Sebagai anak tertua di keluarga Kusnandi, sudah pasti Zetta yang harus tampil paling muka. Dia harus mengambil alih situasi dan menanggung semua keruwetan yang bermunculan kini. Tiada waktu sedikitpun bagi seorang Zetta untuk boleh baper, terbawa perasaan, menunjukkan kesedihan secara berlebih maupun sekadar memberi momen atas sesuatu bernama perasaan.
Zetta menarik napas panjang.
Seraya mencoba menegarkan hati, Zetta membujuk dirinya sendiri, mengatakan bahwa saat ini yang diperlukannya cuma akal sehat.
‘Ya, akal sehat. Itu saja. Memangnya aku punya yang lain? Perasaan? Huh, setahuku sebagian perasaanku sudah mati akibat pengkhianatan Destan, laki-laki berengsek itu,’ bisik hati Zetta.
Sebaliknya, mendengar Zetta berencana untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, Azkia terkejut luar biasa. Gadis yang belum terlalu lama memasuki kejap baru dalam hidupnya, yakni menapaki usia yang dimulai dengan angka dua, menatap wajah kakaknya. Kecemasan tergurat di wajah gadis yang terpaut usia cukup cukup dengan sang kakak.
“Kak Zetta… mau mengundurkan diri dari kantor?” tanya Azkia dengan nada tidak percaya. Nyata benar betapa dia menyayangkan, sekiranya hal itu sungguh terjadi.
“Terus, bagaimana kehidupan kita bertiga, Kak?” belum juga Zetta berkesempatan menjawab, Azkia telah bertanya lagi dengan emosional.
Dan lagi-lagi, di kala Zetta belum menyahutinya barang satu patah kata saja, Azkia telah lebih dulu melanjutkan perkataannya, “Kalau begitu Azkia berhenti kuliah saja, deh. Azkia mau cari pekerjaan paruh waktu, sambil membantu menjual stok pakaian di workshop dan outlet secara online supaya cepat jadi uang, Kak. Dengan begitu, setidaknya kita bisa mengumpulkan uang untuk menyicil hutang kepada para vendor. Mereka pasti nggak mau tahu tentang apa yang kita alami. Mereka kan mikirnya, yang berurusan sama Bu Indriwati itu kita, bukannya mereka. Nanti Azkia segera cek, semua tabungan sama perhiasan Azkia, semoga masih bisa sedikit membantu. Azkia berharap, saldo tabungan perusahaan masih lumayan. Setahu Azkia, tabungan itu nggak pernah diutak-atik kalau nggak ada kebutuhan mendesak.”
Paras Azkia teramat muram seusai mengucapkan kalimat panjangnya.
Hati Zetta tersentuh luar biasa mendengar perkataan Azkia. Dielus-elusnya punggung Azkia. Diciumnya puncak kepala adiknya dengan sayang. Zettapun mencoba untuk menenangkan hati sang adik.
“Kakak memang harus mengundurkan diri dari pekerjaan Kakak, Kia,” kata Zetta datar. Sepertinya, gadis itu telah mengesampingkan segala emosi agar tidak tersirat dalam kalimatnya.
‘Berpisah dengan ruangan kerjaku yang nyaman untuk seterusnya? Berpisah dengan tim kerjaku serta semua kolega di kantr? Melupakan karirku yang kubangun dari nol? Menanggung semuanya ini? Ya, memang nggak ada pilihan lain kan? Memangnya aku bisa apa? Memangnya aku punya pilihan lain, saat ini?’ pikir Zetta dalam penat.
Azkia sedikit merenggangkan pelukannya pada sang kakak. Ia menatap Zetta dengan kecewa, mendapati ada kemantapan di mata sang kakak kala mengucapkan kalimat barusan.
“Kenapa Kak? Setahu Azkia, karir Kak Ze di situ sedang bagus-bagusnya. Dan Kak Ze bilang sendiri, kan, masih memungkinkan untuk meraih jenjang yang lebih tinggi lagi?” sesal Azkia.
