Malam Pertama

1274 Words
Aldefan’s POV Kurebahkan badanku di atas kasur setelah sebelumnya mandi air hangat. Suara gemericik dari kamar mandi terdengar nyaring. Rayya sedang berada di dalam. Hari ini benar-benar melelahkan. Berjam-jam lamanya aku berdiri untuk menyalami tamu undangan satu per satu. Selama resepsi mataku terus mengawasi para undangan yang hadir. Mungkin saja ada Derrel di sana. Ternyata, dia tidak datang. Aku sudah menduganya. Ijab qabul tadi pagi berjalan lancar. Mungkin jika aku benar-benar jatuh cinta pada Rayya, proses itu akan kulalui dengan begitu dramatis. Tapi tak ada perasaan khusus yang kurasakan saat kata demi kata meluncur dari bibirku, “kuterima nikah dn kawinnya Rayya Alea Sabila binti Muhammad Rahmat dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Semua hadirin mengucapkan syukur atas sahnya kami menjadi sepasang suami istri. Kulihat derai air mata mengalir dari pipi ibuku maupun ibunya Rayya. Ayah Rayya telah meninggal, kakak laki-laki satu-satunya yang menjadi wali nikah kami. Mendadak hatiku seperti teriris kala teringat wejangan ibu mertuaku untuk menjaga putrinya dengan baik. “Dia dari luar saja terlihat tomboy dan kuat. Aslinya sangat peka dan perasa.” Ya, apapun keadaan di balik pernikahan ini, saat ini Rayya telah resmi menjadi istriku. Aku tak kuasa menahan haru kala mendengar isak tangis ibuku saat memelukku. Ayah memberi petuah bijaknya agar aku berusaha menjadi imam yang baik untuk Rayya. Sekejap rasa cemas menyeruak dari segala sudut. Tiba-tiba aku takut tak bisa menjadi suami yang baik. Meski Rayya tahu ini bukan pernikahan yang kami inginkan dan dia tak akan menuntut lebih, namun tanggungjawabku sekarang bertambah besar. Aku punya seseorang yang akan menemani keseharianku, tidur satu kamar denganku dan aku akan melihatnya setiap hari. Pernikahan ini masih seperti mimpi. Aku dan Rayya menikah, tanpa orang tahu di hati kami tak ada secuilpun rasa cinta. Mereka mengatakan kami serasi, ganteng dan cantik. Rayya memang tomboy, tapi sungguh saat dia mengenakan kebaya putih berhias bunga-bunga yang senada warnanya dengan warna kebayanya, dia terlihat sangat cantik alami. Dia mengenakan hijab untuk ijab qabul dan resepsi, tentu saja rambut pendeknya susah untuk disanggul, makanya dia memilih mengenakan hijab. Aku seperti melihat bidadari menjelma pada sosoknya. Pintu kamar mandi terbuka. Kutoleh Rayya berjalan dengan pakaian lengkap, satu setel piyama cowok. Dasar tomboy, aku pikir dia akan mengenakan baju tidur perempuan. “Kamu ganti baju sekalian di dalam?” Dia yang tengah menyisir rambutnya di meja rias seketika menolehku, “kenapa? Kamu ngarep aku ganti baju di depanmu?” Aku menyeringai. Pertanyaan yang aneh. “Ya mungkin, kalau aku straight.” Jawabku sekenanya. Rayya duduk di ujung ranjang, masih menatapku. Kulihat dia bertambah cantik setelah menyandang status istri. “Perempuan secantik Raisa sekalipun nggak akan bikin kamu bereaksi.” Ucapnya datar. Aku tersenyum tipis, “ya sama, cowok seganteng Hamish sekalipun nggak akan bisa bikin kamu tertarik.” Kami membisu. Sejujurnya aku canggung berhadapan dengannya dalam satu kamar. Sebelumnya aku terbiasa tidur sendiri. “Jadi kita akan tidur satu ranjang?” Pertanyaannya membuatku tergelitik. “Kalau kamu keberatan, kamu bisa tidur di sofa,” kataku sambil melirik sofa abu-abu yang menghampar di sebelah ranjang. Rayya melongo. Raut mukanya terlihat lucu dan membuatku tertawa lepas. “Aku bercanda. Ya satu ranjang lah, mau di mana lagi?” Rayya berdecak, “aku pikir kamu yang akan mengalah tidur di sofa. Hmm, mentang-mentang ini rumahmu jadi aku harus mengalah.” Aku terkesiap mendengarnya bicara soal rumah. Posisiku yang tadinya terbaring, sekarang duduk menghadap Rayya, “sekarang ini rumahmu juga, jangan ungkit-ungkit lagi ini rumah siapa.” Bibirnya terkatup. Dia duduk lebih ke tengah, “minggir,” dorongnya pada tubuhku dengan kasar. Aku menepi dan sekarang dia mendominasi sebagian besar ranjang. Dia menjatuhkan badannya pada ranjang. Kedua tangannya dibentangkan. “Rasanya lega banget bisa berbaring kayak gini.. Badanku pegel banget.” “Agak minggir donk Ray, kamu terlalu menguasai ranjang ini.” Pintaku sambil menatapnya yang tengah memejamkan mata seolah begitu menikmati suasana saat ini. Dia tertawa dan melirikku, “iya maaf,” dia menggeser badannya. Aku merebahkan badanku di sebelahnya. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku tahu dia tidak benar-benar terpejam. Mungkin dia merasa seperti bermimpi juga. Rasanya baru kemarin kami ngobrol di forum, sekarang kami mengganti status pertemanan kami menjadi sebuah pernikahan. Jalan hidup manusia itu unpredictable. “Ray,” panggilku lirih. “Ya,” jawabnya tanpa menoleh padaku. “Kamu udah pernah pacaran berapa kali?” Dia menolehku. Kuamati garis wajahnya yang menyiratkan kelelahan. Kadang aku melihatnya tampak seperti laki-laki, mungkin karena potongan rambut dan gaya maskulinnya. Tapi dia terlalu cute untuk ukuran seorang laki-laki. Aku tidak pernah memperhatikan detail wajah perempuan kecuali wajah yang sekarang terpampang di depanku. “Aku baru sekali. Selama hidupku aku hanya mencintai Andriana.” Aku cukup terkejut. Rupanya pengalaman cintanya masih minim. “Kalau kalian sedang berduaan, apa yang kalian lakukan?” Pertanyaan ini meluncur begitu saja. Sampai akhirnya kutatap mimik muka Rayya berubah, barulah aku sadar, mungkin pertanyaan ini tak seharusnya aku ajukan. “Pikiranmu pasti ngeres. Aku bukan lesbian yang liar. Aku nggak pernah ngapa-ngapain ama Andriana. Aku hanya merasakan sayang padanya dari hati, tanpa ada keinginan untuk macam-macam dengannya.” Aku tertegun mendengar ucapannya. “How about kissing?” Tanyaku menyelidik. Dia menggeleng. “Kamu belum pernah sekalipun berciuman?” jujur aku kaget mendengarnya. Dia menggeleng sekali lagi. “Kamu nggak ingin mencobanya?” Rayya menatapku tajam. “Denganmu?” Hah? Seperti ada sesuatu yang berdesir menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tak pernah membayangkan berciuman dengan seorang perempuan. Aku tidak berminat untuk itu. Tapi mungkin akan seru jika aku mengerjainya. “Ya, kenapa tidak? Kita sudah menikah sekarang,” tak lupa kutambahkan senyum genit yang menggoda. “Apa kamu pikir kita akan menghabiskan malam pertama kita seperti pasangan lain?” cecarnya ketus. Aku sangat tidak yakin. Dan tak pernah tercetus keinginan untuk menyentuhnya. Tapi tak ada salahnya jika aku menggodanya. “Kenapa tidak?” Dia menyeringai, “Yakin itumu bisa hidup?” Huufffttttt.... Tawanya meledak. Sepertinya dia puas balik mengerjaiku. Aku semakin tertantang. “Kita nggak akan tahu kan kalau nggak nyoba dulu?” Aku bisa melihat dia sedikit gugup. Kami saling beradu pandang. Kenapa tiba-tiba wajah Derrel seakan melekat di wajahnya. “Kamu pernah jatuh cinta ama cowok nggak? Sebelum kamu jadi lesbian..” Melihat kecemasan di gurat wajahnya, aku jadi ingin menyelidiki apakah dia lesbian sejak kecil atau tidak. “Pernah waktu SMP. Tapi dia nggak nanggepin. Dia bilang aku kayak cowok, nggak cantik, dan dia nggak suka ama aku, aku sakit hati.” “Apa karena itu kamu jadi lesbian?” Rayya tersenyum tipis, “tidak sesimple itu. Aku mungkin ada kecenderungaan biseks sejak kecil. Tapi setelah SMA, aku lebih tertarik dengan perempuan. Aku jatuh cinta pada Andriana sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana. Wajah cantiknya telah menarik perhatianku.” “Itu artinya suatu saat mungkin orientasi seksualmu bisa berubah lagi? Mungkin kamu akan menyukai cowok lagi?” Rayya menatap langit-langit. Tatapannya menerawang lebih jauh, seakan menembus sampai langit lapis ke tujuh. “Entahlah.. Tapi saat ini aku belum tertarik pada laki-laki. Aku masih mencintai Andriana.” “Apa kamu masih punya kemungkinan untuk suka padaku?” Bodoh, kenapa dari tadi aku terus memancingnya. Rayya memiringkan badannya dan mendekatkan wajahnya padaku. Sekarang jarak kami hanya beberapa senti. “Kamu tahu, Andriana bilang akan belajar mencintai suaminya. Dan aku juga akan belajar... mencintaimu.” Deg.. Hembusan napasnya bisa kuhirup. Wangi tubuhnya seperti aroma terapi yang menenangkan. Aku tak pernah berpikir untuk melibatkan hati pada pernikahan kami. Aku tidak tertarik pada perempuan. Namun saat melihat wajah polos Rayya, sesuatu seolah berbisik, kenapa aku tidak mencobanya? Mencoba belajar mencintainya dan belajar menjadi straight? Lalu bagaimana dengan Derrel? Aku belum bisa melepasnya. Binar mataku bertabrakan dengan mata Rayya. Matanya terlihat teduh seperti lautan. Aku seakan tenggelam di dalamnya. Di malam pertama kami, aku mendaratkan kecupan di bibirnya. Tidak lebih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD