CHAPTER TUJUH : Di Titik Nadir (2)

2307 Words
             Kak Ze, Kak Ze naik taksi saja, ya! Di lobby apartemen Kakak, kan, banyak yang stand by. Jam segini tuh lalu lintas lagi macet-macetnya. Aku takutnya nanti Kak Ze makin stress, susah buat konsentrasi nyetir mobil. Kami sudah tiba, Kak, ambulance-nya mulai masuk ke pelataran rumah sakit, nih. Ketemu di sini, Kak,” kata Azkia, memutus keheningan yang tercipta antara mereka berdua. Suara Azkia terdengar lebih tenang ketimbang tadi, meski masih serak. Zetta memejam mata.            Secuil kesadaran bagai menyentak Zetta.             “Kakak langsung berangkat sekarang. Temani Ibu terus, Kia. Jangan nangis terus! Tegarlah, di depan Ibu,” pesan Zetta seraya menghapus air mata yang telanjur bergulir membasahi pipinya. Zetta menabah-nabahkan hatinya, mengusir firasat buruk yang singgah tak tercegah.              “Tolong ampuni aku ya Allah. Ampunkan segala salah dan dosa yang pernah kubuat. Kalau boleh, kiranya cukup segala yang hambaMu alami hari ini. Jangan ada apa-apa lagi. Aku... nggak sanggup, Ya Allah..,” pinta Zetta dalam keluhannya kepada sang Pencipta.              Bayangan wajah sang ibu serta sang adik, datang silih berganti memenuhi pikiran Zetta.               “Aku nggak pernah ragu akan ketegaran yang dimiliki Ibu. Ibu adalah sosok yang selalu menjadi penyemangat kami sekeluarga. Beliau itu bisa dibilang sebagai pusat energi bagi keluarga kami. Enggak, nggak pernah sekalipun kusangsikan peran besar Ibu sebagai sosok pendamping yang senantiasa setia mendukung Ayah, terutama saat Ayah baru memulai usaha,” desah Zetta sesaat setelah menutup pembicaraan via telepon dengan sang adik.             Masih teringat jelas oleh Zetta, sang Ayah sering nyaris menyerah lantaran sulitnya memperkenalkan ILZA pada awalnya. ILZA adalah merk dagang mereka, yang mewakili singkatan Irawan-Lestari-Zetta-Azkia. Dulu itu, menurut sang Ayah, ILZA terbilang lambat mendapatkan segmen pasar yang tepat, karenanya empat beberapa kali harus melakukan trial and error. Di sanalah Zeta paham, betapa peran besar Ibunya yang membuat perkembangan ILZA cukup pesat dalam perjalanannya kemudian. Zetta juga tak mungkin menyangkal, ibunya salah sosok wanita tangguh dan penuh kasih yang selalu  hadir pada setiap kejap kehidupannya serta Azkia. Ibunya itu, seakan punya energi tiada habisnya untuk mendengarkan celoteh maupun keluh kesah anak-anaknya, selalu ada saat dibutuhkan.               'Di balik pembawaan Ibu yang kalem, wajah yang selalu teduh meski seharian berkutat dengan segala macam pekerjaan rumah tangga selain membantu memonitor bisnisnya Ayah, Ibu selalu menjadi suntikan semangat buat kami sekeluarga. Ibu itu, sungguh-sungguh sosok wanita paling sempurna di mata kami,’ batin Zetta, yang kemudian berpikir, di tengah situasi yang sekarang, masih mampukah Ibunya mempertahankan ketenangannya? Zetta tahu betapa Ayah dan Ibunya saling mencintai. Kekuatan cinta mereka berdua pula yang membuat Zetta terinspirasi untuk mencari sosok ‘family man’ seperti sang Ayah, sekaligus wanita mandiri yang dapat luwes menempatkan diri bukan saja di sisi sang suami, tetapi juga di depan anak-anak mereka.              ‘Pasti berat buat Ibu, menerima apa yang menimpa Ayah sekarang.  Ayah itu separuh napasnya Ibu. Aku harus terus menguatkan Ibu. Atau justru Azkia, adikku yang harus lebih  aku pikirkan saat ini?’ Anak k itu.. '  batin Zetta khawatir.              Sulit bagi Zetta untuk menyangkal, dia sangat khawatir akan kerapuhan adiknya yang kini tercatat sebagai mahasiswi semester VI Fakultas Ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta ternama itu.                Maka tanpa berpikir dua kali, Zetta lekas menyambar tasnya. Iapun segera keluar dari unit apartemen miliknya dan memutar anak kunci dengan tergesa lalu menuju lift.              