Begitu banyak kesalahan yang perlu disesali, sebab kesalahan akan mengajarkan siapa-siapa menjadi lebih baik lagi
___________
Nada sengaja menunggu semua orang keluar dari kelas tepat setelah bel istirahat berbunyi, dia sedang mempersiapkan mentalnya untuk berbicara dengan seseorang.
Gadis itu benar-benar diam di kursinya, dia menarik napas sebelum tubuhnya beranjak dan mendorong kursinya ke belakang hingga menyentuh tembok—lalu melangkah cukup tergesa menghampiri seseorang yang sedang menunduk melangkah keluar kelas seraya menatap ponsel di tangannya.
"Zada!" seru Nada seraya memelankan langkahnya karena ia makin dekat dengan laki-laki itu.
Zada memalingkan fokusnya dari ponsel dan menoleh, dia menghentikan langkah setelah tahu yang memanggilnya adalah gadis itu. Segera Zada memasukan ponselnya ke saku celana, dia menyugar rambut, posisi mereka di dekat jendela kelas.
"Ada apa?" tanya Zada setelah gadis itu berhenti di depannya tanpa seulas senyum.
Gadis itu mengulurkan tangan, "Gue mau minta maaf sekaligus terima kasih."
Mata Zada menatap lekat eboni itu, dia membalas uluran tangan Nada dengan cepat. "Untuk apa?"
Setelah sesi salaman itu selesai Zada memasukan tangannya ke saku celana, sesekali dia menatap orang-orang yang melewati mereka—pun dengan Nada yang terlihat bingung, dia jarang sekali berhadapan dengan laki-laki.
"Buat kemarin karena gue ngeyel pas lo minta jangan ikut olahraga, dan terima kasihnya buat banyak hal sih." Gadis itu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Banyak? Apa yang banyak?"
"Banyak bantuin gue, makasih."
"Sama-sama."
Untuk sejenak keduanya saling membisu, atmosfer keheningan mereka begitu terasa meski banyak anak yang bolak-balik melewati mereka, tapi seakan ruang itu hanya milik mereka. Tak ada bayangan orang lain yang lewat dan hanya keduanya yang kini terjebak kegugupan untuk saling melempar kosa kata lagi. Jika Nada terus saja menunduk atau sebisa mungkin tak berbalas pandang dengan terus melihat ke arah lain, beda halnya dengan Zada, dia justru menatap lurus gadis di depannya seolah senang menikmati momen itu.
"Ada lagi?" tanya Zada memecah kebisuan antara mereka, dia menyugar rambutnya lagi penuh pesona.
Nada terhenyak, dia mengusap tengkuknya. "Enggak kok, ng ... ya udah makasih ya. Gue mau ke Adela dulu pasti dia udah nunggu," jawab Nada gugup, terlihat dari rona wajahnya.
"Silakan."
Nada melangkah melewati laki-laki itu, tentunya bola mata Zada tak lepas menatap kepergian Nada hingga tubuhnya ikut bergerak ke belakang—menatap punggung Nada yang sudah berlalu di kelas sebelah.
"Zad!" seru suara seseorang. Sebuah tangan menepuk bahunya, kini Mario berdiri tepat di sebelah Zada yang baru saja tersadar dari imajinasi otaknya.
"Lihatin siapa, sih?" tanya Mario penasaran.
Zada menoleh, "Nggak."
Mario adalah teman dekat Zada sejak SMP, saat kelas sepuluh pun mereka duduk bersama, tapi kenaikan setelahnya mereka dipisahkan oleh aturan perombakan kelas dari pihak sekolah. Mario sering melangsungkan futsal dengan Zada, terutama karena dirinya juga masuk tim inti futsal SMA Nusa Bhakti itu.
"Lo ke mana aja, Zad? Pas malam itu gue ke rumah lo hujan-hujan malah lo nggak ada di rumah. Minggat ke mana lo?"
Zada terdiam, dia berpikir sejenak apa yang terjadi malam saat hujan tiba. Namun, s**l! Rupanya pikiran Zada mengarah langsung pada kejadian di mobil bersama Rebbeca, saat dia gagal pergi ke kafe bersama gadis blasteran itu.
