Melepasmu

941 Words
Aldefan’s POV Kuketuk pintu apartemen yang dulu seringkali aku singgahi tuk sekedar melepas kerinduanku padanya. Entahlah, sekarang tarasa begitu sesak. Aku tengah belajar berdamai dengan realita. Dari awal menjalin hubungan dengannya, aku tak pernah menjanjikan sebuah kepastian. Dia juga tahu akan hal itu. Hubungan kami tak akan bertahan selamanya. Kurasa kami sudah siap dengan konsekuensi seperti ini. Tapi ternyata, menjalaninya begitu berat. Pintu yang seakan menjadi sekat antara aku dan masa laluku pun terbuka. Sosok itu berdiri di balik pintu dengan setelan piyama warna navy. Wajahnya masih tampan, kulitnya putih bersih, bibirnya tipis dan selalu merah merona, tinggi badannya hanya beberapa senti di bawahku. Dia tersenyum, “masuk Al.” Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya menjatuhkan diriku di atas sofa. Rupanya dia telah mengganti cat temboknya dengan warna ungu muda. “Pemilihan warna yang bagus,” ujarku. Derrel tersenyum tipis dan berjalan mendekat ke arah kulkas. Dia membuka pintu kulkas lalu mengambil dua buah kaleng soft drink. Derrel menyodorkan satu kaleng itu padaku lalu duduk di sebelahku. “Tumben ke sini tanpa ngasih kabar.” Dia meminum minumannya. “Ehm, ada yang pingin aku omongin,” kutatap wajahnya dengan tatapan serius. Dia melirikku dan menaikkan alisnya. “Aku akan menikah,” ujarku tanpa menatapnya. Aku tahu dia tersentak. Sekelebat bayangannya menerobos sudut mataku. Dia tergugu. Aku menunggu reaksinya dan dia masih terpaku. “Menikah dengan siapa?” Tanyanya kemudian. Wajahnya tertunduk. Kuangkat dagunya dan kumiringkan wajahnya agar dia menatapku, namun dia palingkan wajahnya. Dia sangat terpukul. “Lihat aku Derrel. Ini nggak seperti yang kamu bayangin. Aku akan menikah dengan lesbian.” Dia akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku. Mata sendunya tidak berubah, dan aku melihat ada keterkejutan di dalamnya. “Serius? Marriage between gay and lesbian is the most crazy thing I’ve never thought.” Dia tersenyum tipis dan sedikit menertawakan. “Aku serius. Bukankah ini lebih baik. Setelah menikah kita masih bisa ketemu, dia juga masih bisa ketemuan dengan girlfriendnya.” Kuraih tangannya dan kutautkan jemariku pada jemarinya. “Aku nggak punya kekuatan apapun untuk nglarang kamu. Pada akhirnya hal seperti ini memang akan terjadi kan? Aku nggak seberani kamu untuk nikah. Aku cuma bisa doain yang terbaik.” Suaranya terdengar parau. “Aku menikah demi membahagiakan orangtuaku.” Sahutku pelan. Kehela napasku. Mendadak segala ruang hatiku seolah diisi dengan kesedihan. Aku tak pernah merasa kalut seperti ini. Aku tahu mungkin pernikahan yang akan kujalani hanyalah sebatas status di atas selembar kertas. Ini bukan akhir dari segalanya dan aku juga belum ingin berpisah dengannya. Malam itu kami berpelukan begitu erat dan lama, seakan pernikahanku nanti akan menjadi penghambat dan pemisah kami. Kurasakan sweaterku basah oleh linangan air matanya. Aku makin tercekat dan tangisku pun tumpah. Bagian tersulit dalam hubungan sesama jenis adalah kami tahu, sekuat apapun perasaan kami, pada akhirnya kami sadar, kami tak akan pernah bersama selamanya. Semesta tak akan mendukung. Keluarga tak akan memberi restu. Masyarakat hanya bisa menghakimi dan melabeli kami dengan sebutan “pendosa”. Bisa saja kami pergi dari sini dan memilih tinggal di negara yang melegalkan pernikahan sejenis, tapi hati kecil kami tak bisa begitu saja menggores luka menganga di hati ayah dan ibu, dua orang yang paling berarti dalam hidupku. Berkorban untuk kebahagian mereka adalah satu-satunya pilihan yang harus aku ambil. Rayya’s POV Belum pernah aku berada pada keadaan yang begitu emosional seperti sekarang. Aku pikir aku bisa menghadapi semua dengan mudah mengingat dia telah menikah terlebih dahulu. Rasa sayang ini masih teramat besar untuknya. Awal dia menikah, hatiku terasa sakit. Dia pacar pertamaku sekaligus orang pertama yang menghancurkan hatiku, patah berkeping-keping. Tapi berhadapan dengannya sekarang ini, seolah membuat bibirku kelu. Aku tahu harus berkata apa lagi. Andriana mengetukkan jarinya pada kemudi di depannya. Kami masih terpekur di dalam mobil. Aku sudah menceritakan semuanya bahwa aku akan menikah dengan seorang gay. Aku tahu dia terperangah, namun dia sembunyikan dalam ketenangannya. Seperti biasa, dia memang sering bersikap dingin. Aku masih bisa mencium lembut parfumnya yang kerap kali membuatku merasa kehilangan. Setelah dia menikah, kami tidak bebas bertemu. Entah aku harus bahagia atau bersedih ketika dia berkata, “suamiku orang yang baik. Aku akan belajar mencintainya.” Wajah cantik itu akhirnya menoleh padaku. Dia mengulum senyum, senyum yang selalu manis dan menenangkan. Rambut ikalnya yang panjang tampak sedikit berkibar oleh semilir angin yang menelusup masuk melalui celah kaca jendela di sebelahnya. Dia menggenggam tanganku, “menikahlah Ray. Aku harap kamu bahagia dengan pernikahanmu.” Kurasakan genggamannya semakin kuat. Gerimis seakan menelisik ke dalam hati. Aku tak menyangka dia bisa setegar ini. Kontras dengan keadaanku saat dia memberitahuku akan rencana pernikahannya. Waktu itu aku hanya terdiam dan setelah pulang ke rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Andriana, gadis yang aku kenal semasa SMA namun baru dekat denganku setelah lulus. Aku memintanya menjadi kekasihku di hari ulang tahunnya yang ke-20. Moment itu mungkin menjadi moment paling membahagiakan dalam hidupku. Gadis yang paling diinginkan di SMA dulu, gadis yang paling diidamkan para cowok untuk menjadi kekasihnya, pada akhirnya memilihku. Sejak itu hari-hariku selalu diisi kebahagiaan. Status sosial diantara kami memang sangat berbeda. Dia berasal dari keluarga berada, aku berasal dari keluarga sederhana. Bahkan aku tak bisa melanjutkan kuliah setelah ayahku meninggal. Tapi dia tak mempermasalahkan. Kami saling mencintai dengan menerrima keadaan masing-masing. Kini kami telah memiliki jalan yang berbeda. Kuhormati keputusannya untuk menikah dan mencoba belajar untuk jatuh cinta pada suaminya. Aku selalu mendukung apapun pilihannya selama itu bisa membuatnya bahagia. Aku pun akan menyusulnya. Membangun bahtera rumahtangga, meski bersama seorang gay, yang mungkin dia tak akan pernah menginginkanku. Tapi aku ingin seperti Andriana. Aku akan belajar untuk menjalani pernikahan sebagaimana mestinya. Belajar untuk mencintai pasanganku nanti. Belajar menjadi perempuan seutuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD