Sisi Lain

2198 Words
Aldefan’s POV Mataku mengerjap. Kubuka perlahan dengan rasa kantuk yang masih menggelayut. Setelah sekian detik mataku membuka, aku duduk sambil membentangkan tanganku lalu menggerakannya ke kanan dan kiri. Sosok mengenakan mukena tengah duduk sambil menengadahkan tangannya di lantai depan ranjang. “Itu Rayya?” Kubuka mataku lebar-lebar. Ya dia Rayya, wanita yang kemarin resmi menjadi istriku. Sungguh aku dibuat terpana. Aku tak pernah menyangka dia masih memiliki kesadaran untuk menjalankan ibadah di saat banyak orang seperti kami memilih meninggalkan agama dan bersikap masa bodoh dengan beragam doktrin hanya karena kami tak mau dicap pendosa dan tak punya iman. Aku akui, belakangan ini aku merasa semakin jauh dari Allah. Aku sering merasa hina dan berlumuran dosa, hingga aku berpikir mungkin Allah sudah tak sudi lagi untuk melihatku. Setelah semalam aku dibuat terkejut dengan pengakuan Rayya yang tidak pernah melakukan hal-hal di luar batas ketika masih menjalin hubungan dengan Andriana, kini aku mendapati fakta lain yang tak kalah mencengangkan. Realita pelaku homoseks itu pasti sudah melakukan hubungan seksual dengan pasangan sejenis mungkin memang banyak yang seperti itu, aku rasa tidak berbeda dengan pasangan heteroseks, mereka juga banyak yang melanggar batas. Tapi masih ada juga yang tetap bertahan menjaga kesuciannya meski dia menjalin hubungan pacaran dengan pasangan sejenisnya. Bahkan salah satu teman gay yang aku kenal dari forum gay di dunia maya mengaku tak pernah berpacaran dengan cowok manapun karena ia hanya berani menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri. Dan masih banyak kaum kami yang taat menjalankan agamanya dengan terus menahan nafsu agar tidak terjebak pada gaya hidup seks bebas. Dari yang aku baca, penyuka sesama jenis yang belum melakukan hubungan seks disebut SSA (Same s*x Attraction). Ironis, banyak tuduhan keji dialamatkan pada kami, tanpa mereka tahu, jatuh cinta yang harusnya menjadi fitrah bagi manusia, bisa menjadi sesuatu yang sangat menyiksa untuk kami. Karena cinta yang kami rasakan dinilai sebagai bentuk penyimpangan seksual, pelanggaran kodrat dan menyalahi fitrah. Bisa dipastikan bahwa sekian banyak dari kami harus meratapi keadaan bahkan sampai menjelang ajal, dan terus mencari jawaban, kenapa kami diuji dengan keadaan seperti ini? Kenapa kami harus memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis sejak kami kecil? Kenapa kami tidak menjadi straight saja dan merasakan indahnya jatuh cinta tanpa ada penghakiman negatif? “Kamu udah bangun? Subuhan dulu gih..” Suara Rayya membuyarkan monolog yang baru saja berlangsung di dalam hati. Kutatap dia yang tengah melipat mukenanya. “Laki-laki utamanya sholat di Masjid lho,” senyumnya sambil menatapku dengan tatapan lembut. Aku tersentak. Mendadak ada seonggok rasa pilu karena aku sadar, aku sudah jarang sekali merambah Masjid kecuali untuk sholat Jumat. Tapi sekarang ini aku sudah terlambat. “Besok bangunin aku lebih pagi ya, biar aku bisa sholat di Masjid.” Ujarku sambil melangkah menuju kamar mandi. Rayya tersenyum. Aku bisa melihat buncahan kebahagiaan melompat-lompat di binaran matanya yang indah. Rayya’s POV Aku bersiap untuk memasak di dapur. Selama empat tahun bekerja di restaurant tentunya memberikanku kesempatan mencicipi pengalaman dan pengetahuan tentang masakan dari para chef di sana. Yang membuatku semakin bersemangat bekerja di sana adalah setelah sekian lama aku bekerja sebagai pelayan, tiga hari sebelum pernikahan, mas Andar memintaku menggantikan chef Rendy yang pindah tugas ke salah satu cabang restaurant milik keluarga mas Andar di daerah Jogjakarta. “Beneran mas aku ikut masak di sini?” Pekikku saat itu. Aku benar-benar tak percaya mas Andar mempercayakan tugas ini padaku. Padahal aku bukan chef dan tidak pernah belajar memasak secara khusus. “Kamu beberapa kali masak saat salah satu chef di sini berhalangan hadir. Aku rasa itu udah cukup. Aku tahu kamu punya bakat. Anggap saja ini kado pernikahan dariku untukmu.” Jawab mas Andar dengan senyum. Betapa girangnya aku waktu itu. Itu artinya aku bakal berpetualangan dengan pengalaman baru dan berkesempatan mengembangkan passionku di dunia kuliner sebagai tukang masak. Gajiku pun jelas jauh lebih tinggi dibanding saat aku masih menjadi pelayan. Pagi ini aku memutuskan untuk memasak capcay. Aku cukup terkesima saat mendapati bermacam sayur dan bahan lain tertata rapi di dalam kulkas. Apa Alde tipe cowok yang suka masak? Tak heran sih, dia sudah hidup mandiri sejak dua tahun lalu, setelah membeli rumah ini. Mungkin dia jadi terbiasa untuk memasak. Oya, ada satu fakta yang baru aku tahu tentang suami... Eit suami? Ya Allah, harus kucubit berapa kali pipi ini untuk mengingatkanku bahwa sekarang aku sudah memiliki suami. Menyebutnya sebagai suami, menerbitkan bermacam rasa yang sulit untuk dijelaskan. Kembali ke fakta tentang Alde. Selain dia bekerja sebagai dosen, dia juga memiliki bisnis kontrakan. Katanya dia punya enam pintu kontrakan di kota ini, lokasinya tidak jauh dari kampusnya. Pantas saja di usianya yang masih terbilang muda, dia sudah memiliki sebuah rumah dan kendaraan. Dan aku baru tahu semua ini setelah menikah. Itu pun mertuaku yang memberi tahu. Jadi aku harus bilang bahwa aku gadis yang beruntung. Betulkah? Aku malah jadi tertawa sendiri. He is a gay anyway.. and i’m a lesbian. Kami terjebak pada pernikahan yang hanya mementingkan sebuah status di atas kertas demi membahagiakan keluarga masing-masing. Tiba-tiba aku teringat pada perkataanku semalam bahwa aku akan belajar mencintainya. Jika aku bisa memutar waktu, mungkin aku akan menarik kembali kata itu. Sebenarnya aku malu. Masa aku yang harus membicarakan ini lebih dulu? Sejak banyak membaca buku tentang pernikahan dan belajar lebih mendalami agama, aku punya motivasi kuat untuk menjalani pernikahan ini seperti layaknya sebuah pernikahan, di mana suami dan istri saling belajar untuk menghargai satu sama lain dan saling mencintai. Aku tahu, aku harus berjuang keras untuk melenyapkan perasaanku pada Andriana, menghapus jejak masa laluku dan menatap masa depanku bersama Alde. Tapi aku juga paham, Alde belum sampai pada tahap pemikiran seperti ini. Karena itu dia memutuskan untuk menikahi seorang lesbian agar bisa bertemu dengan boyfriendnya kapan saja. Tanganku mengiris pokcoy namun ingatanku menari-nari pada moment di saat Alde mengecup lembut bibirku. Bukan ciuman yang dalam seperti yang pernah aku lihat di drama romantis. Tapi itu semua membuat jantungku berdegup lebih cepat. That was my first kiss. Bahkan aku tak pernah membayangkan akan mendapat ciuman pertama dari seorang laki-laki. Aku pikir suatu saat aku akan melakukannya dengan Andriana, namun aku terlalu takut untuk menyentuhnya. Apalagi sejak dua tahun belakangan Andriana juga memiliki hubungan dengan laki-laki (yang sekarang menjadi suaminya), kami tak pernah punya banyak waktu untuk bertemu. Aku biarkan saja Andriana mendua karena aku tahu, hubungan kami tak akan langgeng. Ada saatnya di mana kami harus berhenti dan menikah dengan pria. Kuraba bibirku. Jejak bibirnya masih ada di sini dan aku masih bisa merasakan kala bibirnya yang tampak seperti bibir Zayn Malik menyentuh lembut bibirku. Apa mungkin aku terbawa perasaan? Atau ini menjadi satu langkah baru untukku