Kutunggu waktunya tiba, hingga kau sudi membuka mata. Kunanti hari berlalu, agar aku sudahi menunggu.
_______________
Semilir angin sore ini seolah menyuarakan alunan musik sendu, mereka menari mengikuti ritme kesedihan yang cukup terasa. Tak mau ketinggalan dedaunan ikut berguguran bersama luka yang sudah cukup lebar dan makin hari makin menyayat setiap kali Nada datang ke tempat itu. Nada tengah duduk seorang diri di sebuah ayunan besi yang berada di halaman panti tempat rawat Dena, dia terlihat melamun meski beberapa daun dari pohon mangga jatuh di puncak kepala dan pangkuannya seolah mereka tak bisa mengusik apa yang ia pikirkan sekarang.
Seorang suster berpakaian seragam lengan pendek serta celana panjang biru muda menghampiri Nada dari arah belakang.
"Mbak Nada," sapa suster itu. Dia kini berdiri di sisi ayunan.
Nada tersadar dari lamunan panjangnya, dia beranjak. "Eh, suster. Udah selesai urusannya?"
"Udah, Mbak."
"Kalau begitu silakan duduk," ajak Nada dan disetujui oleh anggukan suster itu. Keduanya duduk berhadapan di ayunan besi.
"Jadi gimana keadaan mama?" tanya Nada tak sabaran, sejak melihat beberapa orang suster di ruang rawat Dena tengah memberi suntikan pada lengan sang ibu membuat dirinya jadi cemas, ada apa sebenarnya?
Suster berambut sebahu itu menarik napasnya. "Jadi begini, Mbak. Beberapa hari ini Bu Dena mulai berubah. Temperamennya naik, dia suka teriak-teriak sendiri sebut-sebut nama Mbak Malla. Ibu juga suka serang suster yang cek keadaan, Mbak bisa lihat luka saya." Suster itu menunjukan lengan kirinya yang terluka, tampak tiga ruas garis warna merah dan salah satunya lecet seperti bekas cakaran.
Nada menelan saliva setelah mendengar perkataan sang suster dan melihat luka itu. "Jadi itu benar-benar perbuatan, mama?"
Suster itu mengangguk. "Iya, Mbak. Tadi dia ngamuk lagi pas suster lain cek jadi terpaksa kami suntik obat penenang."
Nada terdiam, dia mencoba memahami apa yang terjadi pada ibunya. Mungkin wanita itu terus saja memikirkan anak gadisnya yang sudah tidak ada lagi, terlalu larut dalam kesedihan hingga membuatnya benar-benar di luar kendali siapa pun bahkan diri sendiri.
Gadis itu menarik napasnya lalu beranjak.
"Saya mau cek mama sebentar." Pamitnya lekas beringsut meninggalkan sang suster.
Gadis itu masuk dengan langkah pelan, tak ingin mengganggu tidur ibunya meski dalam reaksi obat penenang. Nada merasa cukup miris mengingat lagi penuturan sang suster, selama ini Dena tidak pernah seperti itu apalagi sampai melukai orang lain. Cukup berat baginya tahu keadaan Dena lebih parah.
Kini, Nada yang sudah berdiri di sisi sang ibu membelai lembut kepala wanita itu lalu mengecup keningnya, dia tersenyum hangat menatap wajah Dena dari jarak sedekat itu. Ada rasa rindu yang pudar setiap kali ia datang ke sana.
"Ma, dua hari lagi ulang tahun Nada. Pasti Nada ke sini bawain mama cupcakes kok, Nada janji," ucap gadis itu meski tidak didengar oleh Dena.
______________
Ruangan bercat krem dengan nuansa bola yang cukup kental, ada beberapa piala yang berbaris rapi pada lemari kaca yang berdiri kokoh di sebelah televisi plasma screen serta beberapa miniatur robot dan motor zaman dulu yang sudah terkunci rapat. Jika tidak, jelas tangan jahil Erik yang akan beraksi.
