CHAPTER SEMBILAN : Sosok Inspiratif Itu Bernama Diaz Fritz Erlangga (1)

2210 Words
            -          KILAS BALIK -              Sosok yang diperkenalkan oleh sang Ayah kepada Zetta, masih terbilang muda. Detik pertama melihatnya, Zetta mengira-ngira, usia Cowok itu tentunya belum mencapai kepala 3. Dalam pemikiran Zetta, mungkin usianya sekitar 28 tahun atau paling banter, mendekati 29 tahun. Di mata Zetta, setelan jas dan pantolan warna gelap yang dikenakan oleh si Cowok, gagal menutupi kesan muda Cowok itu. Justru warna biru muda terang dari kemejanya yang terlihat mencolok. Tubuhnya yang proporsional, gaya rambutnya yang sangat kekinian, serta sikap ramah dan bersahabat yang ditunjukkannya adalah kesan pertama yang penting dan tak terlupa.              Tapi rupanya Zetta keliru mengenai perkiraan usia Fritz. Sebab di kemudian hari secara tak sengaja, ia mendengar sendiri beberapa rekan kerjanya yang membicarakan Fritz. Kata mereka, mereka melihat figur Fritz di sebuah majalah bisnis dan memuji Cowok itu sebagai seseorang yang penampilannya lebih muda dibandingkan umurnya. Rekan-rekan kerja Zetta yang tengah membicarakan sebuah artikel tentang Fritz menyebut bahwa Fritz adalah sebagai ‘sosok usahawan muda yang mencapai sukses di awal usia 30.’ Yup, sejatinya usia Fritz sudah menjelang 31 tahun saat mereka berkenalan di outlet. Usia produktif yang masih berpeluang untuk mengukir banyak prestasi lagi di masa mendatang.              Zetta mengulurkan tangannya terlebih dahulu, dan langsung disambut jabatan erat orang yang semula menjadi lawan bicara Pak Irawan, ayahnya.              “Zetta,” Zettapun menyebutkan namanya, yang diulang Cowok tersebut dengan manis.              “Zetta? Nama yang indah,” kata si Cowok, memberikan kesan pertama yang baik di hati Zetta.              “Terima kasih,” ucap Zetta, dan tersenyum segar.              Senyum yang sanggup membuat Cowok di depannya mabuk kepayang, dan nyaris lupa menyebutkan namanya sendiri, bagai terhipnotis oleh pesona yang terpampang di depan matanya.             Beruntung, Cowok itu akhirnya mampu menguasai dirinya, dan menyebut namanya, “Fritz.”              “Nama yang keren, Fritz,” untuk alasan etika dan kepantasan, Zettapun balas memuji lawan bicaranya.             Dia tak tahu saja, Fritz langsung tersanjung mendengarnya.              “Oh, ya? Terima kasih, Zetta. Kalau cukup keren, semoga namanya mudah diingat,” Fritz menimpali pujian Zetta disertai tawa kecil di ujung kalimatnya, bermaksud mencairkan suasana.              Zetta tidak menyangka Fritz dapat seakrab itu, memberikan kesan pertama yang demikian manis, namun tetap menjaga kesopanan. Tidak ada kesan tengah mengambil hati atau melancarkan rayuan gombal.             Tak urung, Zetta tersipu sejenak. Kemudian Zetta tertawa kecil, dan menoleh pada Ayahnya. Lewat sorot matanya, Zetta mengirimkan isyarat agar Pak Irawan juga turut ambil bagian dalam percakapan yang baru saja dimulai.              Sang Ayahpun menangkap maksud hati Zetta.             “Fritz ini, putra keduanya pak Jonas Ferdinand Erlangga, Ze. Itu loh, yang grup perusahaannya seringkali memesan seragam dari kita,” terang Pak Irawan.             Zetta manggut kecil dan sang ayah meneruskan keterangannya.             “Biasanya, grup perusahaan Pak Jonas itu cenderung mengambil model yang sudah ada di outlet atau workshop. Setelah itu, diberi beberapa perubahan pada detail serta warna ataupun coraknya, sebagai pembeda yang sudah ada di display-nya kita. Nah, itu, tuh, yang hasil kreasimu semua, Ze,” tambah Pak Irawan, membuat Zetta manggut-manggut lagi dan tersenyum kecil. Rasa bangga serta merta menyelip di benaknya, lantaran ide kreatifnya mampu memikat dan memuaskan selera pelanggan.              