Zetta mengembuskan napas secara perlahan. Ada hening yang hadir di antara mereka berdua.
“Kia,” panggil Zetta lembut, sesaat setelahnya.
“Ya, Kak?” sahut Azkia sembari mengangkat wajahnya. Gadis belia itu tampak siap untuk mendengarkan apapun alasan yang dikemukakan oleh sang kakak. Dan jauh di lubuk hatinya, gadis itu juga siap untuk memberikan pendapat yang akan muncul di pikirannya kemudian, usai penjabaran sang kakak.
“Kakak, kan, sedari awal memang menolak rotasi yang dilakukan oleh perusahaan. Ya meskipun itu baik untuk peningkatan karier Kakak, tapi akan menghalangi Kakak untuk sedikit membagi waktu dan terlibat dalam bisnisnya Ayah. Ya apalagi sekarang, sepeninggal Ayah, Kia,” jelas Zetta.
Azkia tercekat mendengar uraian kakaknya.
“Kak..., Azkia mau cuti kuliah deh, kalau begitu. Biar lebih mudah untuk mencari pekerjaan,” Azkia berusaha menawar. Gadis itu juga ingin ikut berkontribusi mengurai benang kusut yang ada di hadapan mereka.
Zetta menggeleng tegas sebagai jawaban atas permintaan adiknya.
“Nggak! Kamu harus tetap kuliah sampai selesai. Itu nggak bisa ditawar. Prioritas kita sekarang, terus mendampingi Ibu supaya kuat. Sesedih dan sehancur apapun perasaan kita, jangan sempat kita perlihatkan sedikitpun di depan Ibu. Nah, hapus airmatamu sekarang, Kia. Ayo, banyak yang harus dibereskan secepatnya. Kita malah enggak punya waktu, berlama-lama bersedih dan meratap,” dengan ketabahan yang tersisa, Zetta menghapus sisa-sisa airmata Azkia, menuntunnya menjumpai Ibu mereka.
Azkia terdiam mendengar perkataan Zetta. Jiwa gadis belia itu terasa hampa, seiring fisiknya yang seolah tidak bertenaga. Beruntung, dalam kondisi demikian, kakinya masih dapat diajak kompak untuk melangkah, meski terasa begitu berat.
“Kak Ze.., nggak bisakah kita tempuh cara lain?” ucap Azkia dibarengi melambatnya ayunan kakinya yang hampir mencapai kamar perawatan sang Ibu. Mau tak mau, langkah Zettapun turut melambat.
“Apa?” tanya Zetta sambil mengintip lewat kaca jendela kamar perawatan yang tersingkap sedikit kain gordyin-nya. Secuil kelegaan menyapanya melihat keberadaan Ajeng Prameswari di sisi pembaringan ibunya.
‘Ajeng. Dia memang selalu loyal. Nggak ubahnya adik kandungku sendiri, kakaknya Azkia. Bahkan bisa menjembatani kami semua dengan kepandaiannya membawa diri nyaris di segala situasi,’ batin Zetta penuh syukur.
Azkia mengguncang lengan kakaknya.
“Kak Ze.., nggak bisakah kita minta tolong sama kerabat Ayah? Kolega Ayah? Siapapun, Kak…! Pasti banyak hati yang tergerak untuk menolong kita. Ayah, kan, dikenal sangat baik dan dermawan. Nggak mungkin mereka berdiam diri, mengetahui apa yang menimpa Ayah!” kata Azkia lirih.
Zetta memejamkan matanya sesaat. Sejurus kemudian, dia menggeleng tegas dan berkata, “Azkia sayang, jangan suka mengandalkan orang lain. Mereka masing-masing, punya persoalan sendiri. Sungguh nggak bijaksana kalau kita menyeret-nyeret mereka untuk memikirkan masalahnya kita.”
Azkia menatap Zetta dengan pandangan kecewa yang tak tersembunyikan.
“Tapi Kak…,” bantah Azkia, mencoba berkeras.
Ucapannya terpotong sorot mata kakaknya yang terkesan dingin. Azkiapun tak punya pilihan lain kecuali menunduk menghindarinya.
Azkia tak hendak membantah, rasa takut yang besar melingkupinya saat ini. Dia ngeri membayangkan, seperti apa hidup mereka ke depannya. Betapa ingin disadarkannya sang Kakak, agar tidak mempertimbangkan rasa gengsi sekarang ini. Apalagi sekadar rasa ‘takut merepotkan’ orang lain.
‘Kak Zetta, tolong dong! Buka deh, mata Kak Zetta sekarang ini. Kita itu makhluk sosial, Kak Ze. Sudah kodratnya kita ini hidup di dunia untuk saling menolong. Suatu kali Ayah yang menolong orang-orang, apa salahnya kalau sekarang kita sedikit meminta pertolongan orang lain? Suatu saat, kalau ada kesempatan dan kemampuan, kita juga akan membalas pertolongan mereka, Kak. Itu hal biasa,’ pikir Azkia.
Yang ada dalam bayangan Azkia saat ini adalah sesuatu yang mengerikan. Dilihatnya dirinya, Zetta, ibunya serta Ajeng, sedang berada pinggiran atap gedung bertingkat tiga puluh. Sementara di belakang mereka berempat, ratusan orang berwajah beringas, penuh kegeraman, mendekat bersamaan bak zombi, siap mendorong mereka berempat ke bawah. Orang-orang itu bahkan tidak mendatangi mereka dengan tangan kosong. Ada yang mengayun-ayunkan sangkur, ada yang mengacung-acungkan katana, sebagian lagi bahkan terlihat membidik dengan senjata api.
Alangkah sulit bagi Azkia untuk memahami dan menerima kenyataan, bahwa dalam keadaan segenting itu, belum cukup menggungah hati Zetta, kakaknya untuk berteriak minta tolong, demi mengundang perhatian siapa saja, yang bakal tergerak menolong mereka.
‘Kita itu sudah di ujung tanduk, Kak. Ibarat orang yang nggak bisa berenang, kita ini sedang berada di tengah-tengah lautan yang dalamnya saja kita nggak tahu berapa ratus atau berapa ribu meter, Kak. Sebentar lagi kita bakal tenggelam. Air sudah naik sampai sebatas leher kita, sebagian sudah terminum sama kita. Nggak bisakah Kak Ze rasakan, ombaknya begitu kuat, menghajar tubuh kita? Nggak bisakah Kak Ze sadari, di depan sana bahkan ada pusaran air yang siap melibas atau menghisap kita berempat sampai lenyap tak berbekas? Kak..., ini kita sedang bunuh diri atau bagaimana sebetulnya? Kalau kita nggak minta pertolongan orang lain, kita nggak akan selamat!’ Protes Azkia dalam hatinya.
Berpikir demikian, Azkia segera mengemukakan gagasan yang terlintas mendadak di kepalanya.
“Kak Ze…, oke, kalau Kakak pantang untuk meminta tolong dengan dalih nggak mau merepotkan orang lain. Bagaimana kalau kita mengajukan semacam pinjaman lunak? Atau menawarkan kerja sama, begitu? Atau mungkin, kita mengundang investor baru untuk memastikan kegiatan produksi di workshop Ayah kembali berjalan? Kita kan, masih punya peralatan yang mendukung produksi? Kita punya tempat, material dan pegawai yang masih memungkinkan semuanya itu. Saat ini, kita hanya butuh dana segar, agar keruwetan ini bisa terurai sedikit demi sedikit,” usul Azkia, di antara keputusasaan dan harapan.
Zetta mendengus kecil. Dia benar-benar sedang tak ingin mendengar ide, s***h, rengekan sedikit saja dari sang adik saat ini. Fokus pikirannya bukan tertuju ke sana.
“Ke pihak mana lagi, Kia? Apa pula yang bisa kita jaminkan untuk memperoleh semuanya itu?” Zetta balik bertanya dengan gamang. Otaknya yang biasa menghasilkan ide cemerlang kini bak terbelenggu, menolak diajak bekerja sama.
Azkia mengguncang lengan Zetta lebih keras. Melalui gerakan tersebut ia serius hendak mengingatkan, betapa mereka mempunyai peluang besar untuk melepaskan diri dari permasalahan berat yang menyergap secara beruntun ini.
Ke Pak Jonas Ferdinand Erlangga, dong, Kak Ze. Grup perusahaan beliau, kan, banyak, dan beragam pula. Jumlahnya jauh melebihi kepunyaan Ibu Indriwati dan suaminya. Lagian, hubungan Ayah sama Pak Jonas, cukup baik, Kak Ze,” usul Azkia seiring sorot mata memohon kepada Zetta.
Zetta menahan napas mendengar usulan Azkia, yang diucapkan penuh asa itu.
“Kia, kita nggak pernah tahu pasti sedekat apa hubungan mereka. Lagian, menurut Kakak, itu kan murni hubungan kerja,” sahut Zetta, menunjukkan keengganannya. Tiga empat detik, bayang wajah Fritz, tak terhindar melintas di pikiran Zetta. Zetta menghalaunya dengan satu kali goyangan kepala yang samar.
Azkia jelas tak puas dengan pertimbangan kakaknya. Sekarang, dia malah lebih ngotot lagi membujuk sang kakak.
“Menurut pengamatan Azkia, hubungan mereka berdua sangat baik. Apalagi hubungan ayah sama putranya Pak Jonas. Itu lho, Kak Fritz, yang ganteng dan baik hati itu. Luar biasa dekat, Kak! Kak Fritz itu kan, sering sekali ke workshop maupun outlet kita. Biarpun mereka pelanggan setia produknya ILZA, Azkia mencermati bahwa komunikasi Ayah sama Kak Fritz itu sangat cair,” cetus Azkia.
Zetta menatap sang asik dengan pikiran yang kian penat. Dia sedang enggan berdebat, dalam situasi macam ini. Maka Zettapun membiarkan Azka memuaskan diri melontarkan apapun yang ada di benaknya.
“Kak Ze, Azkia melihat sendiri kok, bagaimana santainya Kak Fritz sewaktu ngobrol sama Ayah. Nggak melulu berbincang soal bisnis semata. Lagi pula, entah bagaimana perasaan Kak Ze kepada Kak Fritz, yang jelas Ayah, Ibu, Mbak Ajeng sama aku yakin sekali, bahwa Kak Fritz itu naksir berat, sama Kakak! Dia sering kok, mengungkapkan kekagumannya akan hasil design Kakak. Sudah begitu, aku dengar Kak Ze sama Kak Fritz pernah ketemu juga, kan? Ayah bilang begitu? Nah kak.., kenapa kita nggak minta ke kak Fritz, untuk menginvestasikan sejumlah dana di perusahaan peninggalan Ayah? Azkia berani bertaruh, pasti Kak Fritz nggak keberatan. Aku hubungi Kak Fritz sekarang, ya, Kak?” Azkia meminta persetujuan Zetta, tetapi nadanya mendesak sekali.
Zetta belum menyahuti sang adik.
Uraian Azkia yang panjang lebar barusan, mau tak mau justru mengingatkan Zetta pada perkenalannya dengan Fritz, saat kebetulan mampir ke outlet, sekitar tujuh bulan silam.
Waktu itu, Zetta menyempatkan menengok outlet sang ayah di sela waktu makan siangnya. Ia memanfaatkan jeda waktu yang dimilikinya. Beberapa saat sebelumnya Zetta baru saja usai menemui salah satu kliennya yang kantornya terpaut sejauh satu blok dengan outlet tersebut. Zetta ingat, ketika dia datang, Ayahnya sedang asyik berdiskusi dengan seseorang. Ayahnya melambaikan tangan begitu melihat kehadirannya di outlet. Lantas, sang Ayahpun memperkenalkan mereka berdua.
Tak pelak, kejadian itupun bermain-main di pelupuk mata Zetta.
- Lucy Liestiyo -