Soraya menarik rambut Selin dengan kebencian yang membakar matanya, seolah menumpahkan api ke dalam kepingan kaca hatinya yang retak. Desis napas marahnya menguarkan aroma kesombongan yang membungkus dirinya bagai mantel kebesaran yang menolak disentuh debu dunia. Mata Soraya mencibir dengan tajam, menikam keberanian terakhir yang Selin simpan di sudut jiwanya yang rapuh.
Selin terjatuh ke tanah dengan luka yang bukan hanya pada tubuhnya, melainkan tergores mendalam di nuraninya. Debu taman yang kering membalut tangannya yang gemetar, dan bunga-bunga liar berwarna cerah seakan mengejek kontras dari kepiluan yang menyelimutinya. Mata Selin berkaca-kaca, namun ia tetap menahan air mata yang mendesak keluar, karena tangis hanya akan memperkuat keyakinan Soraya bahwa dia tak lebih dari gadis tanpa harga diri.
“Saya harus menunggu Tuan Vasko," ucap Selin dengan suara yang menggantung di udara, nyaris tenggelam di antara desir angin yang seolah ikut mengejek. "Saya sungguh ingin meminta tolong padanya."
Soraya mencemooh, tawa kecil yang lebih mirip erangan bangga dari seorang yang merasa telah memenangkan pertempuran tak adil. "Meminta tolong padanya? Kamu pikir Tuan Vasko akan peduli padamu?"
Soraya mendekat, wajahnya begitu dekat hingga Selin bisa merasakan nafas hangat yang bercampur dengan racun amarah. Tangannya yang dihiasi cincin berkilauan menjambak rambut Selin lagi, lebih keras, lebih kejam, seolah ingin merobek sisa-sisa martabat yang masih tersisa.
"Kamu benar-benar tidak punya malu, Selin," ucapnya, dengan nada penuh kemenangan.
Selin tetap terdiam, hanya gemeretak giginya yang menahan rasa sakit. Namun di matanya, ada semacam kekuatan baru yang tak mudah dipatahkan oleh hinaan. Meskipun ia jatuh, hatinya berjanji akan terus bangkit. Bukan karena dendam, tapi karena harapan yang masih menyala kecil di dalam hatinya, secerah cahaya bintang di langit yang tak tersentuh angkuh malam.
Selin menggigit bibirnya, menahan getir rasa sakit yang meledak di wajahnya setiap kali tamparan Soraya mendarat. Hatinya terasa lebih terluka daripada tubuhnya, karena penghinaan itu lebih tajam dari belati mana pun. Wajahnya yang jelita kini memerah dengan jejak jari Soraya, sebuah tanda kebencian yang mencorengkan hinaan pada kehormatannya.
Namun Selin tetap menunduk, kedua tangannya mengepal erat hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangan. Ia tidak berani melawan, tidak ingin menambah api pada bara kebencian yang telah menyala di hati Soraya. Hanya ada satu yang ia pikirkan: ia harus bertahan. Untuk ibunya. Untuk mereka yang mengandalkannya.
“Saya harus hidup,” ulang Selin, suaranya gemetar seperti nyala lilin yang hampir padam ditiup angin. “Ibu saya dan saya telah kehilangan rumah kami. Saya mohon, Bu Soraya. Tolong pertemukan saya dengan Tuan Vasko.”
Soraya mendengus tajam, matanya menyipit penuh kebencian. "Aku tidak peduli! Akan lebih baik kalau kamu mati saja!"
Tamparan berikutnya membuat Selin terjatuh ke tanah. Angin dingin menyentuh wajahnya yang perih, namun rasa sakit itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan beratnya penghinaan ini. Air mata menumpuk di sudut matanya, namun Selin tidak membiarkannya jatuh. Ia tahu, setiap air mata yang tumpah hanya akan membuat Soraya semakin puas.
“Saya mohon, Bu Soraya...” lirih Selin, kali ini dengan suara yang terdengar hampir putus asa. Jika ini hanya tentang dirinya, ia tak akan peduli. Ia bisa melarikan diri, bekerja di tempat lain, mencari jalan keluar lain. Tetapi ada ibu panti yang membutuhkannya. Wanita tua yang tak pernah lelah merawat anak-anak terlantar itu kini tergolek lemah tanpa tempat berlindung. Bagaimana mungkin Selin tega meninggalkannya?
Soraya tertawa sinis, seolah menikmati kepiluan yang tergambar di wajah Selin. "Saya sudah katakan! Saya tidak peduli!" teriaknya, suaranya menggema di taman yang sunyi, membelah keheningan seperti petir di malam kelam.
Soraya mengerutkan hidungnya, matanya memandang Selin dengan jijik. Di lubuk hatinya, kebencian itu tumbuh subur bukan karena alasan yang jelas. Itu adalah cemburu, api yang tak dapat ia padamkan sejak Vasko mulai mengabaikannya. Ia tahu bahwa selama ini perhatian Vasko kepada Selin bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan, meskipun Vasko kini sibuk dan pergi dari mansion. Soraya berharap, dengan ketidakhadiran Vasko, laki-laki itu akan melupakan gadis ini.
Namun Soraya tidak bisa menahan amarahnya. Fakta bahwa Selin masih berani berdiri di hadapannya, masih bernapas dan memohon, hanya menambah bara kebenciannya. Ia ingin menghancurkan Selin, sepenuhnya, agar gadis itu tak pernah lagi muncul di kehidupannya—atau kehidupan Vasko.
Soraya tidak boleh membiarkan Vasko bertemu dengan Selin. Ia tahu bahwa kehadiran gadis itu adalah ancaman nyata bagi posisinya. Soraya telah berjuang keras untuk mendapatkan perhatian Vasko, namun semua usahanya seolah sia-sia setiap kali Selin hadir. Gadis itu seperti bayangan yang tak bisa diabaikan, selalu ada, dan selalu membuat Vasko memalingkan pandangan darinya.
Soraya mengeraskan hatinya, memutuskan bahwa ia harus bertindak cepat. “Seret dia!” perintahnya kepada para penjaga mansion dengan suara yang penuh otoritas.
Para penjaga, yang menghormati Soraya sebagai pemimpin pelayan mansion, segera bergerak tanpa mempertanyakan apa pun. Dua pria bertubuh kekar mendekati Selin, tangan mereka mencengkeram lengannya dengan kuat.
“T-tidak! Aku mau bertemu dengan Tuan Vasko!” Selin berteriak, berusaha memberontak, namun kekuatan fisiknya yang lemah tidak mampu melawan cengkeraman mereka. Tubuhnya yang kecil seperti boneka kain di tangan pria-pria itu.
Soraya melangkah mendekat, menatap Selin dengan senyum sinis yang penuh kemenangan. “Bawa dia ke klub itu lagi. Jika perlu, kurung dia di salah satu kamar. Biarkan dia jadi santapan para buaya di sana!” Perintahnya meluncur dengan dingin, penuh kebencian yang membara.
Para penjaga mengangguk, tanpa ragu mengikuti perintah Soraya. Selin terus meronta, suaranya yang lemah semakin serak karena berteriak meminta dilepaskan. “Lepas! Aku harus bertemu Tuan Vasko! Tolong... aku mohon!”
Namun tidak ada yang mendengarkan. Mereka menyeretnya menuju mobil yang sudah menunggu, niat membawa gadis malang itu menjauh dari mansion, menjauh dari harapannya. Selin hampir menyerah ketika tiba-tiba suara deru mesin lain terdengar, diikuti oleh kedatangan sebuah mobil mewah yang berkilau di bawah cahaya matahari.
Mobil itu berhenti tepat di depan mereka, membuat semua orang terdiam. Soraya menegang, matanya melebar saat mengenali kendaraan itu. Pintu mobil terbuka perlahan, dan dari dalam, muncul Vasko, sang Raja tampan yang telah lama mendominasi pikirannya.
Ia turun dengan anggun, wajahnya dingin, namun sorot matanya penuh dengan kewibawaan yang tak tertandingi. Seluruh area terasa seakan berhenti bernafas di bawah aura yang ia pancarkan. Langkahnya mantap, setiap gerakannya menggema seperti irama perang yang mengintimidasi siapa pun di sekitarnya.
“Berhenti.” Satu kata itu meluncur dari bibirnya, dalam dan tegas, namun cukup untuk membuat para penjaga menghentikan langkah mereka. Mereka menunduk, melepaskan cengkeraman pada Selin, membiarkan gadis itu jatuh ke tanah dengan tubuh lemah yang masih bergetar.
Vasko menatap Soraya dengan dingin, sebuah pandangan yang menusuk hingga ke dalam hati. “Apa yang sedang terjadi di sini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh dengan ancaman yang tersirat.