Tiga buah foto yang berada terpasang pada pigura juga berjejeran di atas nakas, itu semua foto Zada bersama tim futsalnya setelah memenangkan lomba. Tak lupa bad cover yang ia tiduri malam ini juga bergambar Barcelona—tim luar negeri favoritnya juga beberapa koleksi sepatu bola pada sebuah lemari kaca kecil di dekat pintu.
Dia benar-benar kelelahan setelah pulang sekolah berlanjut mengikuti latihan futsal di sekolah hingga dua jam lamanya, baru setelah maghrib remaja itu memilih mengatupkan kedua bola mata untuk beristirahat. Untunglah Erik sedang pergi bersama ibunya, jadi takkan ada yang bisa mengganggu waktu tidurnya malam ini.
Zada begitu nyenyak terlelap dengan posisi telungkup dan hanya menampakan sisi wajah sebelah kiri saja, dia juga menyalakan AC kamarnya malam ini.
Terlihat daun pintu bergerak turun, seseorang masuk kamar Zada tanpa mengetuk lebih dulu. Begitu lancangnya Rebbeca masuk dengan mengendap-endap, berharap laki-laki itu takkan sadar. Mengenal dekat keluarga Zada membuatnya leluasa datang ke rumah besar itu setiap hari, meski terkadang membuat Rosalie jengkel dan kali ini dia berhasil masuk kamar Zada tanpa ada yang tahu.
Langkah Rebbeca terus menghampiri Zada yang sangat menikmati tidurnya, senyum terus saja ia pasang karena cukup senang malam ini. Hingga Rebbeca benar-benar duduk di sisi Zada, menatap dari dekat wajah rupawan laki-laki yang selalu membuatnya mabuk kepayang dan selalu memenuhi pikirannya setiap waktu.
"Mau tidur atau enggak juga kamu tetep ganteng kok, Zad. Maksimal banget malah," gumam Rebbeca lirih, tak ingin Zada sampai terbangun.
Mendadak tangan kanan gadis itu bergerak menghampiri kepala Zada, dia membelai lembut kepala Zada dan menyibak sedikit poni Zada agar dapat melihat wajah tampan itu lebih jelas.
"Ya ampun kamu gemesin banget sih, Zad. Pantas aku nggak mau pindah ke lain hati," ucap Rebbeca gemas.
Mau pakaian apa pun yang dikenakan, Zada memang menggemaskan, malam ini dia hanya memakai kaus oblong warna putih dan celana pendek hitam. Tak ada yang spesial, tapi apa pun yang Zada pakai selalu pantas untuknya.
Mendadak wajah Rebbeca mendekat, dia mulai mencuri kesempatan dalam kesempitan. Jantungnya berdetak lebih cepat menikmati momen itu, ketika wajahnya kian dekat dengan wajah Zada.
"Bang Jada!" seru Erik yang berdiri di ambang pintu dengan raut kesalnya. Membuat Rebbeca tersentak dan mengurungkan niatnya untuk mencium Zada, dia menoleh pada Erik.
"Erik? Kamu sejak kapan di situ?" tanya Rebbeca yang kini beranjak menghampiri bocah kecil itu.
"Tante ngapain di sini, jangan ganggu abangnya Erik!" sentak Erik dengan kesal, segera dia berlari dan naik ke tempat tidur Zada lalu mengguncang tubuhnya dengan kuat.
Rebbeca mendelik, dia kebingungan sekarang. "Aduh! Jangan dong nanti Zada bangun, Erik?" pinta gadis itu, kini dia kembali menghampiri Erik yang tak mau mengalah pada keadaan.
"Bang bangun, Bang! Bang bangun!" seru Erik sambil terus mengguncang tubuh Zada.
Rupanya usaha bocah itu berhasil, Zada yang merasa benar-benar terusik akhirnya bangun. Dia menggucak matanya sambil menatap Erik remang-remang dengan posisi masih telungkup.
"Kamu ngapain di kamar, Abang, baru pulang?" tanya Zada keheranan.
Tangan Erik terangkat dan menunjuk ke arah Rebbeca yang berdiri di ujung ranjang, sejak tadi dia sudah merasa begitu cemas dan kebingungan. Zada akhirnya beranjak dan mengikuti arah telunjuk keponaknnya hingga ia menemukan seorang gadis di kamarnya malam ini.
Tanpa menunggu lama mata Zada membulat sempurna, dia bergerak menghampiri Rebbeca yang sudah menggigit bibirnya. Gadis itu merasa s**l malam ini, semua karena Erik yang sudah menghancurkan rencannya.
"Lo ngapain malam-malam di kamar gue? Siapa yang izinin lo masuk, hm?" tanya Zada dengan kening berkerut, dia sudah berdiri di depan Rebbeca. Sedangkan Erik tampak asyik dengan ponsel Zada seraya menjatuhkan tubuhnya di ranjang tanpa peduli nasib Rebbeca sekarang.
"Ng ... aku, anu aku itu, Zad," sahut Rebbeca kebingungan, dia tak berani menatap mata Zada lebih lama ketika laki-laki itu sedang marah. Mata teduhnya berganti jadi mata elang.
"Ayo ngomong, lo ngapain malam-malam masuk kamar gue tanpa izin. Lo mau maling yah?" terka Zada asal.
Rebbeca berusaha mengontrol detak jantungnya yang kian berpacu lebih kencang, ada rasa takut mendominasi dirinya. "Ng ... nggak kok, Zad. Masa sih aku harus maling."
"Terus apa? Di mana-mana kalau orang masuk kamar orang lain tanpa izin ya disebut maling, dan tadi lo baru lakuin."
"Tapi aku nggak maling, Zad!" Rebbeca mati-matian meyakinkan Zada.
"Iya kalau bukan maling apa, hm? Alah udah lah lo mau apa kek sekarang keluar dari kamar gue!" bentak Zada berhasil membuat Rebbeca mengerjap, segera Zada menarik lengan gadis itu dan menyeretnya keluar dari kamar.
"Tapi, tapi, tapi aku mau ketemu kamu, Zad. Jangan usir gini dong." Rebbeca menunjukan tampang memelasnya. Mereka sudah berdiri di luar kamar Zada.
"Ketemu apaan, wey? Lo tadi lihat gue lagi tidur, kan? Gue capek seharian, jadi bisa kan jangan ganggu orang sekali aja!" Zada begitu geram dengan tingkah laku Rebbeca yang tidak sopan dan mengganggu privasi orang lain.
Rebbeca menatap Zada. "Tapi sebentar aja kok, nggak akan lama deh janji."
"No choice, sekarang lo pulang. Pintu masih kebuka lebar pasti, gue mau tidur." Tanpa menunggu jawaban dari Rebbeca, Zada segera masuk kamarnya dan membanting pintu.
Brak!
"Zada!" seru Rebbeca dari luar kamar.
Zada benar-benar kesal pada setiap hal yang dilakukan gadis itu karena sama sekali tidak ada yang membuatnya nyaman, setiap hari hanya bisa mengganggu dan jadi benalu baginya. Dia yang sudah lelah hari ini begitu terganggu dengan kedatangan gadis itu, jika Tuhan mengabulkan jelas Zada akan meminta hilangkan saja Rebbeca dari pandangan matanya.
Kini dia masuk ke toilet dan membasuh wajahnya dengan air kran di depan kaca wastafel, Zada menyugar rambutnya lalu mengusap wajah dengan sebuah handuk kecil yang tergantung di sisi wastafel.
Setelah itu dia keluar dan mendapati Erik sudah terlelap dengan game pada ponsel Zada yang masih menyala dalam genggaman bocah lucu itu. Setidaknya Zada masih bisa mengulum senyumnya malam ini meski sangat kesal setengah mati, Erik menjadi obat penyejuk suasana hatinya malam ini.
___________________