Sekeluarnya dari lift, Zetta setengah berlari menuju ke tangga lobby, melambai pada taksi yang baru menurunkan penumpang. Dimintanya sang pengemudi segera meluncur ke rumah sakit Sehat Sejahtera.             Zetta sadar, sekarang ini dirinya sedang berpacu dengan waktu. Setiap detik lebih berharga dari emas permata.             Sepanjang perjalanan, untaian doa terucap lirih dari celah bibirnya. Tidak henti-hentinya dia memohon kepada Yang Kuasa agar para dokter dapat menolong sang Ayah.             Zetta menepis rasa takut yang konstan mengintimidasinya dengan terus menebar harap agar kondisi sang Ayah membaik, setibanya dia di rumah sakit nanti.             Malangnya, segala usaha dan harapan yang dibangunnya sepanjang jalan sia-sia belaka. Sesampainya Zetta di rumah sakit, Azkia, si gadis berambut lurus dan bertubuh tinggi langsing itu, menubruk dirinya sambil menangis pilu. Sepertinya Azkia telah cukup lama menantinya dalam resah dan cemas.              “Kak Ze..., ibu.. ibu pingsan, Kak,” kata Azkia, membuat badan Zetta otomatis menegang.              ‘Apa lagi ini?’ pikir Zetta lelah. Ibunya, Lestari Aryanti bukanlah sosok yang lemah. Jadi kalau sampai pingsan segala, Zetta yakin pasti ada sesuatu guncangan berat yang menyerang sang ibu.              “Ibu.. ibu pingsan setelah mendengar kabar duka yang disampaikan dokter,” apa yang dikatakan Azkia kemudian bagaikan sebuah tempelengan keras yang membuat kepala Zetta pusing, seperti menghantam benda keras. Kepalanya terasa berputar sekarang. Tak terelakan, mata Zetta berkabut.              Pak Irawan Wahyu Kusnandi, Ayahnya, idolanya, standar bakunya dalam mencari pasangan hidup yang tepat kelak, pekerja keras yang selalu mengutamakan keluarga itu, ternyata tidak terselamatkan lagi.              Zetta terpaku di tempatnya berdiri. Sekejap kemudian mata gadis itu berkaca-kaca, seiring gerakan spontannya menggigit bibirnya. d**a Zetta bergemuruh. Tidak satu patah katapun yang dapat meluncur dari bibir ranumnya yang selalu basah dan tampak menarik lantaran dipulas lip gloss itu. Batin Zetta terguncang hebat saat ini. Dia malah curiga, jangan-jangan saat ini tengah terjadi gempa bumi ataukah pergerakan tanah, sehingga kepalanya terasa amat pening dan berdirinya goyah.              Apa daya, sungguh tidak mungkin baginya untuk meluapkan semua yang dirasa dan dipikirkannya di depan sang adik, Azkia. Bahkan menyiratkannya meski sedikit saja, sepertinya juga tidak mungkin.              Betapapun perasaan Zetta remuk redam dan badannya terasa amat lemah hingga hampir luruh, menyentuh lantai rumah sakit, Zetta berusaha keras untuk bertahan. Satu-satunya hal sederhana yang terpikir olehnya saat ini adalah mensugesti dirinya sendiri, berkata secara berulang-ulang di dalam hati, bahwa sepasang kaki jenjangnya masih cukup kuat untuk menumpu badannya agar tidak limbung dan terjatuh.              “Ayah.. ayah kita... sudah.. berpulang, Kak Ze,” Azkia segera mempererat pelukannya kepada sang kakak.              Leher Zetta serasa tercekik mendengar pengulangan berita duka yang disampaikan Azkia melalui diksi berbeda ini. Jerit yang ingin diteriakannya tertahan di sana.              “Kita... kita.. tinggal di mana, ke depannya, Kak Ze?” ratap Azkia kemudian di pelukan Zetta.             Terbata-bata.              Zetta terus menahan perasaannya. Ia memejamkannya matanya yang terasa panas. Ia merasakan kepedihan yang sangat di hatinya. Tak sadar, digigitnya lagi bibirnya, demi mencegah isakan yang hendak meluap. Ada selintas asin yang terasa di sana. Ya, lantaran terlalu keras menggigit bibir, designer berbakat itu tidak menyadari bahwa ia telah melukai dirinya sendiri, membuat bibirnya luka serta berdarah. Tidak perlu harus bertanya secara verbal apa maksud dari pertanyaan retorik sang adikpun, Zetta dapat segera memahami apa yang dicemaskan oleh adiknya.              Zetta tahu bahwa Azkia selama ini sering melibatkan diri, memeriksa arus kas usaha sang Ayah. Zetta juga paham sepenuhnya, Azkia serius dengan ucapannya barusan. Pasalnya, sehari-hari Azkia tinggal serumah dengan orang tuanya, jadi pastinya tahu posisi terkini keuangan sang Ayah. Berbeda dengan dirinya yang memilih menempati sendiri unit apartemennya dan hanya menginap di rumah orang tuanya di akir pekan.              Tak ayal, rasa bersalah menggedor hati Zetta. Begitu keras dan konstan, bagaikan penagih hutang yang kalap karena dirinya senantiasa menghindar dan tidak kunjung melunasi kewajiban yang telah lama jatuh tempo.              Zetta sadar sepenuhnya, dirinyalah yang mulanya memperkenalkan Ibu Indriwati Sasongko, istri dari pengusaha terkenal yang belakangan terjun ke dunia politik, pak Imron Jauhari Sasongko, kepada sang Ayah. Sebagaimana sang suami, bu Indriwati merupakan pemilik berbagai jenis bidang usaha yang terus berkembang.              Dan Ibu Indriwati yang tertarik dengan beberapa model baju kerja yang di-display di outlet Ayahnya, langsung memutuskan untuk memesan dalam jumlah fantastis. Menurut Bu Indriwati saat itu, dia berencana mengganti seragam para pegawainya secara serentak, untuk memperkuat image baru bagi grup perusahaannya.              “Andai Ayah nggak pernah menerima ordernya Bu Indriwati, Kak Ze…,” cetus Azkia disertai penyesalan mendalam, tanpa sengaja membuat Zetta merasa kian tersudut mendengarnya.              Pelukan erat Azkia dirasanya kian menyesakkan dadanya. Air mata yang telah ditahannya sejak Azkia menubruknya tadi, kini mengalir di pipinya, tiada terbendung lagi. Segenap penyesalan mendera Zetta tanpa ampun. Ah, andai saja bisa, Zetta ingin berteriak sekencang mungkin, demi melepaskan rasa sesak yang memenuhi dadanya ini.              Sekejap saja, Zetta merasakan adanya ratusan telunjuk teracung serentak ke wajahnya. Menyalahkan dirinya. Menuntut dia agar bertanggung jawab. Seketika, terbayang oleh Zetta wajah para pegawai ayahnya yang mempertanyakan nasib mereka sepeninggal pemilik PT ILZA JAYA itu.               Mulanya wajah-wajah itu tampak geram dan seakan ingin menerkamnya saja, tetapi kemudian berangsur memelas dan putus asa. Seolah, Zetta seoranglah, yang menempatkan mereka semua di posisi tak menentu, tanpa kepastian, sekarang ini. Seakan Zettalah penghancur masa depan mereka, membuat mereka tak mampu menafkahi diri mereka serta orang-orang yang mereka sayangi dan menggantungkan harapan kepada mereka sebagai tulang punggung keluarga.              ‘Ini salahku. Semuanya ini salahku. Gara-gara aku!’ jerit hati Zetta.              “Semua gara-gara aku,” bisikannya kemudian teramat lirih, bagai ditujukan pada dirinya sendiri. Azkia sang adik saja tak sempat mendengarnya.              Zetta tercekat. Kerongkongannya serasa tercekik sepasang tangan kuat. Lidahnya terasa demikian kelu. Kedua pundaknyapun seperti hendak luruh, bak ditimpa ratusan kilogram beban statis yang tak terhindarkan lagi.             Zetta tidak punya pilihan lain kecuali memejamkan matanya sesaat, berusaha mengundang sejumput ketenangan agar tetap dapat berpikir waras di saat yang berat ini. Gadis itu mengabaikan perasaan terlukanya serta kepedihan hatinya. Ia mengusir godaan meratap juga sambat. Dengan sisa-sisa ketegarannya, iaa juga menghalau hasratnya untuk protes pada semesta yang seolah sedang memberinya pelajaran, entah pelajaran macam apa.               Zetta menarik napas dalam-dalam.             “Kak Ze akan bertanggung jawab, Kia. Jangan khawatir! Kakak akan ajukan pengunduran diri Kakak besok. Sementara, kita bertiga tinggal di apartemen Kakak saja,” kata Zetta kemudian.             Suara Zetta sungguh bergetar, selagi mencoba menekan rasa bersalah serta sesal yang tak henti mengintimidasi pikirannya.             Dan apa yang didengarnya dari celah bibir adik perempuannya, sama sekali tidak mengurangi beban pikirannya.              “Seandainya kita bertiga bisa mencegah Ayah menerima order Bu Indriwati yang sungguh di luar kemampuan kita, ya, Kak? Kalau saja kita bertiga lebih gigih memperingatkan Ayah, agar meminta uang muka yang lebih pantas sehingga Ayah nggak perlu menjaminkan rumah segala,” desah Azkia dengan hati pilu.              Sontak, lambung Zetta seakan tertohok mendengar apa yang diucapkan Azkia. Rasanya nyeri bukan main. Nyeri yang bercampur dengan rasa sesak yang segera menjalar cepat ke dadanya, dan berlama-lama mengendap di sana. Rasa bersalah yang besar kian menderanya. Rasa bersalah yang tampaknya sulit termaafkan, meski oleh dirinya sendiri.              Tetapi itu belum seberapa. Suara Azkia sudah terdengar lagi.             “Andai saja Ayah nggak terlalu ambisius dan menerima semua orderan itu dalam waktu yang bersamaan, Kak.. hanya karena menilik profil grup perusahaan Bu Indriwati yang besar dan bonafide, pasti nggak akan begini akhirnya,” sambat Azkia lagi. Tampaknya, gadis itu sulit sekali menerima segala yang menimpa mereka sekeluarga. Azkia tengah berada pada fase proses denial yang sungguh tak tercegah.              “Kia..,” itu saja yang sanggup diucapkan oleh Zetta. Demikian lirih, mirip sebuah keluhan yang tertahan.             Dia sendiri juga menyesali, mengapa sang Ayah terkesan amat terburu-buru dalam mengambil keputusan penting? Zetta tak habis pikir mengapa ayahnya sampai tergoda menerima semua order dari Bu Indriwati secara bersamaan dan menganggap hal itu sebagai peluang bagus bagi usaha mereka tanpa pertimbangan yang lebih mendalam. Sepanjang yang diingat Zetta, ayahnya bukanlah sosok ambisius yang bertindak tanpa perhitungan cermat. Tetapi entahlah, kasus orderan dari bu Indriwati sepertinya memang kasus istimewa.             Rasanya d**a Zetta mau meledak saja dalam keadaan seperti ini.             Sementara Azkia dapat mengungkapkan apa pun yang dirasanya, gagasan yang ada di kepalanya, dia toh tak mungkin melakukan hal yang sama, yang berpotensi memperburuk situasi yang tengah mereka hadapi saat ini?              ‘Ayah, seandainya Ayah  mau sedikit saja, mengindahkan masukan dariku untuk meminta uang muka lebih ke bu Indriwati. Seandainya Ayah menerima order secara bertahap supaya nggak mengganggu arus kas perusahaan. Aku nggak pernah menyangka, Ayah malah nekad menjaminkan rumah demi menambah modal kerja. Duh, Ayah, alasan Ayah bahwa order susulan dari perusahaan suaminya Bu Indriwati akan ditandatangani besoknya, benar-benar bikin aku shock dan nggak habis pikir, waktu itu,’ keluh Zetta dalam hati.              Mengingat semua rentetan peristiwa yang terjadi itu, timbul sesal mendalam di hati Zetta, karena dirinya tidak sempat mencegah keputusan sang Ayah. Sedih dan terbeban, nyaris keluh Zetta terucap dari bibirnya, jika saja tak tersadar, kini, ada hal mendesak yang harus segera ditanganinya, yang membuatnya bahkan tak berkesempatan meratapi nasib, atau membiarkan diri terpuruk.             ‘Andai waktu dapat kuputar, Yah. Aku pasti akan berusaha memperbaiki yang salah. Bahkan kalau bisa, kuhalangi perjanjian kerja sama Ayah dengan Bu Indriwati dengan berbagai cara,’ jerit hati Zetta yang mulai frustasi.             Sekiranya mungkin, ingin benar dia membenturkan jidatnya ke tembok rumah sakit, atau setidaknya menggaruk-garuk tembok tersebut dengan kuku-kunya jarinya. Malangnya, dia hanya boleh berpuas dengan membayangkannya saja. Dia bukan Azkia. Ya, Zetta adalah Zetta. Mana bisa dan mana berhak dia bersikap ekspresif seperti sang adik? Dalam situasi yang seperti sekarang ini, pula!                                                                                                                                                                        - Lucy Liestiyo -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD