Lantas, Suara Laksmi yang serak basah itu, dipastikan Bu Sabrina, sanggup membuat hati kaum pria sontak menggelepar mendengarnya, apalagi ditambah tatapan matanya yang sayu, seolah meminta perlindungan. Rambut panjang Laksmi yang dibiarkan tergerai hingga hampir menyentuh pinggang. Seakan, Laksmi sengaja melakukan hal tersebut untuk menutupi lekuk tubuhnya yang sungguh aduhai. Semua deskripsi yang melekat pada diri Laksmi, dengan mudah diingat oleh Bu Sabrina saat ini.
“Tapi kenapa, dengan kemudaannya, pesona fisik yang demikian, latar belakang pendidikannya yang baik serta lingkungan pergaulannya yang tentunya luas, mengapa putri bungsu Pak Pramono itu masih saja melajang? Andaipun menikah muda memang tiada dalam kamus hidupnya seorang Laksmi, tetap saja aneh. Masakan gadis itu belum mempunyai kekasih, atau minimal, teman dekat yang sedang saling menjajagi kemungkinan menjalin hubungan asmara?” Pemikiran yang dulu kerap timbul di hatinya setiap kali didera rasa penasaran lantaran almarhum Pak Pramono tidak pernah menyinggung siapa teman dekat dari putri kesayangannya yang dibanggakannya sangat pandai bermain piano itu, kini muncul kembali, seiring kecurigaan yang sama.
Dulu pun, Bu Sabrina meragukan, mungkinkah Laksmi akan mampu menjaga diri dengan baik selama menuntut ilmu di negeri orang. Kerap kali ia meyakini pemikiran yang mencuat di benaknya. Bu Sabrina pikir, tentunya ada sesuatu yang hal membuat Laksmi trauma, sehingga gadis itu belum kunjung menikah di usianya yang menurutnya telah cukup untuk menikah, setidaknya memiliki teman dekat. Malahan, sebuah prasangka buruk pernah pula terbersit olehnya. Ya, pernah terpikir oleh Bu Sabrina, Laksmi terlibat hubungan terlarang yang disembunyikannya rapat-rapat dari warga sekitar, dan bisa jadi luput dari pengetahuan keluarganya.
“Bu, kok diam? Nggak pernah curiga? Kan, nggak masuk akal dan berlebihan, ya, masa Mas Taufan bilang, Mbak Laksmi ogah tinggal di rumah itu lagi? Itu rumah kenangan mereka loh, semenjak lahir mereka tinggal di situ,” Reino menyenggol lengan ibunya.
Lamunan bu Sabrinapun buyar seketika.
“Bu, ibu pernah mikir nggak, bahwa mas Taufan itu mengada-ada? Reino nggak percaya sama alasan mas Taufan yang bilang ke kita bahwa Laksmi memilih nggak tinggal di rumah itu lagi?” ulang Reino, lantaran sang ibu belum juga menyahutinya.
Bu Sabrina mendengus pelan. “Ya mungkin saja sih Rein, kalau tinggal di situ justru selalu membuatnya terkenang kedua orang tuanya yang sudah tiada. Dia itu, kan, anak bungsu, paling dimanja pula! Khususnya sama Pak Pramono. Sudah begitu, umurnya dia, kan, terpaut jauh sama Taufan, hampir sepuluh tahun. Karena sebetulnya, dia punya kakak kembar, di atasnya. Sayangnya, keduanya meninggal sewaktu bayi,” kenang Bu Sabrina.
Reino kurang menyadari, sang ibu seperti kurang senang menyebut nama ‘Laksmi’ dan lebih memilih memakai kata ganti ‘dia’.
Anak muda itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bukan seperti ini tanggapan yang diharapnya dari sang ibu.
“Ibu percaya, perkataan Mas Taufan, bahwa Mbak Laksmi memutuskan balik ke Aussie? Mau kuliah lagi sambil bekerja paruh waktu, di sana? Secepat dan setergesa itu?” korek Reino.
Bu Sabrina mengangguk.