membuka hati untuknya. Aku memang ingin belajar mencintainya. Aku ingin meninggalkan jejak kelamku sebagai lesbian dan belajar menjadi perempuan seutuhnya. Andriana telah berhasil melakukannya, kenapa aku tak yakin? Hanya Allah Maha pembolak-balik hati manusia. Mudah baginya untuk membalikkan hatiku yang penyuka sesama perempuan menjadi penyuka pria jika Dia berkehendak. Aku hanya perlu terus berusaha dan mengencangkan doaku. Derap langkah terdengar merdu. Kulirik Alde mengenakan t-shirt warna putih dan celana selutut berjalan menuju meja makan. Dia melemparkan senyum, kemudian duduk di salah satu kursi yang mengitari meja makan dan menatapku. Aku mendadak gugup. Baru kusadari dia memiliki wajah yang tampan, alis tebal, mata setajam elang, rambut spike yang selalu rapi, hidung mancung dan bibir.... yang mirip Zayn Malik tentunya. Apa secepat itu aku tertarik dengan laki-laki? Ya memang pesona Andriana masih jauh di atas dia. Tapi aku sudah berjanji untuk melupakannya dan belajar mencintai pria ini. “Kamu mau masak apa Ray?” “Aku mau masak capcay. Kamu suka capcay nggak?” Tanyaku sambil terus mengiris bahan-bahan yang ada di depanku. “Ya aku suka apa saja. Apalagi sayuran. Kamu bisa masak juga ya Ray? Aku pikir kamu cuma bisa main bola atau main basket.” Dia menyeringai. Dia bukan orang pertama yang meragukan kemampuanku dalam memasak. Semua orang tak akan percaya begitu saja bahwa seorang Rayya bisa memasak. Mereka selalu ragu untuk mencicipi masakanku, tapi setelah memakannya, mereka akan bilang, “masakan kamu enak. Nggak nyangka kamu pintar masak.” Aku balas senyumnya, “don’t judge book by its cover. Rasakan sendiri nanti kalau masakanku udah matang.” Alde hanya tersenyum simpul sambil terus memperhatikanku. Mungkin dia penasaran bagaimana bisa aku mengolah bahan-bahan ini menjadi menu yang layak untuk dimakan. “Ray..” “Ya, ada apa?” Dia tampak menghela napas, “kenapa semalam kamu bilang mau belajar mencintaiku?” Kurasakan dadaku berdebar kencang. Bibirku serasa kelu.. mendadak aku bingung memikirkan jawabannya. ****** Aldefan’s POV Gadis ini seolah memberiku banyak kejutan. Setelah tadi pagi aku melihatnya khusuk berdoa dalam balutan mukenanya, pagi ini dia sedang memasak dengan celemek yang talinya menggantung di lehernya dan juga ada yang terikat mengitari pinggangnya yang ramping. Sungguh menakjubkan, gadis tomboy sepertinya punya keahlian memasak. Bahkan yang jauh lebih feminin dari dia belum tentu bisa masak, contohnya adikku. Penampilan adikku lebih girly dibanding dirinya tapi kemampuan masaknya hanya berkutat pada masak air dan mie instant. Rayya melepas celemeknya. Dia perlahan berjalan mendekat ke meja makan dengan sepiring capcay dan satu nampan kecil berisi ayam goreng. Aroma masakannya begitu menggugah selera. Rayya meletakkan kedua piring itu di atas meja. “Dari aromanya kayaknya masakan kamu enak.” Ujarku dengan tatapan awas tertuju pada dua menu di hadapanku. Rayya mengambilkan nasi lalu meletakkan sepiring nasi di depanku. “Ayo donk cicipin. Nilai masakanku dengan jujur ya.” Dia duduk di hadapanku seraya menatapku seakan menunggu komentarku. Kumasukkan satu suapan masakannya. Kukunyah dan kurasakan sebentar. Dia memang tidak mengada-ada. Masakannya benar-benar enak. Aku mengenal banyak perempuan di sekelilingku, entah teman sekolah dan kuliah, teman kerja, temannya teman, tetangga, kerabat dan keluarga.. Tapi harus kuakui, sosok yang ada di depanku ini beda. Dia lesbian, lesbian yang lurus mungkin, karena dia tak pernah melakukan hal di luar batas selama berpacaran dengan pasangan lesbinya, ya bisa dibilang SSA. Dia tomboy, penampilannya maskulin, terlihat cuek tapi ternyata dia punya keahlian yang jarang dimiliki gadis tomboy lainnya, dia bisa masak. Bukan bisa lagi tapi pintar. Dia rajin ibadah. Dia bersedia menikah denganku dan di pagi pertama setelah kemarin menikah, dia bisa berperan sebagai istri yang baik. Kuakui dia menarik dan aku masih ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya. “Hai gimana rasanya? Apa kurang enak?” Aku agak tersentak, “enak banget Ray. Aku nggak nyangka kemampuan masakmu luar biasa.” Rayya tersenyum. Kuperhatikan bibir tipisnya. Semalam aku mengecupnya. Ya rasanya memang beda dengan saat aku mengecup bibir Derrel. Yang menarik di sini, itu adalah ciuman pertamanya. Aku bisa memaklumi dia hanya terpaku ketika aku menciumnya, tanpa ada balasan darinya. Mungkin suatu saat aku akan mengajarinya untuk menjadi good kisser. Ya ampun, what am I thinking about? Aku kembali teringat pada pertanyaanku yang belum ia balas. Haruskah aku tanyakan lagi. Apa dia memang tak menyukai pertanyaanku? “Ray.. kamu belum menjawab pertanyaanku.” Aku tak tahan untuk menanyakannya lagi. Aku bisa melihat semburat merah menyapu kedua pipinya. “Aku udah bilang kan kalau Andriana memutuskan untuk belajar mencintai suaminya? Aku juga ingin belajar untuk mencintai suamiku juga.. I mean.. mencintaimu.” Mendengarnya mengucap “suamiku” seakan ada sebongkah es menyiram hatiku, nyesss serasa adem. ”Jadi itu semata karena Andriana? Maksudku kamu patah hati karena Andriana berusaha untuk mencintai suaminya?” Dia meghembuskan napas perlahan, “bukan karena itu saja. Aku memang udah bertekad untuk berubah. Belakangan ini aku banyak baca buku pernikahan dan agama, aku seperti menemukan hidayah untuk benar-benar berubah. Aku ingin menjalani pernikahan yang normal.” Tenggorokanku seperti tercekat, tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Kurasa ibunya benar bahwa Rayya tipe perasa. Dia tetap wanita yang sudah fitrahnya lebih banyak bermain dengan perasaan dibanding logika. Jelas, ada harapan indah di benaknya atas pernikahan yang kami jalani. Tiba-tiba aku takut. Aku takut aku akan mengecewakannya. Aku belum bisa memberikan hatiku padanya. Dan sedari awal kami memang sepakat untuk tidak bermain perasaan. Kenapa dia melanggar kesepakatan ini? Sungguh aku belum siap berpisah dari Derrel. “Aku tahu kamu nggak memiliki harapan apapun pada pernikahan ini. Kamu yang memang gay sedari kecil tentu lebih sulit untuk membangun ketertarikan pada perempuan, beda denganku yang pernah merasakan jatuh cinta pada laki-laki meski saat itu masih usia SMP. Aku nggak keberatan Al, aku bahkan bisa menunggu.” Lagi-lagi aku dibuat tercekat. Kutatap binar matanya yang tidak seceria sebelumnya. Aku tak mau menjanjikan apapun. Aku takut dia berharap begitu tinggi padaku. Dia begitu baik, mana tega aku menyakitinya. Tiba-tiba aku menemukan pembahasan lain untuk mengalihkan pembicaraan kami. “Ray kamu dapat jatah libur berapa hari? Aku cuma dapat tiga hari cuti. Jadi mungkin kita cuma bisa jalan-jalan keliling kota aja. Aku rasa kita perlu quality time berdua. Liburan tiga hari saja hanya akan bikin fisik kita capek.” Rayya sedikit menggeser posisinya. Sepertinya dia masih ingin membicarakan perbincangan serius kami barusan. “Aku dapet libur seminggu. Saat awal masuk nanti, aku beralih tugas jadi tukang masak. Aku seneng banget Al, mas Andar ngasih aku kesempatan untuk ikut masak.” Aku senang bisa melihat senyum merekahnya lagi. “Alhamdulillah, aku ikut seneng Ray. Selamat ya. Gimana kalau ntar malam kita nonton film ke bioskop?” Ide ini mengalir begitu saja. “Okey, udah lama aku nggak ke bioskop,” jawabnya masih dengan senyum merekahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD