Selin berdiri kaku, merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti berputar. Suara riuh di sekitar mereka terasa semakin jauh, seakan hanya ada dia dan laki-laki bermata biru itu di ruangan yang penuh dengan kebisingan. Semua mata tertuju pada mereka, menunggu reaksi Selin, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Biru Langit, dengan ketenangan yang luar biasa, mengulurkan tangannya ke arahnya. Ada sesuatu dalam tatapan matanya—sesuatu yang tidak bisa Selin tafsirkan. Apakah itu ketulusan? Atau mungkin hanya sekadar hasrat yang datang dan pergi begitu saja?
"Ayo ikut dengan ku." Suaranya lembut, tetapi perintahnya tetap jelas.
Gadis itu ragu sejenak. Tubuhnya seakan menolak, namun matanya tertarik pada pandangan Biru yang memancarkan sesuatu yang sulit dia jelaskan. Biru bukan hanya seorang pria tampan dengan mata biru yang memikat, dia juga dikenal sebagai seorang pengacara ternama, pria yang memiliki segalanya—kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan. Dan kini, di hadapannya, ia menawarkan sesuatu yang tak terduga: dirinya.
Selin tidak tahu apa yang membuatnya bergerak, apa yang mendorong kakinya untuk melangkah ke arah Biru. Mungkin rasa penasaran, mungkin juga sesuatu yang lebih dalam, entah itu rasa takut atau ketertarikan yang sulit dijelaskan. Tetapi yang jelas, ketika tangannya menyentuh tangan Biru, ada perasaan hangat yang menjalar, seolah keduanya terhubung dalam satu garis tak terlihat.
"Apakah ini benar-benar yang kamu inginkan?" tanya Selin, suaranya bergetar. Ia tidak yakin apakah ia berbicara pada Biru atau pada dirinya sendiri.
Biru hanya tersenyum tipis, senyum yang seakan mengandung seribu arti, yang membuat Selin merasa semakin bingung dan terperangkap dalam misteri pria di hadapannya. "Aku hanya ingin apa yang pantas untukku," jawabnya pelan, tatapannya tetap teguh pada Selin, seolah tak memberi ruang bagi keraguan.
Di luar, bisik-bisik semakin menjadi, namun Biru tak peduli. Selin adalah miliknya untuk malam ini, dan ia akan membuatnya tetap begitu, entah apa yang akan terjadi setelahnya. Semua yang dia inginkan ada di sini, tepat di hadapannya—gadis itu, yang saat ini tak lebih dari sebuah teka-teki yang siap ia pecahkan.
Dengan langkah mantap, Biru menarik Selin keluar dari keramaian itu. Dunia di sekitar mereka kembali bergulir, namun keduanya seperti berada di dimensi yang berbeda, hanya ada mereka berdua, terikat dalam sebuah permainan yang baru saja dimulai.
“Kenapa kamu sampai menjual diri ke sana?” tanya Biru, suaranya terdengar lembut namun mengandung nada ketegasan yang tak bisa diabaikan. Mata birunya menatap lekat ke arah Selin, seolah mencoba menembus tembok yang gadis itu bangun di sekitarnya.
Selin menunduk, tidak berani menatap langsung ke matanya. Ia merasa terpojok, meskipun Biru tidak menunjukkan ancaman apa pun. Aura laki-laki itu terlalu mendominasi, dan membuatnya merasa telanjang—bukan hanya karena pakaian minim yang dikenakannya, tetapi juga karena pertanyaan itu menyentuh luka yang paling ia sembunyikan.
“Bukan urusanmu,” gumam Selin pelan, mencoba terdengar tegar, tetapi nada suaranya bergetar.
Biru tidak menjawab. Ia hanya terus menatap gadis itu, memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan saksama. Wajahnya yang cantik namun tampak lelah, mata yang menyimpan kegetiran, dan tubuhnya yang gemetar membuatnya semakin yakin bahwa Selin tidak pantas berada di tempat seperti ini.
Merasa diperhatikan, Selin menjadi semakin tidak nyaman. Ia mencoba melipat tangannya di depan tubuhnya, tapi pakaian yang terlalu terbuka tidak memberi banyak perlindungan. Pipinya memerah, bukan karena malu, tetapi karena rasa tidak aman yang menggerogoti dirinya.
Biru, yang sepertinya memahami apa yang dirasakan Selin, melepaskan jas yang dikenakannya. Dengan gerakan lembut namun pasti, ia meletakkan jas itu di atas paha Selin. “Pakai lah…” ujarnya singkat, tetapi nadanya penuh ketulusan.
Selin menatap jas itu sejenak, lalu mengangkat matanya ke arah Biru. Mata birunya begitu dalam, penuh perhatian yang membuatnya tidak bisa berkata-kata. Ia akhirnya meraih jas itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.
Ia mengenakan jas itu, merasakan kehangatan yang aneh dari kain tersebut, bukan hanya dari suhu tubuh Biru yang masih melekat, tetapi juga dari sikapnya yang membuatnya merasa dihargai. Untuk pertama kalinya malam itu, Selin merasa sedikit lebih aman.
Biru tersenyum tipis, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan Selin mengambil waktu untuk menenangkan dirinya, sementara pikirannya sendiri dipenuhi pertanyaan tentang bagaimana seorang gadis seperti dia bisa terjebak dalam dunia yang kelam seperti ini. Siapa yang membuatnya begini? Apa yang ia coba lupakan? tanyanya dalam hati, tetapi ia tidak ingin memaksa Selin menjawab. Tidak sekarang.
Ruangan itu kembali sunyi, hanya dihiasi oleh deru napas Selin yang mulai teratur. Namun, di balik keheningan itu, ada percikan kecil dari sesuatu yang lebih besar—sebuah awal dari keterhubungan yang mungkin akan mengubah keduanya.
“Saya tidak tahu harus bagaimana cara mengembalikan semuanya padamu,” ujar Selin dengan suara yang rendah, hampir seperti bisikan yang terbungkus rasa malu dan ketidakberdayaan. Matanya menatap ke lantai, seolah takut bertemu dengan tatapan Biru yang penuh kedalaman itu.
Biru menghela napas panjang, lalu menoleh sejenak padanya. Ada kelembutan di wajahnya, tetapi juga sebuah ketegasan yang tak terbantahkan. “Saya tidak akan meminta apa pun,” jawabnya singkat, suaranya tenang seperti aliran air yang menenangkan, tetapi penuh makna yang sulit diabaikan.
Selin menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba membuncah. “Aku serius… aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan,” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih gemetar. Ada rasa bersalah yang mencengkeram hatinya, sebuah beban yang terus menghantui setiap langkahnya sejak malam itu. Namun ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Biru dengan mata yang berkilau oleh air mata yang tertahan. “Namun… aku sangat berterima kasih karena Anda telah menyelamatkan saya. Dengan begitu, saya bisa kembali menjalani hidup saya dengan normal.”
Biru tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Selin, mata birunya seperti langit malam yang penuh bintang—menenangkan namun juga menantang. Akhirnya, ia berkata dengan nada lembut namun tegas, “Selin, kamu tidak perlu memberi apa pun untuk membalasnya. Hidupmu adalah milikmu sendiri. Jika kamu ingin berterima kasih, lakukanlah dengan cara menjalani hidupmu sebaik mungkin.”
Kata-kata itu terasa seperti sebuah pelukan bagi Selin, sebuah pelukan yang tidak menyentuh fisik tetapi langsung menyentuh jiwanya. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga, menelusuri pipinya dengan lembut. Ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan, merasa malu untuk menangis di depan Biru, tetapi hatinya terasa sedikit lebih ringan.
“Terima kasih…” bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar. Ia tahu kata itu terlalu sederhana untuk menggambarkan apa yang ia rasakan, tetapi itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia ucapkan saat ini.
Biru hanya tersenyum tipis, senyuman yang begitu halus namun penuh makna. “Hidup ini kadang tidak adil, Selin. Tapi kamu berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Jangan biarkan siapa pun—termasuk dirimu sendiri—merampas itu darimu,” katanya, sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandangi dunia yang terus berjalan meski hati seseorang sedang berperang.
Selin merasa hatinya seperti digenggam dengan lembut, diberi ruang untuk bernapas kembali. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sebuah harapan untuk memulai lagi dari awal.
Selin berdiri di tepi jalan raya, angin malam yang lembut menyapu rambutnya yang tergerai. Keramaian kota berlalu-lalang di sekitarnya, tetapi hatinya terasa sunyi. Pertemuan dengan Biru tadi menyisakan rasa hangat di dadanya, sebuah perasaan yang jarang ia temukan dalam hidupnya yang penuh luka. Namun setelah itu, realitas kembali menghantamnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana.
“Aku pulang ke panti saja,” gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam dalam deru kendaraan yang melintas. Kata-kata itu terdengar seperti keputusan, tetapi sebenarnya lebih seperti pelarian. Panti asuhan adalah satu-satunya tempat yang pernah ia sebut rumah, meskipun kenangan di sana tidak selalu manis.
Selin memeluk tubuhnya sendiri, mencoba melindungi dirinya dari dingin yang mulai menusuk. Ia mulai berjalan, langkahnya pelan dan ragu, seolah setiap tapak adalah pengingat akan kesendirian yang selalu mengiringinya. Di kepalanya, bayangan Biru dan Vasko bergantian muncul. Biru, dengan tatapannya yang hangat dan sikapnya yang menghargai, adalah sebuah ironi yang menyenangkan setelah perlakuan dingin dan merendahkan dari Vasko.
“Biru berbeda…” pikirnya, sudut bibirnya sedikit melengkung meski hatinya tetap berat. Biru telah memberinya sesuatu yang tak pernah ia dapatkan dari siapa pun sebelumnya: rasa dihargai. Sedangkan Vasko… lelaki itu hanya melihatnya sebagai seseorang yang bisa dipermainkan, tanpa peduli bagaimana hatinya remuk setiap kali ia diperlakukan seperti itu.
Namun, Selin tahu bahwa dunia ini jarang memberikan kesempatan kedua dengan cuma-cuma. Ia tidak ingin bergantung pada orang lain lagi, tidak ingin menjadi seseorang yang hanya berharap pada kebaikan orang lain. Aku harus menemukan jalanku sendiri, pikirnya.
Selin kembali ke panti asuhan, namun ia melihat panti menjadi hancur. Entah apa yang telah terjadi pada tempat tinggalnya itu.
"Bu .. ada apa ini?" tanya Selin bingung pada ibu angkatnya itu. Beliau sedang duduk di kursi kayu seperti sedang meratapinya nasibnya.
"Panti sudah dihancurkan. Ibu tidak tahu harus pergi ke mana?" ujar Ibunya angkatnya tersebut.
Selin mengusap bahu nya dengan pelan. "Bu ... ayo kita cari tempat tinggal." ujar Selin. Gadis itu ingat, bahwa ia masih memiliki anting dan kalung berlian yang diberikan oleh Vasko. Mungkin ia bisa menjualnya untuk menyambung hidupnya bersama ibu angkatnya tersebut.
Lantas gadis itu membawa ibu angkatnya ke tukang perhiasan untuk menjual kalungnya.
"Ini sangat mahal, saya rasa kamu telah mencurinya." ujar pemilik toko itu.
"Tidak. Saya dikasih oleh seseorang. Saya sungguh tidak mencurinya." ujar Selin dengan nada permohonan.
Namun sepertinya pemilik toko itu tidak mempercayai Selin.
"Maaf, kami menolak perhiasan yang tidak jelas asal usulnya!"
Ujar pemilik toko itu dan membuat Selin semakin bingung dibuatnya.
Aku harus bagaimana? ke mana aku akan mencari uang untuk makan dan tempat tinggal.