Bab 3

1334 Words
Andre meremas rambut  brown-nya frustasi. Pasti Tara mengira yang tidak-tidak padanya karena kejadian tadi. Padahal dia terpaksa melakukannya. Maksudnya bersikap mesra pada Cindy. Sungguh dia jijik seharian bersama Cindy tadi siang. Percayalah, dia tak akan mau dekat-dekat Cindy kalau seandainya dia tidak kalah dalam taruhan. Yang membuatnya harus berada di dalam kamar mandi selama beberapa jam hanya agar dia terbebas dari virus yang bernama perempuan. Andre mengerang kesal. Dia tak ingin sahabatnya menjauhi dan mencapnya pembohong hanya karena Cindy. Fvck! Andre menyumpah dalam hati. Melempar buku penuh pekerjaan rumah yang belum terselesaikan ke sembarang arah. Padahal besok pekerjaan rumahnya itu sudah harus dikumpulkan. Penilaian Tara padanya pasti berubah. Bukankah selama ini Andre terkenal sebagai pangeran es yang sangat tak menganggap makhluk yang bernama perempuan ada, selain Tara dan mamanya tentu saja. Dan tadi siang Andre justru 'kencan' dengan Cindy yang sekolahan tahu kalau Cindy tergila-gila padanya. Cindy tak segan menyakiti siapapun yang berusaha mendekati Andre. Sungguh, Andre tak ingin Tara meninggalkannya. Rasanya tak bisa dia tanpa gadis itu. Tara bukan lagi sahabat melainkan adik baginya. Tak ada rasa lebih selain kasih sayang sebagai saudara. Dan Vian... Andre menggeliat jijik mengingat tunangannya itu. Dia tak perduli dengan apa yang dipikirkan gadis itu. Malah kejadian ini menguntungkannya. Kemungkinan Vian menjauhinya setelah melihatnya bersama Cindy tadi sangat besar. Senyum terbit di bibir sexy pemuda itu memikirkannya. Dia akan terbebas dari seorang Vian yang selalu mengekorinya. Vian memang cantik, Andre mengakui itu. Rambut brown, mata biru, bibir mungil berwarna pink alami yang selalu menebar senyum meskipun Vian sedang bersedih. Tapi tetap saja Vian manja dan berisik. Dua sifat itu yang paling dijauhinya dari makhluk yang bergender perempuan. Andre mendesah. Dia sudah mengenal Vian sejak balita. Orangtua mereka bersahabat. Atas dasar persahabatan itu juga dia dan Vian ditunangkan. Menyebalkan memang. Padahal Andre sudah tidak menyukai Vian sejak pertama mereka bertemu. Balita perempuan berusia tiga tahun dengan pipi dan bibir yang kemerahan terlihat imut dan menggemaskan di mata Andre yang saat itu masih berusia lima tahun. Hanya saja tingkah Vian yang tidak bisa diam dan mulut mungilnya yang selalu mengoceh membuat Andre pusing. Sejak kecil dia memang tidak suka keramaian. Andre sejak dulu menyukai keadaan yang tenang. Makanya sampai sekarang Andre tidak menyukai Vian. Karena kesan pertama yang tidak mengesankan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Vian bergegas mengenakan kacamata bulat tebalnya. Tergesa keluar mobil, gadis cantik itu berlari kecil memasuki gerbang sekolah yang akan segera ditutup. Tepat seperti dugaannya tadi malam, dia terlambat. Untung hanya beberapa detik, juga pintu gerbang sekolah belum ditutup, kalau tidak dapat dipastikan dia akan berdiri di depan tiang bendera seharian. Hukuman siswa yang terlambat. Vian menghembuskan nafas lega begitu sepasang kaki jenjangnya menjejak lantai kelasnya. Lebih lega lagi ternyata kelas belum dimulai. Segera Vian menduduki bangkunya, sebelum guru matematika yang akan mengajar mereka di jam pelajaran pertama memasuki kelas. "Untung keburu, Vi." Vian mengangguk mengiyakan Tara. Sekali lagi Vian menarik nafas lega. Gadis itu mengeluarkan buku paket matematika dari dalam tas-nya. "Lo nggak pa-pa kan, Vi?" Pertanyaan Tara menghentikan gerakan Vian. Desahan tak kentara keluar dari mulut mungilnya. Gadis cantik itu tersenyum manis, lantas menggeleng. "Nggak pa-pa kok." Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Tara. Tangannya mengepal kesal. Mengapa Vian masih bisa tersenyum semanis ini, sementara dia tahu bagaimana hancurnya hati sahabatnya. Pasti tadi malam Vian menangisi Andre. Lihatlah kelopak mata yang bengkak seperti tersengat lebah itu. Bagaimanapun Andre adalah tunangan Vian. Dan Tara tahu betul perasaan Vian pada pemuda menyebalkan itu. Tak ada yang menyadari mata sembab Vian di kelas ini, semuanya tersembunyi dengan manis dibalik kacamata tebal gadis itu. Tara menghela nafas sebelum kembali bertanya. Dia harus memastikan sahabatnya baik-baik saja sebelum jam pelajaran pertama dimulai. "Beneran lo baik-baik aja?" Vian mengangguk. Senyum masih menghiasi bibirnya. "Jangan bohong, Vi. Gue tau lo nggak baik-baik aja. Gue kenal baik lo kek gue kenal diri gue sendiri." Vian menggigit bibir. Kedua tangannya terkepal. Tara benar. Percuma membohongi Tara, sahabatnya itu terlalu mengenalnya. Vian tertunduk. Cukup lama sampai dia benar-benar merasa siap untuk berbagi dengan Tara. "Jangan nangis lagi, Vi." Tara mengusap bahu ringkih Vian yang berguncang kecil. Kentara sekali Vian sedang menahan isak. Mereka di kelas, sedang menunggu guru matematika mereka yang tumben terlambat. Sangat tidak memungkinkan bagi Vian untuk menumpahkan air mata. Teman-teman sekelas mereka pasti akan menertawakan. Dan siswa-siswa yang katanya terpelajar itu akan mempunyai bahan lagi untuk membully sahabatnya. Tara mengantarkan tissue yang diambil dari saku seragamnya pada Vian. "Thanks, Ta." Vian menerima tissue itu dan mengusap sudut matanya. "Anything for you, bestie." Tara tersenyum. Kembali duduk ketika guru matematika mereka memasuki kelas. *** Andre menyugar rambutnya kasar. Bayangan Vian yang sedang menunggunya di depan kelas membuat moodnya seketika hancur. Dikiranya peristiwa kemarin dapat membuat Vian menjauhinya. Ternyata tidak. Vian tetap menunggunya di depan kelasnya seperti biasa dengan senyum manis yang selalu tersungging di bibir mungil itu. "Ndre!" Tepukan di punggung mengagetkan Andre. Menoleh, Andre menemukan Dion menaik-turunkan alis menggodanya. Pasti Dion juga sudah melihat bayangan Vian di depan sana. "Pacar lu noh." Dion menunjuk Vian dengan memonyongkan mulutnya. "Nggak lu samperin? Kasian tuh." Dion tertawa. "Dia bukan pacar gue!" Andre menatap Dion tajam. "Lo gimana sih, Dion?" Cindy yang mendengar percakapan antara Andre dan Dion langsung menghampiri kedua pemuda itu. Tanpa malu, Cindy langsung melingkarkan tangannya di lengan Andre. "Andre kan pacar gue." Protes Cindy cemberut. "Dimimpi lu!" Sembur Dion. Pemuda tampan itu tertawa keras melihat bagaimana Andre menepis tangan Cindy yang melingkari lengannya. "Andre kan nggak doyan cewek!" "Serah lu!" Andre menabrak bahu Dion, keluar kelas tanpa memperdulikan Dion dan Cindy. Juga Vian yang sedari tadi menunggunya. *** "Andre, ke kantin ya?" Vian berusaha menjajari langkah lebar Andre. Meskipun ngos-ngosan Vian masih tetap mempertahankan senyum manisnya. Kesal, Andre menghentikan langkah mendadak. Membuat Vian yang berjalan dibelakangnya menabrak punggungnya. Andre berbalik cepat. "Stop ngikutin gue!" Serunya tajam. Vian menggigit bibir. Gadis itu menggeleng lemah. Mengusap dahinya yang tadi membentur punggung lebar Andre. "A-aku nggak ngikutin kamu." Vian menatap Andre takut-takut. "Aku cuma ngajak kamu ke kantin." "Berapa kali udah gue bilang kalo gue nggak mau ke kantin bareng lu?" Suara Andre naik beberapa oktaf. "Lu pelupa atau emang nggak punya malu sih? Gue bosan lu ngikutin gue terus, Vi. Gue pengen sendiri! Denger lu? Jadi jangan ikutin gue lagi!" "Tapi..." "I said stop! Don't you hear me?" Vian menggeleng. "Tapi aku pengen sama kamu, Ndre hiks." Vian terisak kecil. "Mama juga pesan jangan main sama yang lain kecuali sama kamu sama Tara." "Tapi gue nggak mau sama lu!" Andre menggeram kesal. Dasar cengeng! Makinya dalam hati. "Gue mau sendiri, Vi!" "Hiks..." "Stop crying!" Kekesalan Andre memuncak. Dia paling tidak suka mendengar suara tangisan. Hanya orang manja yang akan menangis. "Lu kira gue bakalan luluh sama lu kalo lu nangis gitu?" Andre mencengkeram dagu Vian kuat. "Nggak mempan sama gue!" Menghempaskan dagu itu kasar. Membuat wajah Vian terlempar ke samping. Setelahnya Andre meninggalkan gadis itu terisak sendiri di koridor sepi yang sangat jarang dilewati. Vian terduduk. Kedua kakinya lemas seolah tak bertenaga. Apa dia setakberarti itu bagi Andre? Apa pertunangan mereka tak berarti apa-apa untuk Andre, sehingga pemuda itu bersikap sesuka hatinya. Tak menghargai status mereka. Haruskah dia mengadukan semua kelakuan Andre pada orangtua mereka? Vian menggeleng samar. Dia tidak akan melakukannya. Capnya sebagai gadis manja di mata Andre akan semakin bertambah. Dia harus kuat, dia harus mandiri! "Ta, I need you hiks..." Tanpa sadar Vian memeluk dirinya sendiri. Tak mengetahui kalau Tara mengikutinya sejak dia keluar kelas tadi. Rasa khawatir pada Vian menyelimuti gadis itu sejak semalam, saat dia meninggalkan rumah Vian. Dan kekhawatirannya menjadi kenyataan. Tara melihat perbuatan Andre pada Vian, juga mendengar semua percakapan mereka. Tangan Tara mengepal kuat. Ingin rasanya tadi melerai Vian, tapi dia tak punya hak. Kedua sahabatnya itu bertunangan. Dia tak bisa mencampuri urusan pribadi mereka. Kecuali Andre sudah sangat keterlaluan. Memukul Vian misalnya. Pelan Tara melangkah, mendekati sahabatnya yang masih menangis. Berjongkok, Tara menyentuh bahu Vian lembut. "Vi..." Vian menoleh cepat. Mata birunya membola, tak percaya menemukan Tara di sini. Dan Tara memberikan selembar tissue padanya. "Kita ke kantin. Mau?" Tawar Tara. Vian mengusap air matanya. Berusaha kembali tersenyum, gadis cantik itu mengangguk. Tara memang penyemangat bagi Vian. Bersama Tara, Vian hampir bisa melupakan semua masalahnya di luar rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD