Suara musik lembut mengalun dari kamar Vian di lantai dua. Musik yang lebih terdengar mellow itu terasa sangat cocok dengan suasana hatinya saat ini. Tak pernah merasa bahagia yang sebenarnya bahagia setelah memasuki sekolah menengah atas. Tak ada yang perlu disalahkan atas semuanya. Karena semua ini adalah pilihannya. Meskipun terkadang rasanya dia tak sanggup. Tapi sekali lagi, perasaannya yang sangat kuat pada Andre membuatnya bertahan.
Vian mendesah. Dia tahu dia bodoh terlalu berharap kalau suatu saat Andre akan menengok padanya. Karena Andre tak pernah menyukainya. Sejak pertama mereka bertemu. Dan itu sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang. Meskipun Vian sudah menuruti semua keinginan Andre. Menjadi nerd saat di sekolah seperti sekarang.
"Pergi yuk, Vi!" Tara merebahkan tubuhnya di sisi Vian yang bersender pada kepala ranjang. "Suntuk nih!"
Vian menoleh. "Kemana?"
"Shopping!" Tara bangun lagi. Membuat kasur Vian bergerak, termasuk Vian yang duduk sambil memeluk Teddy bear kesayangannya. "Diskonnya gede!"
Vian tersenyum manis. Tara memang selalu bersemangat kalau mendengar diskon. Bukan hanya diskon, sahabatnya itu selalu bersemangat dalam kondisi apapun. Tidak sepertinya yang manja dan cengeng, Tara lebih kuat dan mandiri. Makanya Andre lebih dekat dengan Tara ketimbang dirinya. Tara tak pernah menyusahkan.
"Mau ya, Vi." Tara menggoyang-goyangkan lengan Vian. Membujuk Vian seperti seorang anak kecil yang merengek pada ibunya. "Gue traktir makan deh ntar."
"Cuma makan nih?" Vian mengulum senyum. Matanya melirik jahil. Sungguh Vian ingin tertawa melihat Tara yang bertingkah seperti balita. Tara itu selalu bersikap dewasa. Bisa dibilang dia ibu kedua bagi Vian. "Kalo makan aku juga bisa beli."
Tara memajukan bibirnya. Matanya menyipit menatap Vian. "Lu mau apa juga gue beliin!"
"Beneran?"
Tara mengangguk. Berdecak saat Vian memeluknya.
"Kyaaa Tara baik deh. You're my best!" Vian mengecup pipi Tara. Tak peduli Tara yang menggerutu tak jelas. Gerutuan yang masih dapat Vian tangkap kata-katanya.
"Denger gratisan aja lu cepet!" Tara memonyongkan mulutnya.
Vian meringis. Mengeratkan pelukannya. "I love you."
"Gue juga love you. Tapi lepasin gue dulu. Nggak bisa napas nih!" Tara memukul lengan Vian kesal.
"Nggak mau!"
"Lepas, Vi!" Tara memekik kencang. "Kapan perginya kalo lu terus meluk gue woy! Keburu abis tu diskon."
Vian tergelak. Melepaskan belitannya di tubuh Tara. Mengangkat tangan dengan dua jari membentuk huruf V. Sungguh, rasanya sangat menyenangkan menggoda sahabatnya. Hanya bersama Tara, Vian bisa tertawa sebebas ini.
***
Gadis berambut dark brown itu memeluk Teddy bear putihnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, memegangi es krim. Menjilat es krimnya sesekali, sambil mulut mungilnya tak berhenti berceloteh.
Tara yang berjalan di samping Vian hanya manggut-manggut seolah mendengarkan. Padahal mata coklat gadis itu sibuk meneliti setiap papan diskon yang dipajang di toko-toko yang mereka lewati. Ingin rasanya memasuki semua toko itu, tapi kartu kreditnya sudah hampir limit. Tara mendesah, menyesali kepergian mereka ke mall hari ini. Karena terlalu banyak penawaran dari toko dan butik yang sangat diminatinya.
Vian menoleh mendengar desahan sahabatnya. Gadis itu menghentikan langkah.
"Kenapa?" Tanyanya sambil memasukkan sisa es krim terakhir ke dalam mulutnya.
"Dasar jorok!" Tara memutar mata. "Untung lu cantik, Vi."
Vian mengerutkan alisnya, tak mengerti maksud perkataan Tara.
"Nggak pa-pa." Tara menggeleng. Tangannya yang penuh paper bag mengibas kesal. Kapan polos lu ilang, Vi? Tara menarik napas sebelum melanjutkan langkah. Masih merutuki kepolosan Vian yang membuat Andre semena-mena pada sahabatnya itu.
***
"Kenyang."
Vian mengusap perutnya yang terasa penuh. Setelah hampir seharian berkeliling mereka terdampar di sebuah resto cepat saji pilihan Vian. Sesuai janji, Tara mentraktirnya hari ini. Dan Vian hanya menginginkan Teddy bear putih yang sekarang duduk manis di sebelahnya serta makan siang favoritnya. Sungguh junk food dan sejenisnya tidak memenuhi standar kesehatan untuk makan siang tapi menu inilah yang dipilih Vian. Dan Tara hanya harus menurutinya, sesuai kesepakatan.
"Orang cantik mah bebas."
Vian mengerjap menatap Tara. "Siapa?" Tanyanya.
"Bukan siapa-siapa, gue cuma asal ngomong."
Vian mengangguk mencoba memahami Tara yang kadang bersikap aneh menurutnya.
"Udah yu, Vi, kita pulang." Tara berdiri. Membereskan barang-barangnya. "Gue mau coba outfit gue."
Vian mengangguk lagi. Memeluk boneka beruangnya dan mengikuti Tara keluar resto.
Kedua gadis itu masih berbincang ketika Tara menghentikan langkah kemudian berbelok.
"Kok kesini?" Alis Vian berkerut bingung. "Katanya tadi mau pulang." Bibir pink alami gadis itu mengerucut.
Tara menggeleng cepat. Wajah cantiknya terlihat pias. Kalau saja Vian peka dia pasti tahu kalau Tara sedang gugup. Sayangnya Vian tidak menyadari hal itu, karena selain polos tingkat kepekaan Vian juga dibawah standar.
Tara menggigit bibir sebelum menjawab. "Anu, Vi... itu ada yang ketinggalan."
Vian lagi-lagi hanya mengangguk. Tidak tahu kalau Tara mengepal erat sampai buku-buku jarinya memutih. Wajah cantik Tara yang tadinya pucat sekarang memerah. Gadis itu mempercepat langkahnya. Dia harus menyelamatkan Vian. Dia tak ingin Vian-nya bersedih hanya karena melihat Andre memasuki sebuah toko dengan merangkul bahu Cindy, gadis terpopuler di sekolah mereka.
Sialan Andre! Apanya yang nggak doyan cewek seksi? Fvck lah!
Sungguh Tara sangat ingin menendang Andre sekarang. Atau membunuh pemuda tak tahu diri itu seandainya dia bisa. Kalau tidak menginginkan Vian jangan membuat alasan macam-macam. Seharusnya Andre mengatakannya saja secara langsung, agar Vian-nya tidak berharap.
"Kita nyari apa sih, Ta?" Vian menghentikan langkah. Mereka sudah jauh dari tempat semula tapi benda yang dicari Tara belum juga ditemukan. Kaki-kakinya sampai terasa pegal. "Apanya yang ketinggalan?"
Tara juga berhenti. Meringis sambil mengusap tengkuk. "Nggak ada yang ketinggalan." Tara cengengesan. "Semuanya udah lengkap. Lupa gue, Vi. Udah yuk kita pulang." Tara menghela tangan Vian yang bebas.
Vian mendesah lemah, bibir mungilnya mengerucut. "Ihhh Tara, capek tau."
Tak memperdulikan protesan Vian, Tara melanjutkan langkah. Dan berhenti saat tak merasakan pergerakan dari Vian. Tara menoleh sahabatnya dengan alis berkerut. Wajah pucat Vian dengan mata memerah membuat alis Tara makin menukik. Air mata bergulir di pipi mulus sahabatnya. Segera Tara tersadar. Dengan cepat gadis berambut sebahu itu berbalik. Andre bergandengan tangan dengan Cindy beberapa meter di depan mereka. Sepasang remaja itu tampak bercengkrama mesra. Sesekali tangan Andre yang bebas mengacak sayang rambut Cindy.
"Hiks..."
Tara tersentak mendengar isakan itu. Air mata Vian mencubitnya. Sungguh Andre tak bisa dimaafkan.
"Kita pulang sekarang ya, Vi?" Tara mengusap air mata Vian yang semakin deras.
Vian mengangguk sedih. Dunianya serasa hancur melihat pemandangan mesra itu. Kenapa Andre selalu bersikap manis pada gadis-gadis lain dan bersikap terbalik padanya? Apa dia sedemikian menjijikkan sampai-sampai Andre tak pernah manis sedikitpun?
Tara memeluk bahu Vian, membantu langkah Vian yang agak sempoyongan. Sahabatnya pasti sangat terpukul melihat ini. Tara menggeram marah begitu mereka berpapasan dengan Andre dan pasangannya. Mengabaikan mereka yang tersenyum dan menyapanya, Tara mengacungkan jari tengahnya pada Andre.
***
Vian memejamkan mata sekali lagi. Tapi tak lama lagi-lagi mata birunya terbuka. Entah kenapa matanya menolak untuk terpejam. Padahal sekarang sudah hampir tengah malam dan besok dia harus sekolah. Kalau tidak tidur juga sekarang, dapat dipastikan dia terlambat besok. Dan Andre akan kembali memarahinya.
Vian mendesah. Tanpa terlambat pun Andre pasti memarahinya. Setiap hari. Membuang napas dari mulut, Vian menengadah. Matanya menatap lurus langit-langit kamarnya yang berwarna pink, warna favoritnya. Vian menghapus air mata yang mengaliri sudut matanya. Sesak itu masih ada, meskipun dia sudah menangis sejak tadi sore. Pemandangan Andre tertawa dan bercanda mesra bersama gadis lain adalah pemandangan yang paling menyakitkan yang pernah dilihatnya. Sebagai tunangan wajar kalau dia merasa tersakiti. Haruskah dia menyalahkan Andre yang berselingkuh? Atau menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu mencintai pemuda itu?
Aku harus gimana, Ndre?