Di sisi lain, Fritz takjub mendengar penuturan Ayah Zetta. Wajah pengudaha muda itu terlihat kian cerah, seperti disoroti lampu neon 100 watt saja.             “Oh, jadi inisial ZK pada design produk ‘ILZA”, yang selama ini dipilih grup perusahaan kami, adalah Zetta Kusnandi? Kok, bisa-bisanya saya nggak kepikiran, ya? Padahal, merk dagang sekaligus nama depan perusahaan saja, sudah mengisyaratkan nama pemilik,” komentar cowok itu kemudian, hanya ditimpali senyuman Zetta.              “Bagus semua, loh, design-nya! Entah kenapa, spesifikasinya selalu pas sama selera kami, seolah sengaja ditujukan buat perusahaan kami saja. Nah, kalau soal perubahan detail, biasanya usulan dari saya. Itu murni sebagai pembeda yang unik,” ucap Fritz.             “Oh, terima kasih,” sahut Zetta.             Fritz mengulas senyum simpatiknya.             “Itu tadi, soal saya merubah detailnya. Soalnya, nggak mungkin juga kan, kami biarkan seragam perusahaan kami, bertebaran di mana-mana dan terkesan pasaran, mudah didapat? Nanti disalahgunakan pihak nggak bertanggung jawab, pula,” seloroh Fritz kemudian, lalu tertawa lagi.             Betapa kegantengan Fritz terlihat maksimal ketika tertawa begitu, dan nyaris saja Zetta terbelit pesonanya. Ya, seandainya saja Zetta tak keburu diingatkan sebuah teguran dalam hatinya. Teguran yang mempringatkan dirinya, bahwa dia sudah punya seseorang, yang ditipinya  hati. Seseorang, yang walaupun bila dihitung-hitung, umur jalinan asmaranya belum terlampau lama, sepertinya sudah berniat menjalin hubungan yang berkomitmen dengannya. Ya, meskipun hubungan mereka masih terkendala dengan sambutan dari ibu sang kekasih yang masih abu-abu bagi Zetta. Di suatu waktu, terkadang dipergokinya ibu sang kekasih seperti tengah menilainya dalam diam, sementara di saat lain, terkesan ingin segera mencekokinya dengan sejumlah aturan yang bagaikan ‘panduan untuk menjadi istri ideal’.             “Saya senang, akhirnya bisa ketemu langsung sama Zetta. Selama ini hanya bisa mengagumi kreasinya saja,” lanjut Fritz cepat setelahnya, seraya menatap secara intens paras manis Zetta. Fritz seakan enggan menutupi rasa ketertarikannya pada gadis itu. Dan seperti kata pepatah ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’, Fritz tampaknya lupa keberadaan Pak Irawan di dekatnya.              Secara Refleks, Zettapun menghindari tatapan Fritz, meski Fritz tidak terlalu mempedulikan gerakan samar Zetta tersebut. Bak seseorng yang tengah terhipnotis, Fritz menyerah tanpa perlawanan, membiarkan dirinya terlarut dalam pesona yang terpancar dari wajah Zetta. Tatapan dalam itu baru teralihkan saat deheman kecil Pak Irawan terdengar.             Kendatipun terbilang cukup akrab dengan Pak Irawan maupun Bu Lestari, tak urung, Fritz sedikit tersipu mendengarnya.              Sementara Zetta, sama sekali tidak terusik. Dengan kemantapan hati, dibisikinya dirinya sendiri, menegaskan bahwa di hatinya hanya ada satu nama, Destan. Tak terpikir olehnya, memberi celah masuknya godaan bagi hubungan mereka.              Terang-terangan mengundang godaan, dan memberikan signal positif? Memiliki pria idaman lain? Membiarkan indra penglihatannya berlama-lama menikmati ‘selingan indah’ di depannya? Ah, memikirkan satu saja dari berbagai kemungkinan itu, takkan pernah dilakukannya.             Buat seorang Zetta, hubungan percintaan yang dijalinnya bersama Destan saat ini, sedang berada pada fase terindah. Maklum, baru berjalan sekitar enam hingga setengah tahun lamanya. Hubungan yang tidak begitu saja terkalahkan hanya karena kendala waktu yang seringkali ‘tidak nyambung’ di antara mereka berdua.             Sekalipun demikian, Destan yang sehari-hari melibatkan diri dengan usaha keluarganya, sesekali menyempatkan menjemput Zetta dari kantornya, juga tiga empat kali sengaja mengajak makan siang bersama. Tentunya, setelah memastikan jadwal kerja Zetta tidak terganggu.             Destan tidak selalu mengajak Zetta menikmati makan siang di restauran. Ada kalanya, dia sengaja memerintahkan sekretarisnya memesan makanan favorit Zetta, lantas dinikmatinya bersama di ruangan kerjanya. Tampaknya Destan memang berprinsip ‘sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.’             Dengan mengajak Zetta makan siang bersama di kantornya, tentu memungkinkan dirinya mempertemukan Zetta dengan ayahnya yang juga berkantor di lantai yang sama. Bahkan ibunya Destanpun sesekali menemani sang ayah makan di kantor. Karenanya hampir setiap kali ke kantor Destan, Zetta berpapasan bahkan bertegur sapa dengan Ayah dan ibunya Destan. Satu dua kali, Destan juga mengajak Zetta makan malam di rumahnya, sehingga memungkinkan Zetta bercakap-cakap dengan ibunya. Zetta tidak tahu saja, kalau sebenarnya itu atas permintaan ibunya.              Kebersamaan yang dilalui Zetta bersama Destan, sejauh ini membuat Zetta yakin akan keseriusan Destan. Bahkan, restu dari ibu Destan yang belum sepenuhnya mereka dapatkan saja, dirasanya bukan penghalang berarti bagi hubungan asmara itu. Sementara perihal keluarganya sendiri, Zetta tak terlalu ambil pusing. Zetta teramat mengenal keluarganya sebagai keluarga yang amat moderat. Jadi, Zettapun berpikir, belakangan sajalah, memperkenalkan Destan, lalu memberitahu keluarganya mengenai jalinan asmaranya dengan Destan. Toh, sejauh ini, Destan yang rupanya memahami kesibukan mereka berdua, belum menuntut untuk diperkenalkan kepada orang tua Zetta. Sesuatu yang sebetulnya cukup aneh, jika saja Zetta berpikir secara lebih mendalam.              Dengan ccara berpikir praktisnya Zettapun optimis, bilamana diperkenalkan ke keluarganya kelak, Destan dapat segera diterima dengan tangan terbuka oleh keluarganya. Saat ini, fokusnya Zetta yaitu berjuang dulu, demi mendapatkan lampu hijau dari keluarganya Destan yang dirasanya agak konservatif itu.             Bak sebuah alarm, pemikirannya barusan, manjur memperingatkan dirinya, supaya tidak memberikan respon berlebihan kepada Fritz, apalagi memberi isyarat, bahwa Fritz boleh mengenalnya lebih jauh.             Penuh percaya diri, Zetta mengembangkan lagi senyum segarnya. Zetta benar-benar tidak tahu, Fritz semakin terpesona dibuatnya.              “Ah, belum tentu hasil kreasi saya. Ada juga kok, beberapa designer yang dipekerjakan Ayah,” ucap Zetta merendah.              Fritz tidak menyangka Zetta bakal mengucapkan kalimat ini kepadanya. Ditatapnya lagi paras Zetta, dan balas tersenyum.             ‘Ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama,’ merasakan gemuruh hebat di dadanya, membuat Fritz enggan menyangkal kata hatinya ini. Ya, dia benar-benar jatuh cinta pada pertemuan pertama kepada Zetta. Menyadarinya hal itu Fritz memilih menikmati perasaan indah itu. Ia membiarkan dirinya terhanyut semakin dalam, untuk merajut asa dan mimpi yang baru saja terjuntai.              “Selama ini, Ayah selalu memberikan pesanan seragam kerja karyawan ke Pak Irawan. Dan tentu saja, saya penasaran sama beberapa model pakaian kerja wanitanya. Terkesan simpel, tapi sungguh berkelas. Pegawai Ayah bilang, bahannya nyaman, modelnyapun bagus dan tidak pasaran. Itu sebabnya, ketika membuka usaha pribadi ini, saya sempatkan datang ke outlet, bukannya ke workshop. Dulu, saya tertarik melihat beberapa sketsa yang ditunjukkan oleh Pak Irawan. Ada inisial ZK yang tertera di sana. Pak Irawan bilang, itu inisial putrinya, designer-nya,” terang Fritz kemudian, setelah dirinya mampu mengatasi keadaan.             “Oh, yang mana?” tanya Zetta antusias. Sebagaimana orang-orang lainnya, wajah gadis itu sumringah, matanyapun berbinar ceria, mendengar karyanya dikagumi orang. Dan lagi,  Fritz terpesona melihat paras berseri-seri Zetta.              Hati Fritz langsung berbisik, “Ini gadis yang kamu cari. Miliki dia.”              “Yang mana, Fritz?” ulang Zetta akrab, tak sadar pertanyaan yang dilontarkannya membuat Fritz semakin merasa nyaman, ingin berlama-lama berada di dekatnya.               “Banyak. Khususnya, blus wanita yang kami pilih,” sahut Fritz.              “Oh, ya?” Zetta semakin bersemangat jadinya.              Fritz memandang ke sejumlah busana yang ada di display. Dan pandangannya terpusat ke satu titik.             “Nih, ada yang sepintas lalu, modelnya mirip yang warna pink ini. Hanya beda aksesoris, aksen, corak, material serta warnanya. Yang polos, tanpa bordiran bunga mawar di bagian d**a begini,” tunjuk Fritz pada sebuah blus yang dipajang di dekat tempat mereka berdiri.              Zetta tersenyum menanggapinya.             “Begitu, ya Fritz? Hm.., sebentar, saya carikan versi kasual atas model ini,” sambut Zetta antusias, lalu seperti mengingat-ingat.  Sejurus kemudian gadis itu memalingkan wajah dan menatap sang ayah.             “Yah, kode ‘R7’ sudah dipajang?” tanya Zetta. Ia tampak bersemangat karena mendapat kesempatan mempromosikan langsung, hasil produksi perusahaan Ayahnya.              “R7, Mbak Zetta? Ada dekat area kasir. Sebentar, saya ambilkan, ya,” Nafisah, salah satu penjaga outletnya, yang kebetulan melintas dekat tempat mereka bercakap-cakap, menimpalinya.              “Iya, Naf, tolong,” ucap Zetta, yang langsung diangguki Nafisah.              Hanya butuh kurang dari dua menit, Nafisah sudah kembali menghampiri Zetta. Penjaga outlet itu menyerahkan empat buah blus lengkap dengan hanger ke tangan Zetta. Pilihan warnanya beragam, dari  biru pirus, dusty pink, merah marun, hingga hijau toska.             “Terima kasih ya Naf,” ucap Zetta seraya menerima blus yang diulurkan oleh Nafisah.              “Sini, Ayah bantu pegang. Supaya bisa terlihat jelas sama Fritz,,” sang Ayah mengambil inisiatif untuk mengambil di antaranya dan memegang masing-masing satu di tangan kanan dan kirinya.             Zettapun mamandang sang ayah dengan tatapan penuh terima kasih dan melakukan hal serupa.              Fritz langsung mengamati satu demi satu.             “Wah, bagus, nih! Cocok untuk dijadikan dress code pas acara tahunan grup perusahaan, nanti. Paling-paling, kami minta tambahan bordiran logo perusahaan sama tanggal pelaksanaan. Kalau model dan warnanya sih, saya suka. Kalaupun mau dirubah sedikit, mungkin pada kerahnya saja sebagai pembeda. Boleh saya lihat warna terangnya, biru pirus dan dusty pink dulu?” pinta Fritz penuh minat.              Zetta dan Ayahnya tersenyum bersamaan. Pasalnya, Zetta memegang blus berwarna biru pirus dan merah marun, sementara dua sisanya dipegang oleh Ayahnya.              “Yang Zetta pegang dulu, deh,” saran sang Ayah, dan langsung diangguki Fritz penuh semangat.              Fritz memerhatikan dengan lebih teliti blus yang diserahkan Zetta kepadanya. Semakin lama Fritz melihatnya, semakin sukalah dia. Dan begitu menemukan kode inisial “ZK” di bawah merk yang tertera pada label, rasanya dia tak memerlukan opsi lain lagi sebagai pembanding.              “Ngomong-ngomong, kode ‘R7’ yang kecil ini, maksudnya apa, Zetta?” tanya Fritz kemudian. Tangan Fritz menunjuk tempelan dekat label yang dimaksud olehnya.              Zetta tertawa kecil dan mengerling sesaat kepada sang ayah.             Pak Irawan mesem kecil menanggapi kerlingan Zetta.                                                                                                                                                                      - Lucy Liestiyo -  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD