Di luar sepengetahuan Reino, sang ibu menahan napas mendengar pernyataannya.
Apalagi kemudian Reino menambahkan pula, “Kasihan keluarganya Faisal, ya Bu. Padahal kita juga tahu, masa kontrak rumah itu kan setahun. Tapi mereka keluar dari rumah secepat ini. Tahu nggak Bu, Reino tuh, jadi mikir deh. Sebenarnya ada apanya sih, dengan rumah itu? Seperti ada hantunya saja.”
Tak urung Bu Sabrina terusik mendengar pernyataan spontan Reino yang sangat di luar dari perkiraannya. Gerakan tangan wanita itu, yang semula hendak menusuk potongan martabak dengan garpu untuk memindahkannya ke piring kue yang ada di hadapannya, mendadak terhenti begitu cepat. Tangan kanan bu Sabrina bagai melayang di udara, tertahan secara konstan di sana.
Lantas, bu Sabrina mendongakkan wajahnya, menatap pada sang anak, pas di mata Reino.
“Hush! Kamu tuh, Rein! Jangan sembarangan, ah, ngomongnya!” tegur Bu Sabrina halus.
Alih-alih mengindahkan teguran bu Sabrina, Reino malahan mengangkat alisnya sebagai respons.
“Ih.. sembarang gimana sih, Bu?” protes Reino lirih.
Sang ibu memasang wajah super serius. Tampak seperti siap menjelaskan sebuah fakta yang super penting.
Tak ada pilihan bagi Reino kecuali diam menyimak.
“Rein, dengar baik-baik. Pak Pramono sudah tinggal di situ dari beliau masih kecil. Rumah itu, dan kebun di sampingnya, kan, peninggalanya orang tua Pak Pramono, ya meski sudah mengalami beebrapa kali renovasi. Sepanjang yang ibu ingat, selama mereka sekeluarga tinggal di sana semuanya baik-baik saja kok. Nggak pernah sekalipun, beredar cerita miring atau yang berbau-bau mistis. Jauh lah, itu semua,” jelas Bu Sabrina pula, mengungkapkan ketaksetujuannya atas pernyataan anak lelakinya.
Alih-alih menunjukkan persamaan pandangan dengan komentar sang ibu, Reino justru mengangkat bahunya, menanggapi komentar ibunya.
“Iya sih, Bu. Tapi itu kan, dulu. Du.. lu,” kata Reino, sengaja mengeja kata ‘dulu’ seolah hendak menegaskan bahwa telah terjadi perubahan keadaan di rumah sang tetangga. Bukan hanya penghuni yang trus berganti, tetapi mungkin juga suasana di dalam rumah tersebut.
Bu Sabrina melihat pada putra semata wayangnya dengan tatapan seolah bertanya, “Maksudnya apa Rein? Coba, jelaskan ke Ibu!”
Reino yang paham akan arti pandangan mata sang ibu segera menjabarkan apa yang ada di dalam pikirannya.
“Gini lho maksud Reino, Bu. Ya, kan, kita kenal sama mereka sekeluarga yang dekat sama warga sekitar. Kecuali Laksmi sih, yang mungkin, mirip Kinanti, hobby mengurung diri di kamar. Laksmi memang nggak terlalu suka kumpul-kumpul. Laksmi kan, kuliah di Melbourne. Terus saat lulus kuliah dan kembali ke tanah air, kelihatannya kerjaannya sibuk. Pergi pagi pulang malam. Nggak heran dia memilih berdiam diri di rumah pas akhir pecan, ogah terlalu terlibat ke kegiatan warga,” ungkap Reino.
Reino tidak sadar, sang ibu hampir berjengit. Entah merasa tidak nyaman di bagian mana dari apa yang Reino sampaikan. Seperti mendapat angin, Reino malah melanjutkan perkataannya dengan teramat lancar.
“Tapi, setidaknya Bu, mereka sekeluarga cukup dikenal sama warga, lah. Biarpun, letak rumah mereka itu unik, seperti dikelilingi lahan kosong, begitu. Tetangga terdekatnya, ya, kita. Wajar sih, mereka kan termasuk orang lama, bisa dibilang orang asli sini. Sementara warga yang lain datang dan pergi silih berganti. Ada yang rumahnya dijual karena pindah tugas, ada yang pulang kampung, ya macam-macam deh,” urai Reino.
“Nah, itu kamu tahu,” potong sang ibu seperti mendapatkan celah untuk mengakhiri pembahasan yang agak mengganggu selera makannya ini.
Spontan, Reino tersenyum miring.
“Belum kelar Reino ngomongnya, Bu. Juatru yang terpikir sama Reino, semenjak Pak Pramono meninggal, menyusul istrinya yang sudah meninggal duluan tiga tahun sebelumnya, mulai deh..,” Reino menjeda ucapannya.
Barangkali kombinasi dari mengkonsumsi makanan manis dan berbicara panjang-panjang membuatnya merasa tenggorokannya amat kering. Maka Reinopun mengambil dua gelas kosong, mengisinya dengan air dingin dari kulkas di belakang kursi yang didudukinya. Dia menyorongkan salah satunya kepada bu Sabrina, disertai dengan tatapan penuh bakti.
Sungguh jenis tatapan mata yang selalu mampu membuat hati bu Sabrina meleleh bak sebatang coklat yang terlampau lama terkena panas, karenanya. Tatapan yang kadang menggelitik perasaan bu Sabrina yang merindukan saat-saat ketika ketiga anaknya masih kecil. Saat-saat di mana dirinya dan suaminya bebas merangkul tubuh mereka, menciumi paras mereka atau mengacak-acak serta membelai rambut ketiga anaknya dengan sayang, meski di depan umum sekalipun. Tindakan yang mulai membuat paras anak-anaknya sedikit memerah dan tak ragu mengungkap protes, begitu mereka memasuki masa remaja. Alasannya, mereka sudah besar, malu jika diperlakukan macam itu di depan orang lain.