“Percaya. Itu bagus kan buat dia? Dari pada dia merasa sedih terus di sini. Ibu bisa merasakan betapa dia terpukul dengan kepergian orang tuanya. Sudah begitu, Natasya, kakak iparnya itu nggak setiap hari ada di rumah menemaninya. Natasya kan bolak-balik Jakarta-Sumedang, nengokin orang tuanya yang kerap sakit-sakitan. Bondan sama Nesya, keponakannya juga sering ikut menginap di Sumedang,” bu Sabrina menghentikan sejenak uraiannya dan meneguk tuntas isi gelasnya.
“Begitu, ya Bu?” Reino setengah bergumam.
“Iya, Rein. Pastinya, Laksmi kesepian di rumah, hanya berduaan saja sama Taufan. Wajar kan, kalau Laksmi akan mudah terpancing untuk menangis, setiap terkenang masa-masa indahnya dengan orang tuanya sudah terlewat dan nggak mungkin akan kembali lagi? Mereka itu kan, nggak pakai asisten rumah tangga yang tinggal di dalam. Cuma ada si Milah, yang datang beberapa jam, untuk beresin pekerjaan rumah, dua atau tiga hari sekali. Kalau dia butuh teman bicara, nggak selalu ada,” sahut bu Sabrina.
Reino menggelengkan kepala, tampak tidak puas dengan keterangan sang ibu.
“Masa, Mbak Laksmi nggak pamit kemari, Bu? Kesannya nggak beretika banget. Benar-benar susah dinalar,” kata Reino seakan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Pertanyaan Reino membuat bu Sabrina berpikir sesaat.
“Soal itu, ibu sama Bapak juga menyesalkan. Kan kesannya jadi kurang baik saja. Tetapi, akhirnya kami maklum. Selain masih belum bisa menerima kepergian Pak Pramono, bisa jadi, Laksmi terburu-buru setelah semua dokumen perjalanannya siap,” terang Bu Sabrina.
Membicarakan kepergiaan Laksmi yang tanpa pamit, membuat rasa enggannya menjadi-jadi. Sebersit tanya adakah Laksmi sengaja tidak pamit lantaran menyimpan kekecewaan pada dirinya, buru-buru ditepis olehnya. Bu Sabrina sangat tidak rela untuk membiarkan sejumput rasa bersalah mengancam ketentraman hatinya.
Sebaliknya, mendengar tanggapan sang Ibu yang dinilainya terlalu datar, Reino semakin tak puas. Dia siap mengungkit sejumlah fakta yang ada, berkaitan dengan rumah peninggalan pak Pramono itu. Dan dia siap untuk mengalihkan fokus pembicaraan, bukan lagi kepada Laksmi seorang, melainkan ke pokok permasalahan, rumah bernomor 4 tersebut.
“Bu, pernah nggak, ibu kepikiran, sesuatu terjadi di rumah itu? Reino perhatikan, semua penyewanya bernasib buruk. Memang, segalanya itu masih diselubungi misteri. Tapi Reino perhatikan, polanya sama,” ujar Reino.
Sang ibu mengangkat sebelah alis tanpa mengatakan apa-apa.
Hampir saja Reino lepas kontrol, nyaris hendak mengatakan, “Rumah itu seperti terkutuk, atau dikutuk. Dan kutukan itu menimpa kepada semua penghuninya. Padahal apa salah para penghuninya? Mereka kan hanya menyewa? Masa mereka semua melakukan kesalahan serupa, dan beruntun? Ini misterius banget.”
Beruntung, dia masih sempat mengurungkan niatnya. Dia tak ingin ibunya marah dan menegurnya secara keras disebabkan pilihan katanya yang keterlaluan serta prasangka buruknya terhadap rumah tersebut.
Karenanya, Reino memilih untuk manggut kecil saja. Tidak ingin terlalu mendiskreditkan rumah tersebut secara verbal di hadapan sang ibu.
“Nih, bu, pola yang Reino maksud. Mereka datang dalam kondisi berkecukupan, suasan hati riang gembira dan sebagainya. Celakanya, sekeluarnya dari rumah, kok, ya… begitu, deh. Kalau nggak sakit, ekonominya merosot, sepertinya mengalami keretakan rumah tangga. Ibu ingat sama Maudy? Waktu datang, dia dan Richard, suaminya, terlihat sebagai pasangan bahagia,” ungkit Reino, memberikan salah satu contoh.
Bu Sabrina mengenang penampilan Maudy. Selagi dia mengingat-ingat, sang putra terlihat membuka mulut, hendak bicara lagi.
Benar saja.
“Bu, Mbak Asnah bilang, ibu-ibu sering ngerumpiin Maudy sama Richard, kalau pas belanja sayur. Kata ibu-ibu itu, sewaktu berpapasan dengan Maudy dan Richard di supermarket, kelihatan sekali kemesraan mereka. Istilahnya, Richard itu disebut ‘family man’ banget dan sering melihat Maudy dengan tatapan memuja,” Reinopun tersenyum geli mendengar diksi yang dipilihnya sendiri, sudah mirip Cewek-cewek pemuja sinetron saja.
“Masih cerita Mbak Asnah nih, para ibu-ibu, diam-diam iri pada Maudy. Soalnya, Richard terlihat sebagai ayah penyayang buat kedua anak mereka. Mereka sering melihat Richard yang luwes menyuapi anaknya di teras, dan begitu sabar menemani keduanya bermain. Pokoknya, ibu-ibu itu pada bilang, beruntung banget jadi seorang Maudy. Ya, kita nggak tahu pasti, apa yang terjadi. Yang jelas, saat pindahan, Richard nggak terlihat sama sekali. Entahkah Maudy sudah ditinggalkan atau apa,” urai Reino panjang lebar.
Bu Sabrina belum merespons. Karenanya, Reinopun berkesimpulan ibunya tengah memikirkan sesuatu.
“Terus, keluarga Pak Setiawan.,” Reino baru akan melanjutkan pembahasan yang mengganjal di hatinya, tetapi sang ibu keburu memotong, “Ibu pikir, lama-lama kamu mirip ibu-ibu sekitar sini, deh Rein, suka ngerumpi.
Komentar yang singkat, tetapi bermuatan rasa tak suka yang demikian kental itu ampuh membuat Reino terenyak. Tetapi, dia tak semudah itu menyerah. Diseretnya kursinya, lebih mendekat pada sang Ibu. Segera dipelankannya suaranya, seolah sedang membicarakan sesuatu hal yang pantang didengarkan oleh pihak lain.
“Ini bukan ngerumpi, sifatnya Bu. Reino curiga, dan tergugah mengungkap semuanya. Bapak kan, ketua rukun tetangga di sini Bu. Sudah lama, pula. Ibu juga sesekali datang di kegiatan ibu-ibu. Reinopun kalau ada waktu masih menyempatkan ikut kegiatan anak muda di sini. Kan nggak enak Bu, kesannya kita mendiamkan hal buruk menimpa warga sendiri?” sahut Reino serius.
Hening sesaat. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir ibu dan anak itu.
Akhirnya, Bu Sabrina lebih dahulu angkat suara, “Ibu sudah kenyang, makan martabaknya.”
Mendengar ucapan sang ibu yang teramat datar, pipi Reino serasa ditampar keras.
Kalimat singkat yang keluar dari mulut sang ibu barusan, sama saja dengan sebuah penolakan super tegas. Ya, tampaknya ibunya sudah mengambil sikap, tak mau lagi membahas lebih lanjut apa yang barusan mereka percakapkan. Entah karena alasan apa. Yang jelas, Reino tak ingin membuat sang ibu kian gusar padanya.
Bila diibaratkan dengan saat dirinya menawarkan suatu produk kepada prospeknya, situasi yang dialami barusan ini, mirip dengan dirinya mendapati sebuah pintu yang dibanting keras tepat di depan wajahnya, nyaris membentur hidungnya. Itu sama saja dengan peringatan, “No way! Stay away from me!”
Tapi tidak, ini lebih dari sekadar menghadapi sebuah prospek. Tidak. Ini lebih dari itu, ditinjau dari segi manapun.
Sebab bagaimanapun, yang tengah dihadapinya ini adalah ibunya. Seseorang yang meskipun terkadang terkesan menyimpan banyak rahasia, tetap saja memiliki hubungan batin begitu dekat dengannya, melebihi cairnya hubungannya dengan sang Ayah yang lumayan ‘nyambung’ kalau diajak bicara apa saja dengannya.
- Lucy Liestiyo -