“Maaf, Pak Tody, berhenti sebentar di depan rumah bercat biru di depan itu. Saya hampir lupa berpamitan ke pak Shendy Aryanto Sadewo, ketua rukun tetangga di sini,” kata Faisal kepada supir truk.
“Baik Mas Faisal,” kata Pak Tody pula.
Ia segera memperlambat laju truk yang sejatinya memang lambat, lalu memberhentikan kendaraan tersebut, sesuai perintah yang diterimanya dari Faisal.
“Tunggu sebentar ya Pak,” pesan Faisal yang bergegas turun.
“Silakan Mas Faisal,” sahut Pak Tody ramah.
Begitu menjejakkan kakinya ke tanah, Faisal bergegas mendekati pagar dan membunyikan bel yang terletak di tembok samping, tepat di dekat pagar. Cukup satu kali dia memencet bel itu lalu menanti pemilik rumah berjalan keluar.
Satu setengah menit berselang, seorang perempuan paruh baya membukakan pintu pagar untuknya. Faisal segera menganggukkan kepalanya dengan santun.
“Selamat siang, bu Sabrina. Apakah pak Shendy ada di rumah?” tanya Faisal santun.
Yang disapa Faisal adalah istri dari Pak Shendy, yakni bu Sabrina Arumi Wulandari.
“Bapak sedang ke rumah saudaranya, Nak Faisal. Ayo, silakan masuk. Ada yang bisa dibantu?” tanya Bu Sabrina sembari mempersilakannya masuk.
“Terima kasih, Bu,” sahut Faisal menuruti ajakan Bu Sabrina untuk masuk. Dia melangkah tepat di belakang bu Sabrina, melintasi pekarangan rumah lalu mengarah ke beranda rumah mungil yang ditempati keluarga pak Shendy.
Setibanya di beranda, bu Sabrina mempersilakannya duduk. Lagi-lagi Faisal mengucapkan terima kasih.
“Saya kemari mau berpamitan ke Bapak, Bu,” Faisalpun menyampaikan maksud kedatangannya.
Bu Sabrina menatapnya.
“Jadi, pindahannya hari ini, Nak?” tanya bu Sabrina.
“Iya, Bu,” sahut Faisal, pendek namun sopan.
“Begitu, ya Nak? Nanti sore, kemungkinan Bapak sudah kembali ke rumah kok. Nak Faisal masih bolak-balik, kan, untuk mengangkut barang-barang?” tanya Bu Sabrina. Wanita paruh baya itu seperti tengah melemparkan opsi agar Faisal datang lagi saja nanti, apabila ingin bertemu langsung dengan suaminya.
Diiringi oleh sebuah gelengan lesu dan wajah yang muram, Faisal berkata pelan, “Sudah beres semua, Bu. Cukup dua kali angkut. Kan, sebagian besar barang-barang milik kami sudah dijual untuk..,” Faisal menggantung kalimatnya.
Melihat betapa muram wajah pemuda belia di depannya, hati Bu Sabrina mencelos. Nalurinya sebagai seorang ibu adalah ingin menunjukkan perhatian serta dukungannya.
Tangannya terulur, dan refleks menepuk pundak Faisal dengan iba dan berkata dengan lembut, “Ya, ya. Ibu mengerti, Nak Faisal.”
“Bagaimana perkembangan kesehatan Ayahmu sekarang? Maaf, seminggu terakhir ini, kami sedang disibukkan macam-macam acara keluarga, jadinya belum sempat menengok ke rumah sakit lagi,” sambung bu Sabrina.
Pertanyaan Bu Sabrina membuat Faisal terdiam sesaat. Terbayang olehnya kondisi terkini ayahnya yang kian memburuk saja. Pak Yanuar yang dulu segar bugar, fit, sejak terkena penyakit stroke, segera dihinggapi oleh kendala kesehatan lainnya. Mau tak mau, hati Faisal kian kecut saja, memikirkan akan seperti apa gerangan hidup keluarga mereka ke depannya. Tambahan pula, otaknya enggan diajak berpikir. Seolah semua jalan terlihat buntu. Hanya hitam. Kelam. Pekat. Itu saja yang tergambar dalam pandangannya.
“Nak Faisal, kami benar-benar mohon maaf,” Bu Sabrina mengulang pernyataanya.
Faisal tersenyum getir sebelum menjawab, “Tidak apa kok, Bu. Kami mengerti. Terlebih, akhirnya kami terpaksa memutuskan untuk merawat Bapak di rumah saja, kok. Kebetulan, salah satu saudaranya Bapak dipindah tugaskan ke kota Palangkaraya. Kami diminta untuk mengurus rumah mereka. Kan, kami sudah nggak mungkin kembali ke rumah dinas yang telah ditempati pengganti Ayah.”
Bu Sabrina diam beberapa detik mendengarnya, memberi waktu pada dirinya sendiri untuk menetralisir rasa prihatin yang menderanya. Juga secuil rasa sedih, menyayangkan mengapa ia harus kehilangan tetangga sebaik keluarga pak Yanuar.
“Oh, seperti itu. Sabar ya Nak Faisal, semoga kesehatan Pak Yanuar lekas pulih, dan kehidupan kalian sekeluarga membaik, melebihi sebelumnya,” hibur bu Sabrina miris.
Faisal mengiakan ucapan bu Sabrina. Itu serupa benar dengan doa yang dipanjatkannya setiap hari, setiap waktu. Doa yang dia yakin, dinaikkan juga oleh ibu serta adiknya, bahkan mungkin juga sang ayah, meski sang ayah tak pernah secara verbal menyinggungnya.
“Amin, amin. Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu, tolong sampaikan salam kami sekeluarga ke Pak Shendy dan lainnya. Kami sudah sempat berpamitan kepada warga sekitar sebelumnya. Mohon maaf, kalau sekiranya, selama kami tinggal di sini, kami berbuat kesalahan, baik disengaja maupun tidak,” ucap Faisal sungguh-sungguh. Ia bersiap bangkit berdiri.
Bu Sabrina menggeleng-gelengkan kepala menanggapi perkataan Faisal, lantas menepuk pundak pemuda itu lagi, bermaksud memberikan dukungan moral.
“Ah, nggak ada yang salah, Nak Faisal. Baik, sampaikan salam keluarga kami, buat bapak, ibu dan Nak Afifah. Hmm…, sebetulnya sayang ya, kalian, kan, mengontrak rumah itu untuk jangka waktu satu tahun, seingat ibu?” sahut Bu Sabrina, bergumam lirih di ujung kalimatnya. Namun, gumaman itu sampai ke telinga Faisal.
Faisal tersenyum kecut.
“Apa boleh buat, Bu. Yah, paling-paling sisa lima setengah bulan lagi. Nggak apa, lah. Soalnya, jarak rumah saudara Ayah dekat sekali ke rumah sakit, cuma sepuluh menit berkendara. Akan sangat memudahkan apabila Ayah harus kontrol. Yah, sambil menunggu terjualnya rumah kami di pinggiran Tangerang. Sekalian menunggu kuliahnya Afifah beres. Mari Bu Sabrina, saya pamit. Biar nggak kesorean nanti,” kata Faisal, lantas bangkit berdiri. Berkata begitu, pandangannya menerawang sesaat. Menunggu kuliah Afifah beres? Anak itu bahkan baru duduk di semester dua!
Bu Sabrinapun bangkit dari duduknya.
“Mari, Ibu antarkan Nak Faisal ke depan. Sabar, ya, Nak Faisal. Semoga segera terbuka jalan keluar terbaik bagi keluarga Nak Faisal. Sekiranya ada waktu, singgahlah kemari,” kata Bu Sabrina kemudian, seraya mengiringi langkah kaki sang tamu meninggalkan beranda.
“Amin. Terima kasih Bu Sabrina. Saya pamit,” ucap Faisal setibanya langkah kaki mereka di depan pagar rumah.
*
Pada saat melepas kepergian Faisal tadi, rasa kehilangan yang besar mendadak menyergap Bu Sabrina, tak sempat tercegah. Di matanya, keluarga Pak Yanuar cukup baik, mau bersosialisasi dengan warga sekitar. Beda benar jika dibandingkan dengan para penyewa sebelumnya.
Kini sepeninggal Faisal, Bu Sabrina masuk kembali ke rumah mungilnya. Sewaktu melewati kamar anak keduanya, Kinanti Noviana Sadewo, Bu Sabrina mendengar suara centil sang pembawa acara di radio. Kinanti anak keduanya itu memang hanya pulang ke rumah dua bulan sekali karena kuliah di luar kota dan tinggal di pondokan khusus putri, tak jauh dari kampus.
“Si Kinanti. Anak itu pasti lagi santai. Setiap kali pulang ke rumah, senangnya ya begitu, gegoleran di kamar setelah selesai bantu-bantu pekerjaan rumah,” kata bu Sabrina pada dirinya sendiri, dan mengalihkan tujuan, mengarah ke ruang tengah. Diempaskannya pantatnya ke sofa.
Dalam kesendiriannya di ruangan yang kerap menjadi tempat mereka sekeluarga berkumpul, bu Sabrina merenung. Seorang diri ia menghitung dalam diam.
“Alangkah seringnya penyewa rumah bernomor 4 yang baru saja ditinggalkan oleh Faisal itu, datang dan pergi, silih berganti. Dan bisa dibilang, semua terjadi dalam tempo yang terbilang singkat, pula!” gumam bu Sabrina lirih.
Belum sempat Bu Sabrina terlarut lebih jauh ke dalam pemikirannya tentang rumah yang baru ditinggalkan oleh keluarga Pak Yanuar itu, bel rumahnya kembali berbunyi. Sembari bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang datang bertamu, diapun bangkit dari duduknya dan bergegas keluar dari rumah, menuju ke halaman.
Bu Sabrinapun mempercepat langkahnya. Dipikirnya, ada warga lain yang datang untuk mencari suaminya. Ia bermaksud mencapai pagar selekas mungkin.
Namun belum juga langkahnya sampai ke pagar, didengarnya suara anak kunci yang diputar. Pagar rumahnyapun terbuka tak lama setelah itu. Bu Sabrina menghentikan langkah kakinya.
Dari tempatnya berdiri, ia melihat Reino Aprilianto Sadewo, anak sulungnya yang tengah menyusun tugas akhir kuliah sambil bekerja sebagai tenaga Marketing itu, terkekeh penuh kemenangan, melihat kehadirannya. Anak itu tenang-tenang saja menuntun sepeda motornya masuk dan mengunci pagar kembali.
Bu Sabrina bersedekap menatap sang anak yang seenaknya memarkirkan sepeda motornya tepat di sebelah beranda rumah dan memasang kunci pengaman pada rodanya.
“He he he… ibu, tertipu lagi, ya? Disangka ada tamu, kan?” olok Reino geli. Seraya memasang wajah tengil, anak muda itu mencabut kunci sepeda motornya dengan santai, menghampiri ibunya, menyalami dan mencium punggung tangannya.
“Kamu, tuh, ya? Kebiasaan dari kecil, dibawa terus sampai sekarang! Bawa kunci rumah, kunci pagar, tapi selalu saja pencet bel kalau datang,” tegur Bu Sabrina, pura-pura marah.
Reino terkekeh lagi.
“He he he.. Reino sengaja kok Bu! Biar ibu sering-sering keluar rumah,” Reino menahan cengirannya.
Sang ibu tidak menanggapi, malah memasang ekspresi datar di wajahnya.
Ini membuat Reino tambah tertantang untuk menggodanya.
“Lagian ibu betah amat sih, di dalam rumah? Seperti vampir, yang takut sinar matahari tahu, Bu. Nggak bagus, loh, Bu, sepanjang hari dihabiskan di dalam rumah melulu. Itu bikin pikiran Ibu jadi sumpek. Halaman rumah kita kan, lebih luas ketimbang area dalamnya. Lebih segar, pula, banyak tanaman bunganya Dewinta. Kan bagus buat menyegarkan mata,” Reino membela diri.
Sang ibu tetap bertahan untuk tidak menyahuti putranya.
“Dewinta sama Ayah belum pulang dari rumah Bude Andini, Bu?” tanya Reino kemudian, menyebut nama adik bungsunya, Dewinta Juniarti Sadewo.
Lumayan, kali ini dia tidak seperti bicara dengan patung hidup. Sang ibu menyahuti dengan sebuah gelengan kepala. Ya meski, suara sang ibu tampaknya masih terlampau mahal untuk diperdengarkan kepadanya.
“I.. bu..,” panggil Reino sok melodius, untuk memancing senyum di bibir sang ibu.
“Kamu itu ya Rein! Dikurang-kurangi deh, isengnya! Kalau Ibu lagi sibuk sama kerjaan di dalam rumah, gimana coba! Sudah tahu Mbak Asnah lagi pulang kampung. Sementara Kinanti, lebih suka malas-malasan di kamar, kalau hari libur begini,” sahut Bu Sabrina setengah mengeluh.
‘Hm, berhasil. Yang penting Ibu sudah mau buka mulut,’ pikir Reino.
Dan Reinopun tersenyum kecil. Ia berlagak memasang mimik muka bersalah, padahal sejatinya, sama sekali tidak.
“Maaf, deh! Sudah dong jangan cemberut lagi, Ibu sayang! Ayo kita masuk sekarang,” ujar Reino dengan nada membujuk yang telah beberapa kali dipraktekkannya kepada calon prospek dan selama ini cukup berhasil.
Di detik lainnya pemuda itu melihat ke arah tangan kirinya. Tampaknya ingin benar membuat hati sang ibu meleleh secepatnya.
“Nih, Reino bawakan makanan kesukaan Ibu. Ta... raaa! Martabak manis rasa pandan,” goda Reino sambil memamerkan bawaannya. Diangkatnya tinggi-tinggi bungkusan di tangannya, yang segera menerbitkan aroma sedap nan mengoda selera.
Merasa tidak perlu menunggu reaksi sang ibu, Reino langsung menggandeng tangan bu Sabrina masuk ke dalam rumah mereka, terus mengarah menuju ruang makan. Bak perlakuan putra mahkota kepada sang ibu suri yang tak hanya dihormati, tetapi juga dicintainya sepenuh hati.
“Ibu duduk saja di sini. Biar Reino yang siapkan ini,” dimintanya bu Sabrina duduk menunggunya di meja makan, sementara dirinya mengambil piring kosong dan garpu di dapur.
“Hm…, kamu mau nyogok, ya?” olok Ibu Sabrina pada putra satu-satunya, yang paling dekat dengannya ini ketimbang anak-anaknya yang lain, Kinanti dan Dewinta. Tampaknya, ‘pancingan’ berupa makanan favorit merupakan umpan yang mengena untuk menetralkan rasa kesal bu Sabrina.
“He he he...! Reino kan, nyontek Bapak,” timpal Reino ringan.
Reino meninggalkan bu Sabrina, setelah dengan sikap lembut menarikkan sebuah kursi di meja makan untuk ibunya duduk. Tidak sampai tiga menit kemudian, diiringi senyum, anak muda itu telah kembali dari dapur.
Reinopun meletakkan satu piring kosong besar dan dua piring kue di atas meja makan. Dengan keluwesan ekstra, ditaruhnya pula masing-masing satu buah garpu di atas piring, kemudian memindahkan martabak manis dari kotaknya dan membuang kotak yang telah kosong itu ke tong sampah.
“Yuk, dimakan Bu, mumpung masih hangat martabaknya,” dipersilakannya ibunya menikmati martabak manis yang telah terhidang di atas piring besar.
“Ayo, kamu juga, sekalian,” sahut Bu Sabrina, yang dibalas anggukan dari Reino.
Saat mengambil martabak dari piring besar itu lah, Reino mendadak teringat sesuatu yang hendak ditanyakannya. Hal yang dilihatnya sebelum dirinya tiba di rumah, dan segera mengusik kedamaian hatinya.
“Bu, keluarganya pak Yanuar jadi pindah, ya?” tanya Reino.
“Iya,” jawab ibunya singkat.
“Hari ini juga pindahnya Bu? Barusan pas pulang, Reino melintas di depan rumah itu. Keadaannya sepi. Pagarnya kelihatan dikunci dari luar,” cetus Reino.
Bu Sabrina mengangguki pertanyaan Reino dan berkata, “Iya Rein. Tadi Faisal berpamitan kemari. Dia kirim salam buat Bapak, serta kalian semua.”
Reino manggut-manggut.
“Yah, suram lagi deh, itu rumah,” kata Reino kemudian. Tersirat penyesalan yang dalam pada kalimatnya.
- Lucy Liestiyo -