“Bu, benar kan yang Reino pikirkan? Ibu sependapat kan?” tanya Reino, membuyarkan lamunan singkat bu Sabrina tentang masa kecil ketiga buah hatinya.
Bu Sabrina menggangkan telapak tangannya dengan santai.
“Ah, nggak ada apa-apa, kok. Kamu itu, terlalu banyak mendengar ceritanya Mbak Asnah, ya?” tanya bu Sabrina.
“Bu..,” Reino memotong kalimat sang ibu dengan tatapan protes.
Bu Sabrina mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa ucapannya belum tuntas, maka Reino membungkam mulutnya.
“Rein, apa yang kamu dengar dan kemudian kamu pikirkan secara mendalam itu, belum tentu benar lho. Bisa jadi, asalnya itu dari pergunjingan ibu-ibu saat memilih sayur atau sewaktu arisan, terus dibumbui deh biar bombastis,” tepis Bu Sabrina, bermaksud mengakhiri pembicaraan yang tidak disukainya ini. Dia sampai merasa perlu untuk mengibaskan tangannya secara ekspresif, demi mempertegas sikapnya.
Tetapi Reino sama sekali tidak sependapat dengan sang ibu. Ia langsung menggelengkan kepalanya menanggapi perkataan bu Sabrina.. Dia juga sudah siap dengan argumen yang dirasanya tepat.
“Tuh, kan, Ibu, kok begitu terus? Reino belum selesai ngomong, sudah dikomentari duluan. Dengar dulu dong, maksudnya Reino,” katanya. Nadanya rendah, tetapi berisi permohonan mendalam. Luluh hati sang ibu dibuatnya.
Tak punya pilihan, Bu Sabrina hanya mengedikkan bahunya merespons protes putra kesayangannya.
“Ya sudah, kamu mau ngomong apa memangnya?” Bu Sabrina balik bertanya, meski masih digayuti rasa enggan.
“Nah, gitu dong, Bu,” kata Reino sambil tersenyum tipis. Diacungkannya ibu jarinya, memuji sang ibu. Faisal memutuskan untuk berpindah duduk dan memutari separuh badan meja. Jika semula dia berhadapan dengan sang ibu, kini bergeser ke sisi yang sama dengan ibunya. Tangan Faisal menarik sebuah kursi, lantas dia duduk di sana, tepat di sebelah sang ibu.
“Maksud Reino, terjadi perubahan besar pada sikap anak-anaknya mendiang Pak Pramono. Mereka tuh berangsur jadi misterius, menutup diri, membatasi bergaul sama warga sini. Reino nggak ingat pasti kapan mulainya. Mungkin sepeninggal Pak Pramono, ya?” bola mata Reino bergerak ke atas sisi kirinya, seperti mengingat-ingat.
“Ya, ya, tampaknya semua misteri berkepanjangan ini bermula dari situ. Dan delapan bulan kemudian, tahu-tahu Mas Taufan, Mbak Natasya istrinya, sama Bondan dan Nesya, anak-anak mereka, berpamitan kemari. Ibu masih ingat, kan?” tanya Reino, hendak memastikan.
Sang ibu hanya menanggapi Reino dengan mengangguk kecil saja.
“Waktu mereka datang kemari, pamit ke Ayah, Mas Taufan bilang sih mau pindah ke Cianjur. Kalau nggak salah, Mas Taufan juga menyampaikan ke kita bahwa dia sekalian mau mengurus tanah dan beberapa rumah peninggalan Pak Pramono di Cianjur dan sekitarnya. Yang itu, ibu ingat, kan?” desak Reino kemudian, menyebut nama putra sulung pak Pramono, Taufan Priyanto Wirahadi.
“Ya, ibu ingat, kok, soal itu,” sahut bu Sabrina lirih.
Reino mengangguk dan menggerakan tangannya. Seperti orang yang baru saja mendapatkan petunjuk penting yang telah sekian lama ia cari.
“Nah, kan? Anehnya, sewaktu kita tanya Mbak Laksmi ke mana, kok nggak ikut pindahan sama-sama mereka, Mas Taufan pakai acara tergergap begitu. Akhirnya, dia bilang, Mbak Laksmi sangat terpukul sama kepergian Pak Pramono karena dia itu kesayangannya Pak Pramono, jadi ogah menempati rumah itu lagi,” jawab Reino.
Perkataan Reino membuat Bu Sabrina tercenung sesaat.
Bayangan wajah gadis bernama Laksmi Endhita Wirahadi, yang mewarisi kecantikan sang Ibu, Marlena Sulianty, melintas tanpa permisi di benakbu Sabrina. Laksmi, gadis belia yang begitu cantik lagi memesona. Matanya yang besar itu masih disempurnakan dengan sepasang alis lebat yang bak kanopi yang menaungi matanya. Hidungnya bangir, membuat tampilannya selintas mirip dengan keturunan Pakistan. Sudah begitu, bibir Laksmi, si gadis muda itu, teramat ranum, bak buah segar yang menggoda siapapun yang melihatnya untuk mencicipinya. Bu Sabrina yakin, kaum Adam tentunya tergoda untuk melumat bibir ranum Laksmi ketika menyaksikan gadis itu bicara. Ya, melumatnya barang sekejap, minimal dalam angan mereka, di dalam ‘lamunan jorok’ mereka.
- Lucy Liestiyo -