"Kalian tau nggak? Kalau peti ini dibuka, kalian berdua bisa jadi salah satu dari mereka."
Alis mata Alvin langsung terangkat tinggi.
"Maksudnya? Jadi salah satu mereka gimana?"
"Ya Jadi Kuyang!" jawab Juliar dengan mantap.
Alvin dan Novan kompak melongo. Jujur mereka tidak paham dengan apa yang baru saja Juliar sampaikan.
"Gimana korelasinya, Jul? Masa iya buka guci bisa jadi Kuyang? Kalau berbahaya, kenapa benda ini ditaruh begitu aja di pinggir danau? Kesannya kayak jebakan."
"Aku ceritain sama kalian berdua, tapi janji kalian harus percaya dengan apa yang akan aku ceritakan."
"Bentar-bentar," potong Alvin. "Sebelum kita lanjut, aku mau tanya lagi. Gimana mungkin jadi kuyang seperti yang kami lihat semalam hanya karena mengintip isi peti kuno yang sengaja di taruh di pinggir danau. Apa ini tidak lebih dari sebuah jebakan? Kalau memang peti ini berbahaya, kenapa nggak di simpan atau disingkirkan saja. Jadi, orang awam nggak akan terjebak untuk penasaran lalu nggak sengaja buka benda antik tersebut. Atau jangan-jangan, tujuannya di taruh begitu saja memang untuk menambah pengikut lainnya?"
Juliar menarik napas berulang kali. Pria itu mengarahkan tangannya. Mengajak Alvin dan Novan untuk duduk di salah satu tempat rindang di bawah pohon beringin.
"Aku ajak kesini supaya kalian itu paham. Tapi tolong jangan lakukan tindakan bodoh yang bisa membahayakan nyawa kalian sendiri!"
Juliar terlihat sedikit kesal. Ia terus saja bersungut-sungut sebal kepada Nisa yang memang lancang mencoba untuk membuka peti antik tadi tanpa bertanya terlebih dahulu. Manusiawi sebenarnya bila Novan sedikit penasaran dengan pemandanga tidak biasa di depannya.
"Jadi, puluhan tahun lalu, atau mungkin ratusan tahun lalu, aku juga nggak tahu pastinya kapan. Nenek moyang kami menaruh tulang belulang ketua adat atau orang penting kedalam peti antik itu untuk mengenang mereka. Lalu barang-barang peninggalan yang melekat di tubuh mereka seperti kalung taring babi, gelang atau koin emas dan lainnya ditaruh ke dalam guci yang berada pas di sampingnya."
Hening sesaat. Alvin dan Novan memilih untuk menyimak cerita yang Juliar jabarkan.
"Udah gitu aja, Jul?" tanya Novan.
Alvin dengan serta merta langsung melotot ke arah Novan, memberikan isyarat agar mulutnya segera ditutup. Memang kebiasaan Novan suka memotong pembicaraan orang.
"Oke, aku diam aja." Novan nyengir lalu menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Tak lama berselang, Juliar kembali melanjutkan ceritanya.
"Semua berjalan biasa saja hingga suatu hari ada salah seorang warga yang berprofesi sebagai dukun kampung bernama 'Dameq' menyalahgunakan keberadaan peti-peti tersebut. Ia mengajak para warga lain untuk memberikan sesaji lalu bertapa beberapa hari di samping peti dan mencoba memanggil roh-roh nenek moyang untuk meminta ilmu."
"Ilmu? Ilmu pelajaran atau ilmu apa, Jul?" Dengan polosnya Novan kembali bertanya.
Kenapa penyakit Novan yang satu ini tidak bisa sedikit pun hilang. Alvin sendiri terkadang heran dengan kelakuan sahabatnya itu yang terlampau polos, ceroboh dan penakut pastinya.
"Bukan, Van. mereka yang bertapa memohon ilmu kekebalan dan awet muda. Kenapa yang dipinta hanya kekebalan dan awet muda? Karena warga zaman dulu masih suka berperang melawan suku lain untuk merebut tanah kekuasaan. Supaya tidak kalah dalam peperangan, tubuh mereka harus kebal dari segala macam s*****a tajam. Dan mengenai awet muda, jelas saja jika kita selalu awet muda otomatis fisik kita akan selalu kuat saat menghadapi perang dengan siapa saja," jelas Juliar panjang lebar.
Alvin dan Novan kemudian manggut-manggut. Akhirnya paham dengan kronologi yang sebenarnya. Dengan begini, mereka tidak penasaran lagi.
"Lalu apa ilmu itu benar bisa didapatkan?" tanya Alvin.
"Iya, bisa. Kalau kamu mengikuti semua permintaan roh-roh ghaib itu, ilmu yang kamu minta pasti didapatkan. Tapi kalian harus tau juga, siapa saja yang membuka peti antik secara sengaja atau tidak, maka akan di anggap meminta ilmu kebal dan awet muda. Jika itu sudah terjadi, orang tersebut harus rela mengabdikan seluruh hidupnya untuk memuja roh-roh ghaib yang bersarang di peti dengan cara menjadi kuyang tadi. Dan jangan lupakan juga sebagai timbal balik dari ilmu yang didapat, kalian harus bisa memberikan mereka minimal satu anak untuk dijadikan tumbal."
Alvin lantas mengernyit heran. Ada perasaan syok mendengar semua penjalasan yang Juliar jabarkan.
"Kenapa harus orang yang sedang menstruasi atau dalam proses melahirkan yang mereka intai? Kenapa nggak orang tua atau para pria saja?"
"Karena mereka berdua (orang hamil dan menstuasi) sama-sama mengeluarkan darah. Kan Kuyang itu butuh darah untuk memperkuat ilmu yang sedang mereka anut. Itu sebabnya mereka lebih senang mengintai orang hamil atau yang sedang menstruasi," jawab Juliar.
Alvin mengangguk paham. Lantas mencoba pelan-pelan mencerna semua yang Juliar jelaskan. Semua yang temannya itu ceritakan benar-benar menarik perhatian Alvin.
"Pada siang hari, seorang kuyang akan menempuh hidup sehari-hari sebagaimana orang biasa. Tetapi biasanya ia mengenakan pakaian jubah. Pada malam hari kuyang akan terbang untuk mencari darah bayi atau darah persalinan untuk dihisap sebagai sarana menambah kekuatan ilmunya. Orang yang melihat kuyang terbang biasanya melihatnya seperti burung besar," tambah Juliar.
Yang benar saja, di jaman modern seperti ini masih ada orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk hal-hal tidak masuk akal seperti ini. Rela menghalalkan segala cara hanya untuk meraih dunia, padahal tinggal dunia juga tak lama karna akhirat lah yang abadi.
"Oh ya, Jul. Orang-orang yang menganut ilmu hitam ini sebenarnya mereka tetap manusia atau sudah berubah jadi makhluk ghaib?" Sekarang, giliran Novan yang terlihat penasaran. Dan untungnya pertanyaannya kali ini lebih berbobot dari pada biasanya.
"Kalau siang mereka ya tetap manusia pada umumnya. Tapi kalau malam sudah tiba biasanya mereka langsung berubah menjadi kuyang dan siap terbang kemana saja mencari mangsa."
"Terus selama ini apa ada dari mereka yang terang-terangan tertangkap warga?" tanya Alvin kemudian.
"Dulu waktu di awal warga takut, tapi makin kesini banyak warga yang gerah dan melawan bahkan berani menangkap mereka. Pernah suatu hari kejadian salah satu dari mereka tertangkap, warga langsung mengurung kepala itu di kandang ayam hingga pagi. Asal kalian tahu juga makhluk itu bisa mati kalau sampai dua puluh empat jam tidak tersambung kembali ke badannya. Jadi kalau sewaktu waktu kalian menangkap makhluk itu, pisahkan saja ia dari badannya atau kalau kalian ketemu badannya di semak belukar atau di balik pohon, masukkan saja di dalam tubuhnya akar ranting atau benda-benda tajam sampai penuh hingga kepala nya tidak bisa masuk atau merapat ke tubuhnya."
"Apa mereka yang sudah terlanjur menganut ilmu hitam itu bisa sembuh atau maksud aku bisa kembali menjadi manusia normal seperti sebelumnya?"
"Maksud kamu mereka tobat?" tanya Juliar memastikan.
Alvin langsung menganggukkan kepala.
"Iya maksud aku bisa nggak mereka yang udah jadi kuyang itu kembali menjadi normal seperti sebelumnya."
Juliar mengedikkan kedua bahunya lalu menjawab.
"Katanya, sih, bisa. Tapi aku kurang tahu soal di mana dan siapa yang bisa ngobatin mereka yang udah telanjur jadi kuyang," jawab Juliar dengan singkat.
Menarik, Alvin benar-benar terperanjat dengan semua yang di ceritakan Juliar. Ia sampai tidak habis pikir di Zaman modern seperti ini masih ada orang yang mencari kehebatan dengan cara instan. Bagaimana bisa seseorang merelakan akal sehatnya demi mengejar dunia.
Setelah lama berbincang dengan Juliar, mereka bertiga beranjak untuk pulang kerumah karena hari sudah semakin sore. Menyusuri kembali jalanan desa yang makin lama makin terlihat sepi karena para warga sudah mulai kembali pulang ke rumah masing-masing. Juliar hari ini bersedia mengantarkan para temannya hingga sampai ke depan pintu rumah.
Saat itu sudah menunjukkan pukul lima sore. Dan sudah pasti sebentar lagi akan memasuki waktu magrib. Ketika memasuki pekarangan rumah, Alhin mendapati Kak Maria sedang menyapu dedaunan kering di halaman samping rumah. Sontak saja dengan ramah dan sopan Alvin langsung menegur.
"Kakak Udah enakan badannya?"
"Udah kok, Vin," jawab kak Maria singkat lalu masuk ke dalam rumah. Ada raut wajah tak enak yang Alvin tangkap dari wajah kakak iparnya itu. Entah apa yang membuatnya bersikap demikian. Apakah karena kedatangan Alvon yang membawa serta Juliar?
Dari arah berlawanan, Alvin juga bisa melihat bagaimana Juliar yang tidak hentinya memperhatikan Kak Maria. Seperti ada yang mengganjal di hatinya namun tak ingin sama sekali di baginya kepada orang lain.
"Aku pulang dulu ya, oh iya kalian hati-hati perasaan aku nggak enak sama kakak perempuanmu itu," ucap Juliar berbisik.
Kening Alvin berkerut dalam setelah mendengar apa yang Juliar lontarkan. Kenapa anak ini senang sekali membuat Alvin penasaran sekaligus bergidik cemas.
"Maksud kamu kak Maria? Memang kak Maria kenapa?"
"Ah, nggak apa-apa mudahan aja dugaan aku salah. Ya sudah, aku pulang dulu. Lagian udah mau magrib. Ingat kalian harus hati-hati nggak usah keluar rumah kalau nggak darurat," pinta Juliar. Seperti biasa pria itu memberikan peringatan.
"Jul, tunggu dulu." Alvin tiba-tiba mencoba mencegat Juliar. "Tolong jelasin apa maksud perkataanmu. Apa ada sesuatu yang salah sama kak Maria? Tolong beri tahu kami, jadi kami berdua bisa antisipasi sebelum terlambat!" pinta Alvin memohon.
"Nggak apa-apa kok, Vin. Mungkin ini perasaanku aja. Udah kamu nggak usah takut. Sekarang mending kalian masuk Mandi, Makan, trus istirahat yang cukup," balas Juliar.
Seperginya Juliar, Kepala Alvin mendadak pening. Tiba-tiba saja otaknya dipenuhi berbagai macam pikiran. Kenapa desa ini menyimpan begitu banyak misteri. Alvin sampai kebingungan, sebenarnya kedatangan ia dan Novan ke sini pilihan tepat atau malah membahayakan nyawanya sendiri.
.
.
(Bersambung)