"Lo nggak ke tempat futsal malah minggat sama cewek, asyik bener gue juga mau," cibir Mario membuat Zada menatapnya.
"Nggak sengaja," sahut Zada enteng sebelum beringsut meninggalkan Mario.
_________________
Ingin kunikmati romansa SMA
Seperti kisah Mama dan Papa
Lalu kupilih satu nama
Dia adalah Nada
Kening Rosalie berkerut setelah membaca lembar pertama sebuah buku tulis yang ia temukan di dalam nakas kamar Zada, wanita itu memang tidak pernah mengobrak-abrik isi kamar sang putra. Namun, kali ini Rosalie cukup penasaran, niatnya hanya ingin meletakan beberapa baju yang sudah disetrika dan digantung oleh bibi. Ia akan masukan semuanya ke lemari, tapi nyatanya tangan Rosalie ikut berkelana. Dia tak pernah menyentuh barang milik anaknya, dan barang yang kali ini dia sentuh cukup membuatnya tercengang.
"Zada bisa nulis puisi?" gumam Rosalie yang kini duduk di ranjang milik Zada seraya memegang buku tulis.
Tangannya membalik lembar yang lain dan menemukan tulisan tangan Zada juga, sebuah puisi lagi.
Begitu luas hamparan mega
Tak tersentuh tak terbaca
Inginku lukis dengan jutaan kata
Nyatanya semu belaka
—
——
Kisah kita adalah imaji
Tentang perkara yang menyalur pada hati
Hingga terpacunya detak seirama
Menelisik relung mencipta alunan nada
Rosalie kini mengulas senyumnya setelah membaca beberapa puisi karya Zada, dia cukup kagum pada sisi lain sang putra. Rosalie tahu jika Zada adalah tipe laki-laki yang cuek dan tidak terbuka tentang kehidupan remajanya pada banyak orang termasuk sang ibu. Yang Rosalie tahu Zada kapten futsal sekolahnya dan tak punya seseorang yang spesial, pasalnya Zada sering meninggalkan ponselnya di kamar.
Jadi, Rosalie dapat menyimpulkan sendiri jika anaknya tak memiliki hubungan khusus dengan seorang gadis.
Namun, kali ini Rosalie seperti menemukan sebuah titik bahwa Zada juga pernah menyukai seorang gadis, Nada?
"Nada? Nada itu siapa?" Rosalie tak melanjutkan membaca puisi milik Zada, dia menutup buku dan mengembalikannya lagi ke dalam nakas.
_________________
Zada mengetukan salah satu telunjuknya di permukaan meja kantin seraya menyandarkan punggung di tembok. Zada, Dewa serta Mario duduk di pojokan kantin lantai tiga. Ketika kedua temannya begitu lahap memakan ketoprak yang mereka pesan, beda halnya dengan Zada yang hanya memesan segelas es teh. Dia terlihat tidak bersemangat seraya menatap langit-langit kantin.
Sesekali Zada mengedarkan pandangannya berharap menemukan sesuatu yang tidak membosankan, tapi tidak ada.
Dia nggak pernah ke sini. Batin Zada lalu menegakan posisi duduknya dan menyeruput es teh sedikit.
"Lo nggak makan, Zad?" tanya Dewa yang baru saja menghabiskan ketoprak miliknya, laki-laki itu duduk di sebelah Zada, sedangkan Mario berada di seberang Zada.
"Enggak."
"Kenapa? Nanti pulang sekolah kita latihan lho, bisa-bisa lo semaput gara-gara nggak makan," ujar Mario yang kini mengaduk jus jeruk miliknya dengan sedotan.
"Nanti gue makan," balas Zada tak bersemangat.
Dewa menepuk bahu Zada. "Ada yang lo pikirin pasti, apa? Ada masalah, Zad?"
Rupanya Dewa cukup paham dengan kondisi yang Zada alami, tapi laki-laki di sebelahnya memilih diam tanpa berucap sepatah kata.
Dewa menatap Mario seraya mengedik bahu seolah tidak tahu juga apa yang terjadi pada Zada.
Namun, senyumnya seketika terbit ketika melihat dua orang gadis yang baru saja masuk ke dalam kantin. Salah satu dari mereka adalah alasan kenapa Zada tidak bersemangat, dan kini moodboosternya seketika hinggap—seolah tanaman layu yang langsung segar setelah disiram air, itulah dia sekarang.
Mungkin Zada tidak bosan meski sudah melihatnya di kelas tempo hari seolah tujuan matanya menatap hanya pada gadis itu.
Bola mata Zada terus mengikuti arah gadis itu melangkah hingga berakjir duduk di meja deretan tengah. Nada baru saja meletakan kotak nasi yang ia bawa di meja.
Zada tak mampu berkedip, mungkinkah sesuatu yang sudah lama tenggelam tiba-tiba muncul ke permukaan lagi?
Mungkinkah kehadiran gadis itu mulai mengusik batinnya lagi setelah cukup lama tanpa kabar, tiba-tiba kembali datang dan membawa romansa masa lalu yang belum terselesaikan secara langsung. Namun, tidak salah jika Zada menganggapnya hanya sebatas mantan, meski mereka sama-sama tidak pernah mengalami masa bertemu apalagi memegang tangan.
Zada merasa deja vu, dia menyesal akan banyak hal tentang masa lalu. Apa karena tidak ada rasa dalam diri Nada? Apa karena ia yang terlalu cepat mengungkap tanpa bertanya lebih dulu isi hati gadis itu, hingga yang terjadi adalah tidak ada kenangan sama sekali yang mereka miliki. Bertemu saja tidak—apalagi mengucapkan i love you, semua salah jalan takdir saat itu, semua salah waktu yang tidak berpihak pada mereka.
Zada merenung sejenak, mencoba memahami bahwa setiap kisah pastinya akan selalu berakhir, tak ada yang abadi, tak ada yang bisa dimiliki untuk selamanya meski seseorang sering mengatakan; aku mencintaimu sampai mati.
Zada menelan saliva, dia tersenyum kecut mengingat kebodohannya terlalu lancang meminta hati gadis itu tanpa berbalas rasa lebih dulu. Ya, kini dia sudah paham kesalahannya.
"Papa lo masak apa, Nad?" tanya Adela yang baru saja meletakan semangkuk bakso di meja dan kembali duduk di sisi Nada.
Nada yang sedari tadi sudah mengunyah beberapa suap nasi bekalnya kemudian meminum sebotol air mineral yang Adela belikan.
"Ayam kecap, sama tumis brokoli. Lo mau?" Nada mengangkat bekalnya di depan Adela.
Adela melihat sejenak lalu tersenyum kecut. "Mau sih, masakan Papa elo pasti enak kayak ala-ala chef gitu deh. Ah enggak ah, itu punya elo. Maruk juga gue makan bekal orang." Adela nyengir kuda.
Nada meletakan lagi bekalnya. "Ya nggak apa-apa kok kalau nggak mau." Nada kembali melahapnya.
Adela mulai menuang saus dan sambal ke mangkuk bakso yang berisi itu, bisa dikatakan kalau Adela adalah jagoan pedas. Nada yang melihat tangan Adela terus saja mengambil sambal hingga empat sendok mulai merinding sendiri, segera dia merebut tempat sambal dan sendok kecil yang Adela pegang.
"Lho, kenapa diambil, Nad? Lo mau pakai sambal juga?" tanya Adela polos.
"Lo itu nggak kira-kira banget deh Del kalau ambil sambal, nanti perut lo sakit terus mencret bahkan bisa masuk RS gimana?" celetuk Nada sedikit menakuti temannya.
Adela menatap Nada dengan kening berkerut. "Itu lo lagi doa apa nakut-nakutin sih, Nad? Mau harga sewa kamar di rumah sakit sepuluh ribu permalam juga gue nggak akan pernah mau nginep di sana."
Nada hampir tertawa. "Nah itu lo paham, kurang-kurangin deh makan pedas. Nanti lo bisa kena maag apalagi elo jarang makan."
"Sekali-kali."
"Bebal lo kalau dikasih tahu."
Sedangkan dari jauh dua bola mata teduh itu masih saja memperhatikan interaksi dua gadis itu, meski hanya satu saja fokusnya.
____________