beberapa saat yang lalu ia kesal pada Regar karena mengatakan Edgar bukanlah seseorang yang bisa mencintai. Dan secara ajaib, Edgar mematahkan asumsi Regar secepat ini.
Edgar membawa tangan Eyrin ke wajahnya. Mengecup punggung tangan itu dengan sangat lembut. “Jika apa yang kurasakan benar-benar membuatmu tak nyaman, aku akan berusaha mengendalikannya.”
Kerutan tipis tercipta di kening Eyrin. A-apakah maksudnya Edgar akan melenyapkan perasaan itu dari hati pria itu.
“Aku akan berusaha mengendalikan kecemburuanku, tetapi masalahnya. Apa aku bisa memercayaimu?”
Eyrin menemukan ketegangan dalam ekspresi Edgar. Membuatnya terheran dengan tanpa alasan.
“Apakah aku juga memenuhi hatimu seperti yang kau lakukan padaku, Eyrin?”
Eyrin berdehem, membasahi tenggorokannya yang mendadak mengering. Apakah Edgar juga memenuhi hatinya? Eyrin membayangkan jika ada seorang wanita yang tampak sangat dekat dengan Edgar. Memilah satu persatu perasaan yang akan muncul di dadanya. Tidak suka, kesal, marah, dan mungkin ia akan menjambak rambut wanita itu untuk menjauh dari Edgar.
Apakah ini yang namanya cemburu?
“Tidak.” Eyrin menggeleng. Mengusir bayangan-bayangan Edgar dengan wanita tanpa wajah yang ada di kepalanya.
Edgar tak mengerti dengan jawaban singkat Eyrin. “Tidak?”
“Maksudmu, aku ... sepertinya aku paham apa yang kaurasakan jika melihatku dekat dengan pria lain. Aku pun tak suka jika harus melihatmu dekat dengan wanita lain.” Jawaban Eyrin terdengar terbata karena gugup.
Edgar tertegun. Sekali lagi mencerna kalimat Eyrin penuh ketidakpercayaan. “Apakah itu berarti kau pun mulai membalas perasaanku?”
“Mungkin?” Eyrin sendiri tak benar-benar memahami apa yang tengah bergelut di hatinya. Tetapi intinya, sepertinya ia mulai menyukai Edgar dan ia benci jika Edgar tak bisa mencintai dirinya.
Edgar tersenyum, menarik Eyrin dalam pelukannya.
Eyrin pun tersenyum di d**a Edgar. Namun senyum itu seketika lenyap ketika teringat pembicaraannya dengan Regar di toko kue.
‘Tidak akan ada cinta yang melebihi persahabatan kita, Ey.’
‘Apakah yang dikatakan Regar benar?’
Hatinya mulai meragu. Dipenuhi dilema.
“Bolehkah aku menciummu?”
Eyrin mengerjap, tubuhnya tertarik mundur ketika Edgar mengurai pelukannya. Ia pun mengangguk. Tak mampu menahan diri untuk tidak membalas ciuman Edgar yang sangat panas dan menggoda. Pria itu begitu lihat berciuman. Merayu dan memperlakukan dirinya dengan penuh kelembutan dan kehangatan. Membuat Eyrin merasa sangat nyaman dan semakin melekat erat ke tubuh Edgar.
“Kita butuh kamar,” desah Edgar di antara ciuman mereka. “Kupikir aku tahu tempat terdekat.”